Kebangkitan Kesadaran Politik Mahasiswa
Gerakan mahasiswa telah bangun dari tidur panjangnya, dan diharapkan tetap terjaga, karena mereka bagian dari kekuatan sosial strategis untuk mengawasi dan mengingatkan penguasa.
Gelombang unjuk rasa mahasiswa yang memuncak pada Selasa (24/9/2019), menyentak berbagai kalangan. Gerakan mahasiswa telah bangun dari tidur panjangnya, dan diharapkan tetap terjaga, karena mereka bagian dari kekuatan sosial strategis untuk mengawasi dan mengingatkan penguasa.
Kebangkitan mahasiswa itu jelas tampak dengan bersatunya mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi selama beberapa hari terakhir. Tidak hanya di seputaran Kompleks Parlemen, Jakarta, di banyak kota lain, mereka "menyerbu" sejumlah gedung pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bagi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Manik Marganamahendra, beberapa RUU yang dikebut pembahasan dan pengesahannya di ujung masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 tak sejalan dengan amanat reformasi.
Salah satunya pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Poin-poin pengubahan yang menyandera kewenangan utama lembaga antirasuah tersebut diprediksi akan berujung pada pelemahan, bahkan pembubaran KPK. Padahal, KPK yang merupakan anak kandung refomrasi masih menjadi simbol harapan untuk perbaikan negara.
Pasca-reformasi 1998, bangsa ini berkomitmen untuk mengelola negara secara lebih bersih. Selama puluhan tahun masyarakat terjebak dalam jurang ketimpangan karena kekayaan negara tak didistribusikan secara merata, tetapi justru dikorupsi kaum elite.
Setelah 21 tahun reformasi, cita-cita yang susah payah dibangun itu hendak dikubur. Bukan hanya dengan revisi UU KPK, tetapi juga pemilihan pimpinannya yang dinilai banyak kalangan sarat dengan persoalan.
“Kami juga menyatakan mosi tidak percaya pada para anggota DPR,” kata Manik.
Semua masukan dari publik itu tak digubris. Tak hanya itu, anggota DPR sempat meremehkan suara mahasiswa.
Bagaimana tidak, penolakan terhadap revisi UU KPK dan RUU lain, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba, sudah sering disuarakan elemen masyarakat sipil. Sejumlah guru besar lintas perguruan tinggi juga melakukan hal yang sama, bahkan untuk menolak revisi UU KPK, surat resmi telah dilayangkan ke DPR.
Namun, semua masukan dari publik itu tak digubris. Tak hanya itu, anggota DPR sempat meremehkan suara mahasiswa. Mereka menolak untuk menemui massa mahasiswa yang menggelar aksi damai pada Kamis, 19 September 2019.
Baca juga: Ancaman Demokrasi dari Dunia Maya
“Enggak. Enggak akan ada yang keluar (menemui mahasiswa), kan UU-nya sudah selesai di pembahasan tingkat I (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sementara revisi UU KPK juga sudah disahkan, jadi, ya, ngapain,” kata Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu.
Padahal Masinton pernah menjadi bagian dari gerakan mahasiswa. Dia salah satu aktivis mahasiswa saat menggulirkan reformasi 1998.
Baca juga: Hadapi dengan Proporsional
Puncak kemarahan
Tak heran jika bara kemarahan mahasiswa akhirnya terbakar. Mereka rela menunda kuliahnya, berjalan jauh di tengah terik matahari, menghabiskan suara untuk berorasi, demi melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan DPR dalam menyusun legislasi. Tak peduli pula dengan resiko unjuk rasa akan berujung ricuh yang membuat keselamatan mereka terancam.
Ana (20), mahasiswi Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Nusantara misalnya. Dia mengatakan, kemarahan sudah tak terbendung. Mereka ingin pertanggungjawaban dari wakil rakyat.
Gerak mahasiswa itu pun mendapat apresiasi dari masyarakat. Di Jakarta, riuh rendah tepuk tangan publik mengiringi perjalanan mereka saat bergerak menuju Kompleks Parlemen. Di jalan-jalan, tampak pula sejumlah warga menyalami hingga meminta foto bersama.
Sebagian masyarakat lainnya, bersimpati pada perjuangan mahasiswa dengan membantu saat mereka dipukul mundur oleh aparat ketika unjuk rasa yang semula berjalan tertib berubah menjadi rusuh.
Riuh rendah tepuk tangan publik mengiringi perjalanan mereka saat bergerak menuju Kompleks Parlemen. Di jalan-jalan, tampak pula sejumlah warga menyalami hingga meminta foto bersama.
Dorongan moral
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, Bivitri Susanti, mengatakan, serupa dengan gerakan mahasiswa yang muncul pada era sebelumnya, gejolak mahasiswa kali ini pun lebih banyak didorong oleh moralitas. Mereka yang sehari-hari berjarak dengan politik praktis merasa terpanggil ketika muncul sejumlah persoalan serius yang mengancam bangsa.
Mantan aktivis mahasiswa 1998 ini berpendapat, mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi milenial itu sebenarnya sudah kerap menyuarakan pendapat sesuai semangat zamannya, yakni melalui media sosial. Akan tetapi, gerakan di dunia maya ternyata tak berpengaruh signifikan.
“Dari banyak diskusi, mereka mulai memahami bahwa ada komunikasi politik yang terputus dan mereka harus hadir secara fisik untuk menyuarakannya,” kata Bivitri.
Baca juga: Perbaiki Kepercayaan Publik
Selain itu, masalah yang muncul dari sejumlah RUU memang berdampak langsung pada kehidupan mereka. Misalnya saja, pasal-pasal RKUHP yang berpotensi overkriminalisasi pada masyarakat sipil. Lebih dari itu, RKUHP juga mengandung semangat membatasi kontrol masyarakat sipil terhadap pengelolaan negara.
“Dari poster-poster yang mereka bawa saat demonstrasi, tampak bahwa masalah RKUHP itu juga mengancam mahasiswa,” ujar Bivitri.
Titik balik
Gerakan mahasiswa yang berlangsung secara masif dan terorganisasi memang bukan pemandangan yang mudah ditemukan. Pasca-reformasi, gerakan mahasiswa terfragmentasi sedemikian rupa, menyebar ke segala arah. Saking sulitnya ditemukan, masyarakat umum berkesimpulan bahwa mereka yang masuk dalam rentang usia milenial, memang apolitis.
Wajar saja, generasi milenial tak punya banyak waktu untuk berurusan dengan politik. Mereka berhadapan dengan komersialisasi pendidikan yang salah satunya mewujud dalam biaya pendidikan mahal. Belum lagi pembatasan masa studi yang kian hari kian diperketat.
Setelah lulus, mereka juga harus menghadapi kontradiksi bahwa bekal dari perguruan tinggi tak selalu sejalan dengan kesejahteraan hidup.
Baca juga: "Cukup Ortu Kamu yang Ganggu..."
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, mengatakan, mahasiswa-milenial sebenarnya juga menjadi korban eksploitasi elite politik. Banyak elite mengatasnamakan mereka, tetapi tidak pernah benar-benar mendengarkan aspirasi, membawa isu spesifik, dan memberikan saluran autentik terhadap milenial.
“Kontradiksi tersebut juga merupakan awal dari corak politik mereka yang bernuansa protes dan resistansi,” ujarnya.
Selain itu, aksi mahasiswa pada 2019 ini juga mampu memecah kebuntuan gerakan selama 21 tahun terakhir. Menurut Airlangga, mereka mulai berhasil merumuskan tujuan politiknya.
Keberhasilan merumuskan tujuan politik itu membuat mereka seperti bangun dari tidur panjang. Mereka sudah tahu siapa yang harus digugat.
Mahasiswa menyadari, ada perubahan pola penindasan dalam politik Indonesia. Jika pra-reformasi hal itu disebabkan oleh sosok pemimpin otoriter, saat ini permasalahan muncul karena adanya kekuatan sosial yang dominan, yaitu oligarki. Aliansi bisnis dan penguasa telah menguasai ruang dan arena politik, serta memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan mereka sendiri.
“Keberhasilan merumuskan tujuan politik itu membuat mereka seperti bangun dari tidur panjang. Mereka sudah tahu siapa yang harus digugat,” kata Airlangga.
Baca juga: Ruang Dialog Tetap Harus Dibuka
Meski demikian, perjuangan belum usai. Mahasiswa perlu terus membangun sensitivitas politik, hubungan strategis dengan elemen masyarakat sipil, dan kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat gerakan.
Baca juga: Ada Upaya Mendelegitimasi Gerakan Mahasiswa
Jangan sampai terjebak pada hubungan dengan pihak-pihak yang dapat mengubah tujuan politik yang autentik. Mahasiswa harus tetap menjadi bagian dari kekuatan sosial strategis untuk mengawasi dan mengingatkan penguasa ketika menyimpang.