Pengembangan Kasus di PT Angkasa Pura Propertindo, KPK Tetapkan Dirut PT INTI Tersangka
Direktur Utama PT INTI, Darman Mappangara diduga menyuap Andra Agussalam, mantan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, supaya dia mengawal proyek di Angkasa Pura II agar bisa dikerjakan oleh PT INTI.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Utama PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) atau PT INTI, Darman Mappangara sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek sistem penanganan bagasi di PT Angkasa Pura Propertindo oleh PT INTI, tahun 2019. Penetapan tersangka, hasil pengembangan penyidikan kasus tersebut.
Darman diduga memberi suap kepada tersangka Andra Agussalam, mantan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero) Tbk, melalui tersangka Taswin Nur, mantan staf PT INTI.
“Dugaan pemberian suap DMP (Darman) digunakan untuk mengawal agar proyek Baggade Handling System (sistem penanganan bagasi) dikerjakan oleh PT INTI. Pada 2019, PT INTI mengerjakan beberapa proyek di PT Angkasa Pura II,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Beberapa proyek yang dikerjakan PT INTI di PT Angkasa Pura II, antara lain proyek Visual Docking Guidance System (VGDS) senilai Rp 106,48 miliar, proyek Bird Strike Rp 22,85 miliar, proyek pengembangan bandara Rp 86,44 miliar.
Selain itu, PT INTI memiliki daftar prospek proyek tambahan di PT Angkasa Pura II dan PT Angkasa Pura Propertindo, yakni proyek X-Ray 6 bandara senilai Rp 100 miliar, sistem penanganan bagasi di 6 bandara senilai Rp 125 miliar, proyek VDGS Rp 75 miliar, dan proyek radar burung Rp 60 miliar.
Febri menyampaikan, PT INTI diduga mendapatkan sejumlah proyek berkat bantuan tersangka Andra yang diduga menjaga dan mengawal proyek-proyek tersebut agar dimenangkan dan dikerjakan oleh PT INTI. KPK mengidentifikasi komunikasi antara Darman dan Andra terkait dengan pengawalan proyek-proyek tersebut.
Menggunakan kode
Tak hanya itu, Darman juga memerintahkan Taswin memberikan uang pada Andra. Terdapat beberapa “aturan” yang diberlakukan untuk menyamarkan suap. Di antaranya, uang harus diberikan dalam bentuk tunai. Kemudian jika jumlahnya besar harus ditukar dengan mata uang dollar AS atau dollar Singapura. Selain itu, ada kode “buku” atau “dokumen” yang digunakan.
Febri menuturkan, sekitar pukul 16.00, 31 Juli 2019, Taswan meminta sopir Andra untuk menjemput uang yang disebut dengan kode “barang paket” di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Taswin kemudian memberikan uang sejumlah Rp 1 miliar dalam bentuk 96.700 dollar Singapura yang terdiri dari 96 lembar pecahan 1.000 dan 7 lembar pecahan 100.
“Sekitar pukul 20.00 WIB, TSW (Taswin) bertemu dengan sopir AYA (Andra) untuk penyerahan uang. Sesaat setelah penyerahan tersebut, Tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap TSW dan sopir AYA di pusat perbelanjaan tersebut,” ujar Febri.
Dengan kembali terungkapnya kasus suap di BUMN, Febri mengingatkan BUMN agar menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam menjalankan bisnis.
“Ini juga merupakan praktik yang sangat miris, karena semestinya dengan kewajiban dan standar GCG (tata kelola perusahaan yang baik) yang lebih kuat di BUMN dapat menjadi contoh bagi praktik pencegahan korupsi di sektor swasta. Proses pemilihan unsur pimpinan BUMN atau BUMD juga perlu menjadi perhatian,” tegas Febri.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman menyampaikan, kasus ini memprihatinkan karena baik pemberi maupun penerima suap berasal dari lingkaran BUMN. Seharusnya, BUMN dapat menjunjung profesionalitas dan menjadi contoh bagi swasta lain.
Apalagi, dengan adanya aturan bahwa antar-BUMN diperbolehkan untuk mengutamakan BUMN lain dalam hal pengadaan barang dan jasa. Aturan itu seharusnya dapat mencegah suap antar-BUMN.
“Salah satunya (korupsi masih terjadi di BUMN), disebabkan karena lemahnya pengawasan. Meski telah diawasi Badan Pemeriksa Keuangan, namun pengawasan internal di korporasi masih lemah karena keterikatan politik. Misalnya dewan komisaris yang duduk di jabatan tinggi BUMN, itu banyak politisi yang tidak punya profesionalitas,” ujarnya.
Zaenur pun memberikan catatan bagi KPK untuk terus mengusut kasus ini karena ada potensi tidak hanya direktur utama yang menjadi tersangka, tetapi bisa juga menjerat korporasi. Untuk itu, perlu dilihat lebih jauh sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.