Sebuah Kisah Angin Lalu
Kompas/Supriyanto Cartoons
Aku menceritakan ini padamu ketika tubuh sudah jadi abu yang beterbangan. Setelah raga habis terbakar dan angin membawanya ke sudut telingamu agar aku mudah membisikkan sebuah kisah hidup. Meskipun cerita itu mungkin hanya akan dianggap angin lalu.
***
Sebagaimana didongengkan oleh semua orang, aku berharap menjadi sesuatu yang bisa berguna bagi orang-orang di sekitarku. Ketika kecil, aku bercita-cita agar dikenang sebagai sang pelindung bagi semua yang membutuhkan, tempat bersandar bagi yang kelelahan, serta penyejuk bagi yang kepayahan melawan panas dunia. Cita-cita yang segera kusadari sebagai impian muluk. Bukan karena aku berhenti berbaik hati, tapi rupanya kebaikan, tidak seperti di dongeng, sering kali justru membuatmu dimanfaatkan atau setidaknya dianggap sepele dan gampangan.
Tumbuh dan bertahan di lingkunganku tidak mudah. Apalagi Tuhan menganugerahiku tubuh yang mulus. Semua tangan manusia itu seperti ingin menyentuh dan mengotori tubuhku sejak aku masih sangat kecil. Dan saat aku mulai memasuki usia remaja, mulailah mereka melakukan hal gila yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tubuhku ditusuk dengan benda hingga mengeluarkan cairan pertanda luka. Rasanya sakit sekali. Sungguh.
Tentu aku berontak, tapi bagi mereka berontakku hanyalah diam sebab mereka tak mengerti gerak, tingkah, apalagi bahasaku. Bagi mereka aku terus bergeming mendapatkan semua perlakuan itu. Dan sering kali mereka menerjemahkan diam sebagai pertanda setuju. Maka, dari hari ke hari, semakin sering aku menjadi korban kegilaan mereka.
Tangan-tangan itu dengan seenaknya menempeli tubuhku dengan berbagai bahan yang dihias berbagai warna, berbagai tekstur, berbagai gambar. Menepuk-nepuk tubuh ini sedemikian rupa. Seolah memastikan yang mereka kenakan padaku akan bisa kukenakan selamanya, meskipun kenyataan berkata tak pernah ada yang bertahan lama. Sebab akan ada orang lain yang datang dan memberikanku sesuatu yang baru untuk disampirkan di tubuh ini.
***
Aku tak ingat lagi wajah laki-laki yang mendatangiku malam itu. Ia mengelus-elus tubuhku sebelum melukainya dan memberiku sebuah pakaian baru lagi. Motif baru, warna baru, dan gambar baru. Ditambah beberapa tulisan yang tidak kumengerti. Pagi harinya, beberapa orang melihat gambar tersebut. Tatapan mata mereka sulit untuk kuterjemahkan, tapi aku tahu bahwa ada campuran antara tak suka dan tak bisa berbuat apa-apa dalam tatapan itu.
Aku juga tahu bahwa untuk pertama kalinya, mereka benar-benar peduli dengan apa yang dikenakan padaku. Aku sendiri? Mereka memang tak pernah benar-benar peduli padaku. Mungkin bagi mereka aku hanya benda murahan yang bisa dipegang siapapun. Tapi bagaimanapun, keberadaan gambar yang dikenakan padaku membuat tatapan mereka semakin tak enak.
Tatapan tersebut kemudian berlanjut menjadi bisikan dengan wajah masam. Semakin tak nyaman saja rasanya. Aku merasa akan ada sesuatu yang buruk. Dan malam harinya, salah seorang yang berbisik-bisik itu mendatangiku. Melepas kain yang dikenakan padaku dengan paksa. Sebagian kulitku ikut terlepas bersama kain itu. Aku berteriak. Tentu saja. Tapi ia tak mendengarnya. Lelaki itu kemudian pergi dengan wajah puas. Tak ada lagi gambar itu di tubuhku.
Saat hari baru bergulir dan cahaya matahari merayapi badan, beberapa orang menatap bagian tubuhku yang tak mengenakan apapun. Sebagian dari mereka menatap lega, tapi aku tahu, sebagian lain, meskipun sembunyi-sembunyi, tidak setuju dengan hilangnya kain bergambar yang tadinya melekat di sana. Kecemasanku bertambah dan terbukti karena di malam harinya, datang lagi seseorang yang lain lagi dengan gambar yang sama, motif yang sama, warna yang sama. Dan tulisan yang kemudian kuketahui sebagai sebuah ajakan untuk memilih.
Persoalannya adalah kali ini ia membawa benda laknat yang selalu ditusukkan kepadaku hingga aku terluka. Enam kali. Bayangkanlah kejadian berikutnya. Enam kali benda laknat itu ditancapkan sedemikian dalam ke tubuhku. Seolah-olah agar ia tak bisa lagi dilepas. Aku bergetar-getar kesakitan. Namun manusia mungkin memang tak pernah bisa membaca pertanda selain yang ia inginkan saja. Lelaki itu menghilang dalam gelap bahkan sebelum lukaku mengering.
Keesokan harinya, aku menjadi saksi keegoisan manusia. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, mereka menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap gambar yang menempel di badanku. Dengan terang-terangan. Begitu juga orang yang setuju, mereka mengatakannya dengan berterus-terang.
Pihak yang setuju berteriak-teriak mengutuki siapapun yang telah mencabut gambar itu sehari sebelumnya. Pihak yang dikutuk tak terima dan mengutuk balik. Aku merasakan hawa tubuh mereka semua memanas. Mereka benar-benar siap untuk berkelahi. Dan semua itu, dari yang aku simpulkan, hanya karena orang yang ada di gambar tersebut berkulit lebih cerah dan matanya lebih kecil dibandingkan kebanyakan orang di daerah sini. Hanya karena itu, dan mereka benar-benar sudah akan berkelahi.
Masih sedikit beruntung perkelahian itu tak benar-benar terjadi karena tetua dari masing-masing pihak berusaha meredam dan berunding. Meski tak berjalan mulus, kedua belah pihak sepakat untuk tak lagi memperpanjang masalah. Gambar lelaki sipit di tubuhku boleh dipajang dalam radius tertentu yang sudah ditentukan. Kalau batas itu dilanggar, maka semua gambarnya yang tersebar akan dibakar. Perwakilan kelompok masing-masing menganggukkan kepala. Tampaknya semua akan selesai dengan damai sampai salah satu dari mereka menunjuk aku dan berkata, “Bagaimana dengan gambar yang di sana? Itu kan di luar batas yang disepakati.”
Mereka mendekat padaku, mencabut enam paku penyangga gambar yang menghiasi tubuh. Lalu nasibku sebagai makhluk hidup diputuskan untuk berhenti di sana. Karena kedua kubu tidak ada yang mau mengalah, maka aku pun dibunuh. Ya. ‘Ditebang’ kalau kata mereka. Agar tidak ada lagi batas yang samar-samar. Dan agar tidak ada pemicu konflik yang berikutnya. Mendengar itu, aku tertawa di ujung kematian. Mereka yang menentukan batas, dan aku yang didapuk menjadi pemicu konflik. Kehidupanku telah berakhir, tapi kekecewaanku justru baru lahir.
***
Tubuhku tergeletak dan dibiarkan saja oleh manusia-manusia itu. Mereka sama sekali lupa bahwa aku pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Sampai enam bulan lamanya. Sampai akhirnya datang seseorang yang melihatku dalam ketidakberdayaan. Ia bersama beberapa temannya menggotong dan memindahkanku ke sebuah tempat yang jauh sekali. Lalu mulai memotong-motong tubuhku, menjadi balok-balok kecil yang panjang.
Dalam wujud yang seperti itu, mereka kemudian menjadikan aku sejenis potongan-potongan kayu penopang. Alat pembantu yang memudahkan mereka dalam membangun rumah, gedung, dan bangunan lain. Untuk menghibur hati, aku berujar pada diri sendiri bahwa paling tidak, aku pernah bermanfaat. Meskipun dalam prosesnya, bagian tubuhku semakin banyak yang berkurang karena terus menerus dipotong, dikikis, atau dibuang. Tapi, seingatku selama empat tahun, tak kurang dari tujuh bangunan yang pernah menggunakan potongan tubuhku sebagai alat. Di antara ketujuh bangunan itu, yang paling berkesan adalah yang terakhir. Saat bagian-bagianku digunakan untuk membantu pembangunan Tugu Hari Bumi.
Rasanya lucu saja manusia-manusia itu. Mereka membunuhku dan menggunakan aku untuk membangun tugu peringatan Hari Bumi, yang kemungkinan besar berkaitan dengan gerakan penghijauan. Manusia memang kadang selucu itu. Lebih lucu lagi ketika akhirnya datang manusia-manusia laknat lain.
Mereka mengambil potongan tubuhku yang tersisa dan menggunakannya sebagai penyangga foto orang: dengan senyum, nomor urut tertentu, dan ajakan untuk memilihnya. Firasatku menyatakan akan terjadi sesuatu yang buruk. Benar saja. Hanya dalam hitungan dua hari, orang dari pihak yang tidak suka pun muncul.
Dengan pemantik di tangan. Ia menyalakan api yang kemudian membakar foto yang kusangga, dan tentu saja aku juga ikut terbakar bersamanya. Sisa tubuhku yang terakhir, mengering, hitam, dan hangus. Bersama bara api itu, kekecewaanku lahir untuk kedua kalinya. Tapi kecewa itu hanya akan semakin menyakiti saat ia kupendam sendiri. Maka kuputuskan untuk membaginya pada siapa saja yang melintas di dekatku.
Kali ini aku datang padamu, ketika tubuh sudah jadi abu yang beterbangan. Setelah raga habis terbakar dan angin membawanya ke sudut telingamu agar aku mudah membisikkan sebuah kisah hidup. Meskipun cerita itu mungkin hanya akan dianggap angin lalu.
_________________________
Rizqi Turama, dosen di Universitas Sriwijaya. Pernah mengikuti Kelas Cerpen Kompas yang dipandu oleh Putu Fajar Arcana dan Joko Pinurbo pada November 2016. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Kompas, Magelang Ekspress, Koran Pantura, dan lain-lain. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang. Buku terbarunya berjudul Teriakan dalam Bungkam.