Mantan Bupati Trenggalek dan Wartawan Korupsi Rp 7,4 Miliar
Bupati Trenggalek periode 2015-2010 Suharto (69) dan wartawan Surabaya Pagi yang juga pemilik PT Surabaya Sore, Istiawan Witjaksono, terancam 20 tahun penjara. Mereka didakwa merugikan negara hingga Rp 7,4 miliar.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO,KOMPAS — Bupati Trenggalek periode 2015-2010 Suharto (69) dan wartawan Surabaya Pagi yang juga pemilik PT Surabaya Sore, Istiawan Witjaksono, terancam hukuman 20 tahun penjara. Mereka didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain sehingga merugikan negara hingga Rp 7,4 miliar.
Dakwaan tersebut dibacakan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jumat (1/11/2019). Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai I Wayan Sosiawan.
Dalam materi dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Trenggalek Dody Novalita mengatakan, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa Tatang dan Suharto terkait penyertaan modal dalam usaha percetakan pada badan usaha milik daerah Kabupaten Trenggalek, Perusahaan Daerah (PD) Aneka Usaha.
PD Aneka Usaha (AU) berdiri 2006 dengan jenis usaha meliputi industri dan perdagangan, perhotelan dan jasa pariwisata, persewaan, percetakan, perbengkelan, stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, dan usaha-usaha lain yang sah. Pada 2007, Suharto didatangi oleh Kepala Subbagian Otonomi Daerah Setda Kabupaten Trenggalek Gathot Purwanto dan Istiawan.
Mereka membawa proposal terkait investasi usaha percetakan. Menurut Istiawan, apabila ada usaha percetakan di Trenggalek, koran Surabaya Pagi akan dicetak di sana dan didistribusikan atau dipasarkan di wilayah Kediri, Madiun, dan sekitarnya. Istiawan akhirnya diminta memaparkan pendirian usaha percetakan tersebut di hadapan anggota DPRD Kabupaten Trenggalek.
Singkat cerita Pemkab Trenggalek tertarik mengembangkan PD AU dengan berinvestasi pada usaha percetakan. Pemda bekerja sama dengan Istiawan membentuk PT Bangkit Grafika Sejahtera (BGS). Dalam kerja sama itu, PD AU menjadi pemegang saham mayoritas dengan penyertaan modal Rp 7,1 miliar atau 80 persen, sedangkan perusahaan milik Istiawan, yakni PT Surabaya Sore menjadi pemegang saham minoritas sebanyak 20 persen atau Rp 1,7 miliar.
Faktanya, PD AU sudah menyetorkan modal total Rp 8,1 miliar yang bersumber dari dana penyertaan modal Pemkab Trenggalek ke BUMD sebesar Rp 10 miliar. Sementara PT Surabaya Sore tidak menyetorkan modal dalam bentuk uang. Perusahaan milik Istiawan itu mengklaim melakukan persiapan (praoperasional), survei pasar, pembuatan sistem, dan sumber daya manusia.
Namun, hal-hal yang dilakukan PT Surabaya Sore itu tidak didasarkan pada harga pasar atau ahli yang tidak terafiliasi dengan perseroan. Selain itu, ditemukan fakta pendirian usaha percetakan itu tanpa didahului studi kelayakan untuk mengetahui prospek usahanya. Pemkab Trenggalek juga tidak mengajukan persetujuan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 4 Tahun 1990.
Selain itu, berdasarkan Perda Kabupaten Trenggalek Nomor 4 Tahun 2007, dana penyertaan modal sebesar Rp 10 miliar untuk PD AU seharusnya digunakan untuk usaha pabrik pupuk, pabrik es, SPBU, dan usaha lainnya setelah mendapat pertimbangan dari DPRD. Perda tidak mencantumkan usaha percetakan.
Di PT BGS, Suharto menjabat sebagai komisaris utama, sedangkan Istiawan menjabat direktur utama. Adapun Gathot Purwanto menjadi direktur. Pengangkatan Suharto selaku komisaris utama itu bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melarang kepala daerah turut serta dalam suatu perusahaan.
Dody mengatakan, penyimpangan lainnya, PT BGS mentransfer uang kepada Istiawan melalui rekening pribadinya total Rp 6,6 miliar. Dari data rekening koran milik Istiawan tercatat adanya transfer sebanyak Rp 769 juta ke rekening Gathot Purwanto. Uang itu kemudian dibagikan kepada anggota Panitia Khusus (Pansus) Penyertaan Modal DPRD Trenggalek Rp 25 juta per orang.
Selama menjabat Dirut PT BGS, Istiawan membeli mesin-mesin percetakan secara terburu-buru, prosedur pengadaan tidak jelas, dan melalui penunjukan langsung tanpa penawaran ataupun negosiasi padahal nilainya di atas Rp 5 miliar. Faktanya mesin yang dibeli adalah mesin rekondisi bukan barang baru.
Perbuatan Suharto dan Istiawan didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 juncto Pasal 64 KUHP. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.
Menanggapi dakwaan tersebut, Suharto menyatakan menerima. Sementara Istiawan alias Tatang menyatakan keberatan. Pihaknya akan menyusun nota keberatan bersama kuasa hukum dan disampaikan pada sidang lanjutan.
”Secara bahasa saya mengerti, tetapi secara substansi saya tidak mengerti,” ucap Istiawan di hadapan majelis hakim.
Dalam kesempatan tersebut, terdakwa Istiawan juga mengajukan permohonan penangguhan penahanan dengan alasan sakit. Selama persidangan terdakwa memakai masker. Majelis hakim, jaksa, pengacara, dan pengunjung sidang diwajibkan mengenakan masker untuk mencegah penularan penyakit melalui udara.