Peliknya lahan proyek kerap mengganjal kelancaran proyek pemerintah. Tidak terkecuali proyek vital yang ada di Ibu Kota.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Deretan rumah di Jalan Sensus II Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur seperti pemukiman lain. Bangunannya dibuat permanen berimpitan satu sama lain. Lokasinya berada di lahan sempit, mirip dengan sebagian besar permukiman di Ibu Kota.
Sekitar 200 meter dari sana, terdapat proyek normalisasi Sungai Ciliwung. Jumat (20/9/2019) siang itu, pekerja sedang menyelesaikan proyek sodetan sebagai bagian dari upaya penanganan banjir. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2015 menyebut sebagian besar rumah di Bidaracina berstatus lahan milik provinsi serta sejumlah korporasi, yakni PT Pertamina Patra Niaga dan PT Jiwasraya (Kompas, 7/1/2015).
Pada 2015, pemerintah meminta warga mengosongkan tempat itu untuk kepentingan proyek sodetan. Permintaan ini didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Nomor 190 Tahun 2014. Sesuai aturan itu, setiap meter persegi hanya dihargai 25 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP).
Setidaknya ada tiga wilayah RW di Bidaracina yang berkenaan dengan lahan milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, yaitu RW 004, RW 005, dan RW 014. Hingga kini, polemik terkait pembebasan lahan ini tak kunjung usai.
Permasalahan terkait lahan ini didasari belum adanya kesepakatan harga. Kompas mencatat pada Mei 2015, warga Bidaracina pernah menghadang petugas gabungan saat melakukan pengukuran tanah karena khawatir adanya penggusuran (Kompas, 29/5/2015).
Selang beberapa bulan setelah itu, kasus itu naik ke pengadilan dan sempat dimenangkan oleh pihak warga, yang diwakili pengacara Alexandro P Simorangkir pada 31 Agustus 2015. Meski begitu, Pemprov DKI beberapa kali mengajukan naik banding hingga kasasi di pengadilan tahun ini.
Namun, pada Kamis (19/9/2019), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Pemprov DKI sepakat mencabut permohonan kasasi dalam perkara pembebasan lahan sodetan Sungai Ciliwung. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pencabutan permohonan itu untuk mempercepat proyek sodetan Ciliwung.
“Saya sudah bicarakan persoalan ini dengan Presiden sejak tahun lalu dan kita sepakat untuk tidak meneruskan gugatan. Bila (sengketa) ini berjalan terus, maka tidak akan selesai. Kami lebih baik mengikuti, menghormati putusan pengadilan, lalu kami jalankan,” kata Anies saat di Balai Kota, Kamis lalu.
Anies mengatakan, dengan dicabutnya kasasi itu, pemerintah akan mengukur ulang lahan yang akan terkena proyek pembangunan sodetan. Setelah itu, proses pembayaran ganti rugi akan dilakukan.
Kuasa Hukum Warga Bidaracina, Raden Yudi Rikmadani, mengapresiasi upaya pemerintah untuk membayar ganti rugi kepada warga. Selanjutnya, ia memastikan agar proses negosiasi ganti rugi dapat disepakati melalui tim penaksir harga yang independen.
“Dari poin tuntutan, kami masih harus memastikan agar warga tetap mendapat nilai penggantian yang setimpal. Ini ditinjau dari nilai kemanfaatan bangunan, seperti pepohonan di rumah warga, fungsi fasilitas sosial yang ada,” kata Yudi.
Meski kasasi telah dicabut, tuntutan warga terhadap pembebasan lahan sodetan Ciliwung masih sama, yakni terkait pembayaran biaya ganti rugi untuk tanah dan bangunan. Tuntutan tersebut juga menjadi salah satu poin yang disampaikan pihak penggugat yang tergabung dalam Tim 14. Perwakilan kuasa hukum warga Bidaracina ini menuntut ganti rugi atas tanah sebesar Rp 25 juta per meter persegi, serta untuk bangunan senilai Rp 3 juta per meter persegi.
Begitu
pun dengan sejumlah warga Bidaracina yang dikunjungi pada Jumat sore. Saodah (41), warga RW 004 Bidaracina, berharap mendapat ganti rugi atas rumah sedikitnya dua kali lipat dari NJOP.
Saodah mengakui dirinya tidak memiliki kelengkapan sertifikat tanah. Ia hanya memiliki surat Girik, yaitu tanda kepemilikan tanah yang didasarkan pada hukum adat.
“Saya sudah tinggal di sini sejak 1978 dan selalu membayar kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), masa tidak diberi ganti rugi karena tidak punya sertifikat tanah?” kata Saodah.
Ketua RW 014 Bidaracina, Endang Soekanto, mengatakan hampir seluruh bangunan di wilayahnya belum memiliki sertifikat tanah. Meski begitu, ia sangat berharap biaya ganti rugi cukup untuk membangun rumah lebih besar di wilayah lain.
“Untuk di RW 014 sendiri, pihak pemerintah sudah sekitar dua kali melakukan pengukuran. Namun, penaksiran harga tanahnya tidak kunjung jelas. Harapan saya, ya, (biaya itu) bisa untuk membangun rumah lagi yang besar di sudut kota,” kata Endang.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Bambang Hidayah mengatakan, dana ganti rugi untuk warga nantinya akan tetap berdasarkan pengukuran tanah dan bangunan yang disepakati dari tim satuan tugas mandiri. Ia memastikan seluruh warga yang terbukti memiliki tanah akan mendapat ganti rugi.
“Karena pembangunan sodetan Ciliwung ini sudah lewat dari tiga tahun, maka harus ada proses penetapan lokasi (penlok) lagi. Setelah penetapan ini keluar, lalu proses pengukuran tanah serta pengumpulan berkas akan dilakukan,” ucap Bambang.
Ia khawatir bila setelah tanah diukur, tiba-tiba ada warga yang mempermasalahkan. Beberapa kasus yang sering terjadi, yakni adanya pihak yang mengaku tidak dibayar, atau bahkan ada warga yang tidak menerima kesepakatan besaran pembayaran ganti rugi dari penaksir harga.
“Dalam beberapa pengalaman sebelumnya, hal yang sering terjadi adalah salah ngasih ganti rugi. Kali ini sudah sepakat di pengadilan, mudah-mudahan nggak ada kasus seperti itu. Saya nggak ingin setelah dibayar, kemudian ada ribut-ribut lagi karena merasa belum dilunasi,” kata dia.
Dari rencana pembangunan, Bambang mengatakan luas keseluruhan sodetan Ciliwung sejumlah 1.270 meter. Sedangkan saat ini pembangunan baru diselesaikan 600 meter. Ia berharap dengan pencabutan kasasi ini, warga bisa bersikap kooperatif menyambut pembangunan sodetan untuk mengatasi banjir.
Meski kasasi telah dicabut, pembebasan lahan di Bidaracina bukan tidak mungkin memunculkan polemik kembali. Apalagi terkait dengan lahan bangunan yang ditempati warga bertahun-tahun.
Terkait hal tersebut, mantan Kepala BBWSCC Pitoyo Subandrio, dalam buku Mengenal Banjir Jakarta (2012), mengatakan, masalah sosial yang berkaitan dengan masyarakat perlu dipikirkan. Bagaimana warga setelah dipindahkan dari sana, apa disediakan rumah susun atau difasilitasi lahan di tempat lain.