logo Kompas.id
UtamaRindu Nikmat Seduh Kopi di...
Iklan

Rindu Nikmat Seduh Kopi di Kota Wali

Kondisi keamanan di Kota Cirebon, Jawa Barat, sedang diuji. Beberapa kasus kejahatan terjadi mengancam pembangunan. Namun, usaha memadamkan api tak sekadar penegakan hukum. Penuntasan masalah kemiskinan jangan dilupakan.

Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
· 9 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/UD0oAQwH6Is-NvfmW4jSQerBvEA=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190917_100141SILO.jpg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Potret warung kopi pekalipan dan nasi goreng yang tutup di Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (17/9/2019) sore. Warung itu tutup akibat ancaman preman.

”Saya sudah biasa nusuk orang. Untung, yang datang saya. Kalau bos saya, sudah digorok kamu,” ujar seseorang sambil menunjukkan sangkur kepada Mujahidin (30), barista warung kopi di Pekalipan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (3/9/2019) sekitar pukul 21.00. Empat hari berikutnya, warung itu tutup, entah sampai kapan.

Menjepit puntung rokok yang tak lagi bisa diisap di kedua jarinya, Mujahidin menceritakan pengalamannya tersebut, Selasa (17/9/2019), di Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota. Dia kembali mengingat kisah yang ingin dilupakan.

Ketika itu, ia sedang menyeduh kopi untuk pelanggan. Kursi warung hampir penuh. Begitupun dengan meja makan bagi warung nasi goreng dan bubur ayam yang berada dalam satu bangunan tua. Kendaraan juga masih hilir mudik di depan warung yang lokasinya kurang dari 800 meter dari Stasiun Prujakan.

Seorang laki-laki lalu menghampirinya dan membuka sebagian sangkur dari gagangnya. Kemudian, mengancam barista gondrong itu dengan pernyataan di awal tulisan. Idin, panggilan Mujahidin, hanya terdiam melihat pengancam yang tidak ia kenal keluar dari warung. Ini pertama kalinya ia mendapati gaham setelah setahun bekerja di Kopi Pekalipan.

https://cdn-assetd.kompas.id/W-RWi0QOZcTHhGglmNJDfT23crc=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190917170350_IMG_2867SILO.jpg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati (berhijab) menyeduh kopi dalam acara solidaritas pegiat kopi untuk Kopi Pekalipan di Markas Polres Cirebon Kota, Selasa (17/9/2019) sore. Kegiatan itu untuk mendorong pemerintah setempat dan aparat keamanan menindak tegas pelaku pengancaman barista Kopi Pekalipan. Akibat ancaman itu, warung kopi tersebut tutup.

Idin masih ingat wajahnya. Sebagai pelanggan, kata Idin, ia lima kali datang ke warung kopi. ”Pertama kali, pada 20 Agustus. Dia ke sini bawa proposal peringatan 17 Agustus dan minta uang. Saya enggak baca karena bos yang mengurus,” ujar Idin yang mengaku sarjana salah satu kampus swasta di Pati, Jawa Tengah.

Kunjungan berikutnya, lelaki tersebut hanya membayar setengah dari kopi yang dipesan. Bahkan, pernah tidak membayar sama sekali. Padahal, harga kopinya tergolong murah sekitar Rp 15.000 per gelas, bahkan kurang.

Ini lebih terjangkau dibandingkan kopi di kafe atau mal yang mencapai puluhan ribu rupiah. Itu sebabnya, Irawan Budiawan (43), pemilik warung kopi, mengusung tema ”membumikan harga kopi yang melangit” di warungnya. Atas alasan itu pula, ia menegur lelaki itu.

Setelah itu, munculah gertakan yang diterima Idin. Ancaman itu membuatnya tak lagi menyeduh 60-70 gelas per hari. Warung kopi yang buka sejak 2015 dari pukul 17.00 hingga pukul 24.30 itu tutup. Aroma kopi Cibeureum, Kuningan; Gayo, Aceh; hingga Papua tak lagi terasa di warung tanpa pendingin udara, televisi, dan wifi itu.

”Saya masih nganggur. Beberapa teman mengajak jadi barista di kedainya. Tapi, saya masih syok. Mau menenangkan diri dulu,” ujar Idin.

Orang yang mengancam Idin itu sudah nekat. Daripada nyari uang ada korban jiwa, mendingan uang jadi tumbalnya, tutup saja warungnya.

”Orang yang mengancam Idin itu sudah nekat. Dari pada nyari uang ada korban jiwa, mendingan uang jadi tumbalnya, tutup saja warungnya,” kata Budi, sapaan Budiawan.

Beberapa hari kemudian, pemilik warung nasi goreng dan bubur ayam yang sudah beroperasi sejak 1980-an ikut tutup. Empat pekerja untuk sementara menjadi tunakarya.

https://cdn-assetd.kompas.id/CfSwobJI_ix3qcdCig-69b-eZ0g=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2Ff817fec9-41e2-4435-9368-bb8d279c7f41_jpg.jpg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Penari memeragakan tari topeng Slangit, Cirebon, dalam Festival Topeng Jawa Barat di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, Kota Cirebon, Senin (29/7/2019) malam. Festival ini digelar pertama kali untuk menghadirkan kekayaan tari topeng Jabar.

Mahalnya keamanan

Kasus tersebut menunjukkan mahalnya keamanan bagi warga yang ingin berusaha. Budi memang tidak mampu menyewa petugas satpam atau ruko yang dijamin aman seperti di dalam mal. Kalaupun ia memaksakan, pelanggannya yang merupakan orang berdasi hingga berdaki belum tentu sepakat. Itu sebabnya, katanya, Kopi Pekalipan tutup saja dan tinggal kenangan.

Ia kian sedih karena salah satu ruang multikultural terancam lenyap. ”Orang keturunan Arab, China, Jawa, sering duduk satu meja di warung kopi, nasi goreng, dan bubur ini. Keluarga kami juga menyewa bangunan tua ini dari orang China dengan harga terjangkau. Orang lain enggak dikasih,” kata Budi.

Keputusan Budi menutup Kopi Pekalipan sempat ditentang warganet di media sosial. Sejak kabar itu diunggah sepekan lalu di akun Instagram @kopipekalipan, hingga Rabu (18/9/2019) siang, tercatat 203 komentar. Sebagian besar berisi permintaan agar warung tidak tutup dan mendesak aparat keamanan menangkap pelaku pengancaman tersebut.

Baca juga: Kriminalitas Merebak Pemerintah Kota Jamin Cirebon Aman

Solidaritas juga datang dari pegiat kopi Cirebon yang menggelar ”ngopi bareng” di Markas Polresta Cirebon Kota, Selasa (17/9) sore. Sekitar 25 kedai kopi menyumbang susu, air, kopi, dan barista mereka.

”Di usaha kopi itu tidak ada saingan kedai. Biasanya, kalau ada kedai tutup, kedai yang lain senang. Namun, kami tidak,” ujar Kim Abdurokhim, pemilik kedai Saung Juang.

https://cdn-assetd.kompas.id/hkJhFB2WdvpDCDEqWPSlH-Y1xW0=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190904_140614SILO.jpg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy saat diwawancarai, Rabu (4/9/2019), di Kota Cirebon, Jawa Barat.

Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy mengatakan, korban terlambat melapor kepada polisi sehingga pihaknya belum meringkus pelaku pengancaman.

”Kami akan selidiki hingga ke dalangnya. Saya jamin tidak ada yang kebal hukum. Siapa pun dia, apa pun latarbelakangnya, akan kami sikat,” katanya.

Roland mengakui, kriminalitas melanda Cirebon beberapa hari terakhir. Jumat (6/9/2019) pukul 20.30, misalnya, Muhammad Rozien (17), santri salah satu pondok pesantren di Kabupaten Kuningan, Jabar, tewas ditusuk di trotoar Jalan Cipto Mangunkusumo, salah satu pusat keramaian di Cirebon. Lokasinya hanya sekitar 200 meter dari kantor Kesbangpol Kota Cirebon dan sejumlah mal.

Warga Banjarbaru, Kalimantan Selatan, itu meregang nyawa akibat ulah YS dan RM, pemuda berusia 19. Warga asal Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, itu telah ditangkap pada Minggu (8/9) dini hari.

Tersangka yang ingin mencuri barang korban itu mengaku mengonsumsi obat keras terlarang sebelum membunuh korban. JH (40), pemasok obat kepada tersangka, juga ditangkap pada Senin (9/9) pagi. Kata JH, obat itu dijual Rp 1.000 per butir. Lebih murah dibandingkan minuman keras, apalagi narkoba.

Baca juga: Warga Cirebon Semakin Resah

Iklan

Hidup Indra Zaeni (18) juga direnggut tujuh pemuda di dekat Pasar Jagasatru, Kota Cirebon, tepat 17 Agustus 2019. Peristiwa naas itu diawali saling tantang antarkedua geng yang anggotanya masih pelajar.

https://cdn-assetd.kompas.id/0xe8JNTdi2VmtGkr4c4oVJ_Xug0=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190901121548_IMG_2352SILO.jpg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Suasana Festival Empal Gentong di Kantor DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (1/9/2019). Festival tersebut menjadi salah satu rangkaian HUT Kota Cirebon ke-650 tahun. Pada Minggu (1/9), sebanyak 650 porsi empal gentong dibagikan gratis.

”Saya tidak menghalangi jurnalis membuat berita. Namun, jangan sampai orang enggak mau datang ke Cirebon karena masalah keamanan. Nanti, empal gentong dan nasi jamblang bli payu (enggak laku) karena enggak ada orang yang datang,” ungkap Azis dengan suara bergetar.

Pariwisata terancam

Selama ini, kuliner khas Cirebon, seperti empal gentong dan nasi jamblang, jadi daya tarik wisatawan berkunjung. Apalagi, sejak Jalan Tol Cikopo-Palimanan beroperasi pertengahan 2015, orang Jakarta dan Bandung bisa datang pagi ke Cirebon untuk makan kuliner setempat terus pulang sore harinya. Sekitar 200 rumah makan dan restoran pun tumbuh subur. Sekitar 107 hotel juga berdiri.

Wajar jika Azis marah. Dari target pendapatan pajak daerah Rp 190 miliar tahun ini, lebih dari Rp 73 miliar berasal dari pajak hotel dan restoran. Apalagi, tahun ini, pihaknya menargetkan 2 juta kunjungan wisatawan ke Cirebon. Tahun lalu, kunjungan wisatawan kurang dari 1,5 juta orang.

”Kalau enggak ada yang datang lagi ke Cirebon karena masalah keamanan, sama saja pembunuhan massal,” lanjutnya.

Kalau enggak ada yang datang lagi ke Cirebon karena masalah keamanan, sama saja pembunuhan massal.

Untuk itu, ia bakal membuat tim gabungan yang berisi Polri, TNI, aparat pemkot, ketua rukun warga, dan tokoh pemuda. Tim ini bertugas memberi informasi kepada polisi jika ada indikasi tindakan kriminal. Biaya operasionalnya diambil dari APBD 2020.

https://cdn-assetd.kompas.id/-gW_ByyqxEst4HntZaO6q4oKe58=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2Fkompas_tark_20856963_67_0.jpeg
Kompas

Warga dari Kelurahan Panjunan, Kota Cirebon, Jawa Barat, menagih kejelasan rekomendasi penutupan aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Cirebon, Rabu (30/12/2015), di depan Balai Kota Cirebon.

Anggaran kamtibmas selama ini sebenarnya sudah termuat dalam program kerja Satpol PP dan Kesbangpol Kota Cirebon. ”Namun, jumlahnya belum cukup,” ucap Azis yang tidak mengetahui jumlah pastinya.

Akar kriminalitas

Sayangnya, Pak Wali Kota sama sekali tidak menyinggung akar kriminalitas, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Ambil contoh YS, tersangka pembunuh Rozien. Anak pemulung itu sudah sebulan menganggur setelah keluar dari kurungan penjara 2 tahun karena kasus pencurian dengan kekerasan.Ia tinggal di bantaran kali di Kampung Pesisir, Panjunan, dekat Pelabuhan Cirebon yang melayani bongkar muat batubara. Di sekitarnya sampah bertumpuk dan air menghitam. Di kampung itu, sekitar 17 hektar dari 128 hektar di Panjunan termasuk wilayah kumuh pada 2017.

”Sebagian besar penduduk di pesisir, ekonominya tergolong menengah ke bawah, bahkan bawah sekali,” ujar Lurah Panjunan Didi Cardi. Jumlah penduduk Pesisir mencapai 6.662 orang, lebih dari setengah warga Panjunan, yakni 10.477 orang. Sebaliknya, kampung lain didominasi pedagang. Itu sebabnya, banyak warung makan hingga supermarket berdiri tidak jauh dari pesisir.

Didi mengakui, berbagai kondisi itu turut memicu kriminalitas. ”Bulan ini saja, ada dua surat jaminan pembebasan bersyarat dari lembaga pemasyarakatan yang saya tanda tangani. Oknum warga itu sudah menjalani hukuman penjara karena mencuri,” ujar Didi yang meyakinkan bahwa tindakan kriminal dilakukan seorang individu, bukan kelompok apalagi atas nama kampung.

Didi mengatakan, pihaknya telah berupaya memberikan pelatihan kepada warga yang menganggur, seperti las dan servis pendingin ruangan. Namun, menurut dia, dari 20 orang, yang konsisten hanya satu orang.

Baca juga: Berharap Bahagia di Pantai Utara

Pihaknya juga tengah melatih 10 kelompok nelayan membudidayakan kerang hijau. Ini diharapkan membantu perekonomian nelayan saat masa paceklik karena cuaca seperti sekarang dan menurunnya hasil tangkapan.

Didi ingin kesan wilayah Pesisir sebagai tempat kumuh dan miskin sehingga memicu kriminalitas sirna. Ujungnya, tidak ada lagi YS lainnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Ssmqs2-P-O6w-eqN8Mv8yFSR_io=/1024x1360/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20180507-Indeks-Pembangunan-Manusia-Kota-Cirebon.png

Akan tetapi, warga yang terjerat kemiskinan tidak cuma YS. Di kota yang pertumbuhan ekonominya mencapai 6,21 persen tahun lalu ini, masih terdapat sekitar 8,8 persen atau 28.000 warga miskin. Tingkat pengangguran terbuka mencapai 10,4 persen, lebih tinggi dibandingkan Jabar, yakni 8,17 persen.

Ketimpangan

Ketimpangan ekonomi atau rasio gini juga tercatat 0,41 persen. Padahal, rasio gini pada 2013 masih 0,38 persen. Semakin mendekati angka nol, ketimpangan semakin kecil. Itu sebabnya, menanggulangi keamanan kota secara radikal tidak bisa hanya dengan patroli atau membentuk tim gabungan.

Kondisi Cirebon saat ini memang masih jauh lebih baik dibandingkan abad ke-17 ketika masa pusat kongsi dagang Belanda (VOC). PH Van Der Kemp menuliskan, gangguan keamanan saat itu berawal dari kemiskinan akibat pemerasan pajak dan banyak bangsawan Cirebon yang tidak bekerja, tetapi hidup dari keringat rakyat. Akhirnya, pemberontakan pecah (Zaenal Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial: 2011).

Baca juga: Konten Tawuran Buat Nyawa Melayang

Bukan tidak mungkin gangguan keamanan saat ini juga karena pejabat yang malas bercengkerama langsung dengan rakyat atau membiarkan warganya bergulat sendiri dengan persoalan kemiskinan dan lainnya.

Sekelompok orang yang berunjuk rasa menuntut keamanan Cirebon di Kantor DPRD setempat beberapa waktu lalu bahkan dengan gamblang mempertanyakan relevansi Cirebon sebagai Kota Wali yang aman. Seperti diketahui, Cirebon pernah dipimpin Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Sanga atau tokoh besar penyebar agama Islam di Jawa. Cirebon beberapa kali menjadi tempat pertemuan kesembilan wali tersebut.

https://cdn-assetd.kompas.id/ZQ_StCIkhBFgfXkx5LBoIjGIcKU=/1024x875/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2Fkompas_tark_16557909_73_0.jpeg
Kompas

Sartini (45), berbaju merah, sedang menyiapkan lahan pembakaran gerabah bersama dengan rekan-rekannya, di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Desa Sitiwinangun merupakan sentra gerabah di Cirebon. Sayangnya, potensi ini kurang tergali dan terawat sehingga banyak perajin yang masih terimpit kemiskinan.

Jika masalah keamanan ini tidak ditanggulangi, julukan Cirebon sebagai ”Kota Wali” bisa hilang. Julukan Cirebon sebagai ”Kota Udang” juga sudah samar-samar terdengar karena semakin sulit menangkap udang.

Belakangan, ada yang berdalih, kota udang itu kepanjangan dari kota usaha dan dagang. Namun, bagaimana mau berdagang kalau keamanan terusik seperti yang dialami Kopi Pekalipan?

Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati yang ikut menyeduh kopi dalam aksi solidaritas sore itu menjamin keamanan masyarakat. Katanya, pihaknya akan mengkaji akar masalah kriminalitas dan berupaya menuntaskannya.

Setelah menyeduh, Eti mencicipi kopi buatannya. Lipstik merah jambu miliknya membekas di sisi gelas kopi. Semoga itu bukan penanda bahwa jaminan keamanan dari Pemkot Cirebon dan polisi sekadar lip service atau omongan belaka, seperti bekas lipstik Bu Wakil Wali Kota yang akan hilang saat gelasnya dicuci.

Editor:
Cornelius Helmy Herlambang
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000