Ini yang Perlu Diprioritaskan Menteri Siti Nurbaya Bakar
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar disarankan untuk memprioritaskan penegakan hukum lingkungan, mengantisipasi perubahan iklim, dan memperjuangkan pembangunan ke depan berbasis lingkungan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum lingkungan perlu diprioritaskan oleh Siti Nurbaya Bakar yang kembali dipercaya Presiden Joko Widodo untuk menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, Siti juga harus memperjuangkan setiap pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan aspek lingkungan. Hal lain yang juga menjadi prioritas adalah mengantisipasi perubahan iklim.
Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang (UNP) Indang Dewata mengatakan, salah satu hal yang patut diprioritaskan oleh Siti dalam kepemimpinan periode kedua ini adalah terkait penegakan hukum. Menurut dia, penegakan hukum yang kuat akan bermuara pada kepedulian semua unsur terhadap lingkungan.
Penegakan hukum yang dimaksud Indang, antara lain, berkaitan dengan kasus kebakaran hutan dan lahan, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan, hingga penyerobotan hutan. Selama ini penegakan hukum hanya menyasar sebagian pihak, belum komprehensif, apalagi pihak korporasi.
”Baru kepala daerah saja yang diproses, korporasi-korporasi yang terlibat masih belum tersentuh," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Hal senada diungkapkan oleh Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu A Perdana. Kuatnya penegakan hukum bisa menjadi langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
”Kita tahu selama ini sudah ada moratorium tentang sawit, tetapi pembukaan lahan secara luas masih terus terjadi,” ujarnya.
Menurut Wahyu, KLHK ke depan semestinya lebih tegas dalam menguak kasus kebakaran hutan dan lahan. Mereka dituntut untuk terbuka pada data lahan konsesi yang terbakar dari tahun ke tahun. Jika tidak, masyarakat yang akan terus-menerus menjadi kambing hitam.
Hal lain yang perlu dioptimalkan terkait perhutanan sosial. Selama 2015-2019, dari target 12,7 juta hektar, capaian perhutanan sosial tidak lebih dari 25 persen. ”Penting untuk meninjau kembali perizinan lahan konsesi. Jika realisasi tanamnya tidak terpenuhi, dicabut saja dan digunakan untuk lahan perhutanan sosial,” katanya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menilai, pada periode kedua ini, Siti Nurbaya Bakar harus bisa memperjuangkan kepentingan lingkungan dalam pembangunan di Indonesia. Aspek-aspek lingkungan mesti dijadikan prioritas karena dapat berimplikasi secara jangka panjang.
”Tidak akan ada pembangunan yang berhasil kalau lingkungannya rusak. Dampak yang ditimbulkan akan menguras banyak biaya,” katanya.
Tata menyadari bahwa hal tersebut tidak mudah diwujudkan. Sebab, Menteri LHK harus berhadapan dengan kepentingan lembaga lain atau pihak swasta. Oleh karena itu, ia berharap agar perjuangan KLHK ke depan bisa lebih diperkuat. Misalnya, dalam hal memperketat baku mutu emisi (BME) PLTU Batubara.
”Perjuangan ini penting untuk mencegah perubahan iklim yang berdampak pada pertanian, bencana, atau hal lain yang bisa merugikan negara,” ujarnya.
Kolaborasi
Ketua Research Center for Climate Change Universitas Indonesia Jatna Supriatna juga berharap isu perubahan iklim menjadi prioritas.
Menurut dia, KLHK perlu membangun kolaborasi dengan kementerian lain untuk menjadikan isu tersebut sebagai prioritas nasional. ”Terutama koordinasi dengan Kementerian Pertanian. KLHK juga perlu mendorong peran dari sektor privat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM),” ujarnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Indang. Selain LSM, Siti Nurbaya Bakar juga perlu menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi. Perguruan tinggi dinilai memiliki sumber daya manusia (SDM) yang dapat mendukung penyelesaian persoalan lingkungan.
”Misalnya terkait pencemaran lingkungan, ahlinya adalah orang-orang dari perguruan tinggi,” kata Indang yang juga sebagai Ketua Program Studi Magister Lingkungan Hidup UNP.
Indang merasa, selama ini peranan LSM dan perguruan tinggi relatif meredup dalam penanganan masalah lingkungan. Padahal, peran keduanya bersama pemerintah dapat berimplikasi positif. Terlebih, saat ini sejumlah kampus telah mengembangkan pusat studi lingkungan hidup.
Cari solusi
Sebelumnya, di depan para pengelola kawasan konservasi, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengingatkan instruksi Presiden Joko Widodo kepada para menteri di Kabinet Indonesia Maju. Salah satunya, menteri diminta agar selalu mengecek dan mencari solusi permasalahan di lapangan.
Menurut dia, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran para pengelola kawasan konservasi di lapangan. Oleh sebab itu, dalam mendukung kerja Menteri Siti, Bambang meminta agar para pengelola kawasan konservasi dapat bersikap adaptif dan peka terhadap masalah yang terjadi.
”Dengan beradaptasi, kita bisa memetakan kondisi kerja di wilayah konservasi yang kita kelola,” katanya.
Bambang meyakini, hal tersebut juga akan berujung pada produktivitas kerja para pengelola. Dengan begitu, unit pelaksana teknis (UPT) seperti taman nasional atau cagar alam akan selalu berinovasi. Hal itu selaras dengan visi pemerintah, yakni membangun karakter sumber daya yang berdaya saing.
”Hal itu dibutuhkan karena saat ini kita dituntut untuk memberikan hasil kerja yang nyata,” ujarnya.