Teladan dari Sebuah Tumbler
Gerakan pengurangan sampah plastik terus dijalankan di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Salah satunya seperti yang dilakukan para pemimpin daerah itu sendiri.
”Lakukan apa yang kau katakan, katakan apa yang kau lakukan”. Lebih dari sekadar jargon, kalimat itu adalah mantra. Jika terus diulang dan diamalkan semua warga Bitung, bukan tak mungkin plastik sekali pakai akan tersisih dari gaya hidup warga sesuai impian sang wali kota, Maximiliaan Lomban.
Konferensi pers pelatihan pencegahan perburuan satwa liar oleh Pemerintah Kota Bitung, Selasa (22/10/2019), di Manado, Sulawesi Utara, dimulai jelang tengah hari. Empat orang naik ke podium. Tiga di antaranya Wali Kota Bitung Max Lomban, Duta Selamatkan Yaki Khouni Lomban-Rawung, dan Sekretaris Daerah Kota Bitung Audy Pangemanan.
Meski tak mencolok, ketiganya cukup menarik perhatian. Max, Khouni, dan Audy masing-masing menggenggam sebuah botol minum yang beken disebut tumbler. Ketiganya duduk, lalu meletakkan tumbler masing-masing bersebelahan dengan mikrofon dan gelas kaca berisi air di atas meja sehingga terlihat oleh hadirin seisi ruangan.
Alam Bitung adalah anugerah dari Tuhan.
Tak ada standar dari kantor wali kota, ketiganya boleh punya selera sendiri-sendiri. Tumbler Max terbuat dari baja nirkarat dengan lapisan karet berwarna hitam. Botol Khouni berbahan sama, tetapi berwarna merah metalik dengan gambar monyet hitam sulawesi dan tulisan ”Selamatkan Yaki”.
Lain lagi Audy yang membawa botol berbahan akrilik transparan dengan tutup putih. Lembaran irisan tipis lemon mengambang di air di dalam botol. Hal ini mengingatkan pada salah satu sosok calon wakil presiden dalam Pemilu Presiden 2019, Sandiaga Uno. Dalam debat capres-cawapres yang disiarkan televisi nasional, Sandiaga sering membawa tumbler transparan berisi infused water.
”Alam Bitung adalah anugerah dari Tuhan,” kata Max. Dari luas wilayah Bitung 313 kilometer persegi, sekitar 42,67 persen adalah hutan yang meliputi Gunung Tangkoko dan Gunung Duasaudara. Uniknya, Bitung juga memiliki wilayah laut karena letaknya di gerbang Samudra Pasifik.
Selat Lembeh di pesisir timur kota adalah salah satu anugerah yang Max banggakan. Di bawah permukaan perairan itu, hidup lebih dari 3.000 jenis hewan laut.
Melindungi hutan dan isinya dengan mencegah perburuan liar pun sama pentingnya dengan mencegah pencemaran di perairan Bitung. ”Kita harus mengupayakan bagaimana keseimbangan ekosistem ini tidak putus demi masa depan anak dan cucu kita,” kata Max.
Sejak menjabat Wali Kota Bitung pada 2016, Max telah mengampanyekan jargon ”Less Plastic” atau mengurangi pemakaian plastik. Penggunaan tumbler merupakan salah satu implementasinya. Air minum dalam kemasan plastik pun hilang dari berbagai acara resmi pemerintah kota.
Baca juga : Menghitung Sampah Plastik
Di acara konferensi pers itu, misalnya, tidak ada gelas plastik di atas meja kudapan. Hadirin bebas mengambil teh, kopi, dan air mineral dari dispenser dengan gelas keramik.
Hal sama terlihat saat Hari Pengucapan Syukur, 6 Oktober lalu. Ratusan warga dari berbagai kalangan yang pasiar (singgah) di rumah dinas wali kota untuk makan tampak sudah mengerti. Mereka mengambil gelas kaca dari keranjang-keranjang yang sudah disediakan. Dispenser dengan air galon di atasnya tersedia hampir di setiap sudut meja hidangan.
Istri wali kota, Khouni, bahkan menyapa warga sambil membawa tumbler putih. Ketika menyambut tamu-tamu kehormatan dari DPRD Sulut, tumbler itu tetap di tangannya.
Kini, ketiadaan botol dan gelas plastik sudah menjadi prosedur standar Pemkot Bitung. ”Di rapat, pertemuan, atau acara apa pun, saya tidak mau ada gelas-gelas plastik. Semua pegawai negeri di lingkungan Pemkot Bitung kami imbau untuk pakai tumbler supaya bisa isi ulang sendiri,” ucap Max.
Tidak anti plastik
Max mengatakan, dirinya tidak anti terhadap plastik. Namun, pengurangan penggunaan plastik sangat mendesak. Apalagi, lanjutnya, Indonesia adalah polutan laut terbesar nomor dua di dunia.
Catatan Kompas (16 September 2019), timbulan sampah di Indonesia mencapai 65,8 juta ton setiap tahun. Sampah plastik menyusun 15 persen dari keseluruhan. Celakanya, dari semua timbunan sampah plastik, 15-30 persen tak dikelola dengan baik sehingga mengotori lingkungan sungai, danau, pantai, dan laut.
Sebagai upaya yang lebih besar, Pemkot Bitung memulai program pengurangan sampah plastik dengan Peraturan Wali Kota Bitung Nomor 70 Tahun 2018. Sekda Bitung Audy mengatakan, peraturan itu dibuat demi menjadikan Bitung kota dengan lebih sedikit sampah plastik dengan merangkul semua warga, seperti nelayan.
”Nelayan di Bitung sering berangkat melaut dengan kapal penuh kardus air mineral dan mi instan. Tapi, waktu kembali ke sini, perahunya bersih karena sampah plastiknya pasti dibuang ke laut. Makanya, kami memulai pencatatan manifes sampah plastik,” tuturnya.
Kami juga membuat slogan ”From Bitung to the World”. Apa yang seharusnya dilakukan dunia, sudah kami mulai di sini.
Audy mengatakan, pemerintah akan mendata jumlah kardus yang dibawa oleh nelayan. Saat kembali setelah melaut seminggu, misalnya, mereka harus menunjukkan kembali sampah pembungkus makanan itu. Jika tidak patuh, pemkot akan mencabut izin berlayar. ”Makanya, kami juga membuat slogan From Bitung to the World. Apa yang seharusnya dilakukan dunia, sudah kami mulai di sini,” ujar Audy.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Bitung, kota industri itu dapat menghasilkan 432.210 kilogram sampah dalam sehari. Sepanjang 2018, produksi sampah yang tercatat sebanyak 224.110 ton. Sekitar 143.080 ton diangkut ke pembuangan sampah, sementara sisanya dialihkan ke bank sampah masyarakat.
Menularkan
Max mengakui, apa yang dilakukan Bitung tidak akan berdampak jika kota dan kabupaten lain tidak melakukan hal yang sama. Karena itu, ia juga menggunakan berbagai forum lain untuk menularkan ”virus” tumbler, seperti forum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia.
”Saya sering berbagi tentang inovasi Bitung di bidang lingkungan. Tidak sedikit juga wali kota lain yang bertanya, apa yang saya bawa ini (tumbler). Inilah cara saya menularkan ke daerah-daerah lain. Setidaknya, kita bisa menyelesaikan permasalahan global secara lokal,” tuturnya.
Tumbler menjelma menjadi gaya hidup, setidaknya di kalangan pegawai negeri sipil di Bitung. Pasangan Max dan Khouni tentu menjadi pemeran kunci dalam pembentukan gaya hidup ini. Sesuatu yang kecil pun akhirnya menjadi berbau politik karena tujuannya bagi kemaslahatan publik.
Menurut penelitian Joost de Moor dalam Lifestyle Politics and the Concept of Political Participation (2014), apa yang dimulai oleh Max, Khouni, dan Audy itu tergolong politik gaya hidup. Pilihan individual mereka, yang seyogianya berada di ranah pribadi, mereka politisasi untuk tujuan yang lebih besar.
”Pilihan ini dibangun dengan dasar kepercayaan bahwa perubahan sosial dimulai dengan cara mengubah gaya hidup diri sendiri. Pilihan yang dibuat bisa terkait dengan pilihan baju atau makanan yang akan dibeli,” tulis De Moor.
Baca juga : Menanti Dampak Positif Konvensi Basel
Posisi Max, Khouni, dan Audy sebagai pemilik kursi tertinggi pemerintah kota tentu punya efek yang signifikan. Puluhan kamera wartawan yang menjepret foto mereka dengan tumbler masing-masing berkesempatan dilihat khalayak.
Kini, di salah satu kantin di kompleks Kantor Wali Kota Bitung, pelanggan dapat bebas mengambil air dari dispenser. Namun, di sejumlah rumah saat Pengucapan Syukur awal Oktober lalu, tidak sedikit warga yang masih menyediakan air minum dalam kemasan.
Max, Khouni, Audy, dan jajaran perangkat pemkot telah berupaya. Efektif atau tidaknya gambaran teladan yang mereka pasang boleh dipertanyakan. Walakin, Max akan selalu mengingatkan: ”Lakukan apa yang kau katakan, katakan apa yang kau lakukan”.