Hasil penelitian serta pemetaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud selama 28 tahun terakhir menunjukkan, bahasa daerah di Indonesia yang teridentifikasi dan divalidasi mencapai 718 bahasa.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Dari 718 bahasa daerah, 11 bahasa daerah telah punah. Sejumlah daerah membuat peraturan untuk melestarikan bahasa daerah, tetapi masih banyak daerah yang abai.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil penelitian serta pemetaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama 28 tahun terakhir menunjukkan, bahasa daerah di Indonesia yang teridentifikasi dan divalidasi mencapai 718 bahasa. Jumlah ini diperoleh dari 2.515 daerah pengamatan.
Apabila dilihat berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per wilayah, bahasa yang ada di Indonesia berjumlah 746 bahasa. Ratusan bahasa tersebut tersebar di delapan kepulauan, meliputi Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Dari delapan kepulauan tersebut, jumlah persebaran bahasa terbanyak terdapat di Papua, yaitu mencapai 428 bahasa.
”Dari 718 bahasa yang sudah terpetakan, sebanyak 74 bahasa telah terkaji vitalitasnya, mulai dari kategori aman, stabil, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis, dan punah. Sama seperti tahun lalu, bahasa daerah yang telah punah ada 11 bahasa,” kata Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar, Kamis (24/10/2019), di Jakarta.
Bahasa daerah yang punah rata-rata di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Dari 11 bahasa daerah yang punah, sembilan bahasa terdapat di Maluku dan Maluku Utara, yakni bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Sementara itu, dua bahasa daerah lainnya yang juga punah berasal dari Papua, yakni bahasa Tandia dan bahasa Mawes.
Terdapat sejumlah penyebab utama kepunahan bahasa daerah. Pertama, menyusutnya jumlah penutur bahasa daerah di masyarakat. Kedua, sikap masyarakat yang menganggap bahasa daerah kurang bergengsi. Ketiga, perkawinan campur yang tak diiringi pewarisan bahasa kepada anak-anak.
Seiring perkembangan zaman, jumlah penutur bahasa daerah lama-kelamaan terus berkurang. Kondisi ini tidak diimbangi dengan upaya pelestarian sehingga lambat laun jumlah penuturnya pun semakin sedikit.
Keterjagaan bahasa-bahasa daerah tidak lepas dari campur tangan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dalam hal pengembangan, pembinaan, dan perlindungan. Hingga kini, sudah ada 13 peraturan daerah, 3 peraturan gubernur, 1 instruksi gubernur, 4 peraturan bupati, dan 2 peraturan wali kota yang secara khusus mengatur tentang pelindungan bahasa dan sastra di daerah.
”Sebagai contoh, di Sumatera Utara sudah ada perda khusus tentang pengarusutamaan bahasa. Demikian pula, di Jawa Tengah, pemprov setempat mewajibkan masyarakat untuk berbahasa Jawa setiap hari Kamis,” ucap Dadang.
Upaya lain untuk melestarikan bahasa daerah adalah memasukkan atau melesapkan bahasa daerah dan bahasa gaul atau bahasa sehari-hari ke dalam bahasa Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir terjadi penambahan jumlah entri kosakata beserta maknanya ke dalam bahasa Indonesia.
Pada 2017, jumlah entri kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mencapai 108.125 dan maknanya mencapai 126.635. Berikutnya, pada 2018 jumlah entri kosakata menjadi 110.173 dan maknanya sebanyak 128.786. Terakhir, pada 2019 ini jumlah entri kosakata tercatat 110.538 dan jumlah maknanya mencapai 129.214.
”Keberadaan bahasa-bahasa gaul bisa turut menyumbang penambahan kosakata bahasa baku. Sebagai contoh, dulu kata nongkrong dan santai yang awalnya dianggap tidak baku akhirnya bisa diterima dan kemudian masuk menjadi bahasa baku. Bisa jadi, bahasa-bahasa gaul yang sekarang banyak dipakai akan menjadi bahasa baku juga pada suatu saat nanti,” tutur M Abdul Khak, Sekretaris Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud.
Saat ini, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud juga telah mendirikan tiga laboratorium di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Tiga laboratorium tersebut adalah Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra, Laboratorium Forensik Kebahasaan, dan Laboratorium Penerjemahan.
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud juga telah mendirikan tiga laboratorium di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan.
Lebih dari 62.000 orang telah mengunjungi tiga laboratorium tersebut. Mereka belajar banyak hal di situ, salah satunya belajar mendeteksi kasus-kasus pidana terkait penggunaan bahasa di media sosial yang bisa dipelajari di Laboratorum Forensik Kebahasaan.
”Kami telah meminta izin ke Polri untuk memberikan contoh-contoh kasus penggunaan bahasa di media sosial sebagai pembelajaran ke masyarakat agar hal-hal seperti itu tidak terjadi. Contoh-contoh kasus itu diberikan dengan menyamarkan nama-nama yang ada di dalamnya,” kata Dadang.
Dalam konteks lain, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud juga menjalin kerja sama kebahasaan dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti Kementerian Agama dalam revisi terjemahan Al Quran, Badan Informasi Geospasial dalam hal penamaan rupa bumi/toponimi, PT MRT dalam penamaan petunjuk, Mitra Netra dalam penyusunan KBBI Disnetra, Polri dan kejaksaan sebagai saksi ahli kasus pidana/perdata, hingga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam penyusunan daftar nama jabatan.