Tuntut Keadilan, Mahasiswa Akan Kembali Berunjuk Rasa
Mahasiswa yang tergabung dalam Border Masyarakat (Borak) akan kembali berunjuk rasa dalam waktu dekat. Mereka akan mendesak Kepolisian RI untuk membuka data para demonstran korban kekerasan, penangkapan, dan hilang.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi taktis, yaitu Border Masyarakat atau Borak, akan kembali berunjuk rasa dalam waktu dekat. Mereka akan mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk membuka data para demonstran korban kekerasan, penangkapan, dan hilang, serta terkait lima demonstran yang meninggal dunia.
Anggota Borak dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Natado Putrawan (24), mengatakan, aksi simpatisan bagi para korban unjuk rasa akan dilakukan dalam waktu dekat. Lokasi aksi direncanakan salah satunya di depan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
“Ini merupakan aksi simpati kepada kawan-kawan kami. Dalam waktu dekat kami akan turun untuk memperjelas apa yang terjadi dan mendesak polisi membuka ruang seluas-luasnya bagi advokasi yang dibutuhkan kawan-kawan kami yang masih ada dalam Polda saat ini,” ujar Natado, di Jakarta, Minggu (13/10/2019).
Kami akan turun untuk memperjelas apa yang terjadi dan mendesak polisi membuka ruang seluas-luasnya bagi advokasi yang dibutuhkan kawan-kawan kami yang masih ada dalam Polda saat ini.
Sebelumnya, pada Jumat (11/10), Koalisi Masyarakat Sipil menggelar aksi “Indonesia Berduka” di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan. Aksi doa bersama ini untuk mengenang lima pengunjuk rasa yang meninggal dunia dalam rangkaian aksi unjuk rasa pada 24-26 September serta 30 September-1 Oktober.
Kelima korban yang dikenang sebagai pahlawan demokrasi, yakni dua mahasiswa Universitas Haluoleo di Kendari, Randy dan M Yusuf Kardawi. Sementara tiga lainnya di Jakarta, yaitu seorang pemuda, Akbar Alamsyah (19); siswa SMA, Bagus Putra Mahendra (15); dan juru parkir, Maulana Suryadi (23).
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengemukakan, kelimanya merupakan korban tindakan represif anggota kepolisian. Ini menunjukkan, polisi sama sekali tidak transparan dan tidak menjalankan fungsinya sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Seharusnya tidak terjadi kematian dalam aksi unjuk rasa. Maka polisi harus bertanggung jawab penuh untuk menjelaskan kenapa mereka bisa meninggal dunia dan ini harus dibuka kepada publik,” ujarnya.
Nelson mengatakan, data pengaduan masyarakat kepada Tim Advokasi untuk Demokrasi, dari 25 September-3 Oktober 2019, menunjukkan, ada 390 orang yang mengadukan sanak saudaranya hilang. Pengaduan ini terjadi karena tertutupnya kepolisian terkait data orang-orang dalam aksi demonstrasi yang ditangkap.
Memang benar sudah ada orang-orang yang dikembalikan ke keluarganya, namun itu tidak cukup. Sebab, bagi mereka yang telah dikembalikan maupun yang masih ditahan tidak mendapatkan bantuan dari kuasa hukum sama sekali.
“Ketika momen itu (pemeriksaan oleh polisi) tidak diisi oleh bantuan kuasa hukum, itu rawan diperiksa oleh cara-cara yang melawan hukum, misalnya dipukul. Kita pun enggak tahu apakah kemudian yang menjadi tersangka benar-benar melakukan?” tegas Nelson.
Ada 390 orang yang mengadukan sanak saudaranya hilang. Pengaduan ini terjadi karena tertutupnya kepolisian terkait data orang-orang dalam aksi demonstrasi yang ditangkap.
Dari catatan Kompas (12/10/2019), Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengemukakan, Polda Metro Jaya telah menetapkan 14 tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan sukarelawan Jokowi, yakni Ninoy Karundeng. Awal pekan ini, ada 13 orang yang ditetapkan tersangka dalam kasus itu.
Kemarin, tersangka bertambah satu orang lagi. Namun, Argo enggan menyebutkan siapa tersangka baru dalam kasus itu. ”Nanti saja dulu,” ujar Argo.
Menjelang berlakunya UU KPK
Anggota Borak dari Universitas Pasundan, Azhar Abdillah, menyampaikan, dalam menggelar aksi, Borak terus berkoordinasi dengan kelompok mahasiswa lain, termasuk badan eksekutif mahasiswa (BEM) maupun lembaga kepresidenan mahasiswa. Tujuannya adalah menjaga isu-isu terkait #ReformasiDikorupsi terus bergulir hingga terselamatkan.
Selain aksi simpati bagi para demonstran yang meninggal, Borak juga akan terus mengadakan rapat konsolidasi terkait Undang-undang (UU) KPK hasil revisi yang hingga kini belum jelas nasibnya. Janji penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pun belum kunjung terbit.
Setelah UU KPK hasil revisi disahkan DPR pada 17 September 2019, maka setelah 30 hari, yang artinya pada 17 Oktober 2019, meskipun tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo, UU KPK akan berlaku. Dengan begitu, tinggal empat hari lagi potensi pelemahan upaya pemberantasan korupsi akan berlaku.
“Kami tetap mengadakan rapat konsolidasi terkait dengan janji penerbitan Perppu KPK oleh Presiden yang seharusnya direspon cepat. Selain itu, kami juga akan tetap mengawal teman-teman yang sudah membuka permohonan peninjauan kembali di MK apabila perppu tetap tidak terbit,” ujar Azhar.
Secara terpisah, Ketua BEM seluruh Indonesia dari Institut Pertanian Bogor, M Nurdiansyah, pun menyampaikan, belum ada rencana aksi mahasiswa dalam waktu dekat. “Besok tidak akan ada aksi dari mahasiswa,” katanya.