Menyelisik Kisah Siti Aisyah dalam Kasus Pembunuhan Kim Jong Nam
Meliput kasus pembunuhan Kim Jong Nam yang melibatkan warga Indonesia, Siti Aisyah, penulis menelusuri jaringan pengurusan paspor di sebuah pelabuhan. Penulis juga mendatangi kos dan spa tempat Aisyah dulu bekerja.
Sejak pertama kali masuk Malaysia tahun 2002, penulis berkesempatan melakukan beberapa liputan investigasi. Mulai dari kasus penyelundupan manusia, kayu ilegal, berbagai kejahatan di perbatasan, hingga kasus high profile, seperti pembunuhan Kim Jong Nam, saudara tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tahun 2017.
Ketika menyusuri kasus Siti Aisyah, WNI yang sempat didakwa terlibat dalam pembunuhan Kim Jong Nam, titik pertama yang penulis telusuri adalah jaringan pengurus paspor di salah satu pelabuhan penyeberangan yang menghubungkan Batam dan Johor, Malaysia. Penulis menghubungi jejaring satuan intelijen di salah satu instansi non-TNI dan kepolisian.
Sebelum era reformasi, aparat intelijen dari berbagai instansi di luar TNI, seperti Kejaksaan, Bea Cukai, dan Kementerian Dalam Negeri, menempuh pendidikan di lembaga intelijen milik TNI sehingga terjalin jaringan kerja dengan sesama komunitas intelijen. Jaringan inilah yang membantu penulis mencari si pengurus paspor dan tiket Siti Aisyah.
”Mohon beri waktu, Bang. Kita kasih kabar sore atau malam ini. Ketemu di dekat Batam Centre,” ujar aparat intelijen salah satu instansi yang bertugas di Batam ketika dimintai tolong untuk menghubungkan dengan si pengurus paspor.
Penulis kemudian bertemu beberapa personel intelijen salah satu instansi yang ditugaskan di Batam. Mereka segera menjelaskan siapa si pengurus paspor dan jaringan kerjanya serta cara mereka berhubungan dengan Siti Aisyah. Diketahui, Siti Aisyah sekurangnya sebulan sekali pulang dari Kuala Lumpur ke Batam dengan cara menyeberang via Johor, yakni dari terminal feri di Setulang Laut ke Batam Centre.
Pada waktu yang ditentukan, penulis dipertemukan dengan si pengurus paspor. Semula dia enggan mengakui hubungannya dengan Siti Aisyah karena kasus ini sedang hangat dibahas di media massa. Namun, pada akhirnya, dia mau juga mengakui telah sering membantu Siti mengurus tiket dan mengantar ke terminal feri di Batam untuk kembali ke Johor, Malaysia. Untuk jasanya itu, ia menerima imbalan.
Baca juga: Diplomasi Total untuk Siti
Informasi mengenai pola kedatangan dan keberangkatan Siti Aisyah, siapa temannya, dan lain-lain disampaikan juga oleh sang pengurus tiket dan paspor tersebut.
Selanjutnya, penelusuran dilakukan bersama rekan sesama wartawan harian Kompas, yakni Kris Razianto Mada. Kami pergi ke sebuah pertokoan di dekat tempat kos Siti Aisyah di Batam dan juga tempat kerjanya, di sebuah kios penjual pakaian. Para penjaga kios di pertokoan tersebut masih mengingat Siti Aisyah sebelum ia merantau ke Malaysia. Demikian pula dengan tempat kosnya yang berjarak sekitar 1 kilometer dari kios tersebut.
Sayangnya, dua gadis teman bergaul Siti Aisyah yang pada awal kasus pembunuhan Kim Jong Nam mencuat masih bisa dijumpai wartawan, kemudian tidak dapat ditemui lagi. Nomor telepon genggam keduanya tiba-tiba tidak aktif.
Setelah data dari Batam cukup, perjalanan diteruskan ke Johor dengan menumpang feri dari pelabuhan di Batam Centre. Feri inilah yang terakhir dinaiki Siti Aisyah sebelum peristiwa pembunuhan Kim Jong Nam terjadi. Ketika penulis dekati, para awak kapal kompak tutup mulut.
Upaya lain, penulis berusaha menghubungi komunitas intelijen di Malaysia dan Singapura untuk bertukar informasi serta membuka akses di kedua negara. Penulis rutin berkomunikasi dengan seorang pejabat Special Branch Intelijen Kepolisian Markas Besar Polis Diraja Malaysia (PDRM) terkait kasus Siti Aisyah.
Penulis tiba di Johor menjelang siang, lalu menuju terminal bus di Larkin untuk mencari bus jurusan Johor-Kuala Lumpur. Perjalanan ditempuh dalam waktu 6 jam. Bus tiba malam hari di terminal terpadu Bandar Tasik Selatan. Kereta api, bus, dan taksi tersedia di sana.
Penulis pun melanjutkan perjalanan ke safe house di sebuah daerah hiburan malam di Kuala Lumpur, tidak jauh dari kawasan Bukit Bintang. Di kawasan tersebut terdapat banyak jagoan alias samseng dalam istilah dunia malam di Malaysia dan Singapura.
Siti Aisyah, sebelum ditangkap PDRM, bekerja di sebuah spa yang dimiliki jaringan Tionghoa setempat. Komunitas Tionghoa di Kuala Lumpur umumnya berbicara dalam dialek Kanton yang sangat berbeda dengan bahasa Mandarin. Penulis kemudian menghubungi kontak lokal yang memiliki hubungan baik dengan para tay ko atau god father Tionghoa setempat.
Baca juga: Lika Liku Pembelaan Siti Aisyah
Penulis juga menghubungi jaringan media berbahasa Mandarin. Biasanya, berita-berita berisi informasi sensitif yang tidak diterbitkan media berbahasa Melayu dan Inggris muncul sedikit demi sedikit di koran berbahasa Mandarin.
Sayangnya, hingga kini tidak ada analis berita berbahasa Mandarin di KBRI di Kuala Lumpur sehingga penulis tidak dapat bertukar informasi mendalam, terutama dalam kasus yang ada kaitannya dengan komunitas Tionghoa di Malaysia.
Tak dinyana, kontak di Special Branch juga mendadak enggan bertukar informasi lebih lanjut soal kasus tersebut. Beruntung, kontak lokal ke jaringan para tay ko kemudian membuka pintu komunikasi dalam dialek Kanton dengan para samseng setempat.
Penulis sempat mendengarkan komunikasi tersebut yang kira-kira berisi ketidakpuasan para penguasa dunia malam atas tekanan PDRM kepada mereka selaku pengusaha.
Mereka diminta ”tiarap” dari media massa. Bahkan, salah satu bos di tempat Siti Aisyah bekerja sempat dianiaya fisik oleh oknum aparat setempat dan diminta meninggalkan Malaysia sampai kasus Kim Jong Nam selesai.
Penulis juga sempat berpura-pura menjadi pelanggan di spa tempat Siti Aisyah bekerja. Ternyata, para pekerjanya telah berganti dengan staf baru. Berbekal komunikasi dalam bahasa Mandarin, pelan-pelan mereka percaya dan mau bercakap seputar kasus Siti Aisyah.
Mereka mengaku kena getah kasus Siti Aisyah karena oknum aparat menekan mereka meski tidak ada sangkut paut langsung dengan kasus pembunuhan tersebut.
Lebih lanjut, penulis menelusuri pacar Siti Aisyah yang tinggal di utara Kuala Lumpur. Pacar yang berbisnis katering tersebut mengaku trauma dengan kejadian yang menimpa Siti Aisyah karena dia beberapa kali mengemudikan mobil untuk mengantar Siti Aisyah ke lokasi shooting video prank yang sebetulnya modus dari para agen Korea Utara untuk mengeksekusi Kim Jong Nam.
Setelah berhasil membangun kepercayaan dan bertukar informasi, penulis berhubungan dengan aparat intelijen Indonesia di dekat lokasi pertama Siti Aisyah memainkan peran prank di dekat Mall Pavillion di Bukit Bintang.
Kami bertukar data, terutama informasi dari komunitas Tionghoa tempat Siti Aisyah pernah bekerja yang selama ini sulit digali. Adapun selama proses penelusuran berlangsung, rekan wartawati harian Kompas, Luki Aulia, melakukan proses liputan secara resmi dan menghadiri rangkaian persidangan kasus Siti Aisyah di Kuala Lumpur dan Putra Jaya.
Selama di Kuala Lumpur, penulis dan Luki Aulia tidak bertemu langsung, tetapi hanya saling bertukar perkembangan kabar terbaru serta rencana pergerakan selama di Malaysia.
Akhirnya, setelah data dirasakan cukup, penulis kembali ke Jakarta. Namun, sebelumnya, seorang kontak setempat mengantarkan penulis menelusuri lokasi prank terhadap Kim Jong Nam, seperti di KLIA, balai polisi, hingga klinik tempat dia meninggal akibat dugaan terpapar racun syaraf jenis VX.
Setelah itu, tulisan panjang pun dibuat. Pada tahun 2018, Luki Aulia dan penulis mendapatkan penghargaan dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia berupa Hassan Wirajuda Perlindungan Award.
Siti Aisyah akhirnya dibebaskan dari tahanan dan pulang ke Tanah Air setelah jaksa memutuskan menarik berkas dakwaannya pada awal Maret 2019. Namun, status hukumnya hingga kini belum jelas.
Sementara itu, warga Vietnam, Doan Thi Huong, yang sama-sama didakwa membunuh Kim Jong Nam, divonis 3 tahun 4 bulan penjara setelah jaksa mengubah dakwaan dari pembunuhan menjadi secara sengaja mencederai orang lain dengan benda berbahaya (Kompas, 2/4/2019).