Pemprov DKI Keliru, Pohon Tabebuya Tidak Sebaik Angsana
Fungsi ekologis pohon tabebuya tidak sebaik pohon angsana. Angsana, misalnya, sudah teruji efektif menyerap polutan, berbeda dengan tabebuya yang masih harus diuji efektivitasnya.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menebang pohon-pohon angsana (Pterocarpus indicus) di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, dan menggantinya dengan tabebuya (Tabebuia rosea) dinilai tidak tepat. Pasalnya, fungsi ekologis tabebuya tidak sebaik angsana. Polutan yang bisa diserap tabebuya, misalnya, tidak sebanyak angsana.
”Pohon kategori besar, seperti pohon angsana, memiliki fungsi ekologis sebagai peneduh kawasan kota, juga mereduksi panasnya suhu udara kota. Keberadaan angsana ini justru diganti dengan tabebuya yang fungsi ekologisnya lebih rendah daripada pohon besar,” kata Koordinator Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Angsana yang ditebang pun usianya bisa sampai 50 tahun jika dirawat dengan baik. Dengan angsana di seputaran Cikini ditanam sekitar tahun 1980, maka sebenarnya angsana tersebut dapat hidup sekitar sepuluh tahun lagi.
Dari sisi usia, angsana juga lebih panjang umurnya dibandingkan tabebuya. Tabebuya, menurut Nirwono, usianya hanya sekitar tujuh tahun.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsitawati beralasan, penebangan pohon angsana di seputaran Cikini karena kondisi pohon sudah rapuh. ”Di sekitar pohon itu ada proyek galian jaringan kabel dan berbagai proyek lain yang mengakibatkan putusnya perakaran. Dikhawatirkan, pohon tumbang saat musim hujan sehingga Pemprov DKI Jakarta mengganti pohon di sana dengan tabebuya yang dapat menyerap polutan,” katanya.
Akademisi Ekologi Pohon dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Ichsan Suwandhi, menjelaskan, pohon tabebuya sebagai pohon kategori kecil memang memiliki fungsi menyerap polutan.
Akan tetapi, fungsi tersebut tidak sebaik pohon kategori besar, seperti pohon angsana, palem raja (Roysonea regia), atau beringin (Ficus benjamina). Secara ekologis, pohon besar memiliki fungsi yang lebih baik dari segi penyuplai oksigen, penyerap air, dan peneduh kawasan.
”Saya melihat tabebuya memiliki karakter daun yang tebal dan secara visual cukup kuat untuk menyerap polutan. Tapi, ini pun harus diuji efektivitasnya. Berbeda dengan pohon angsana yang sudah teruji efektif sebagai penyerap polutan dan tanaman peneduh yang baik,” ujarnya.
Kepala Bidang Jalur Hijau Dinas Kehutanan DKI Jakarta Djauhar Arifien mengatakan, penggantian angsana karena sejumlah proyek di trotoar telah merusak akar pohon, bukan alasan yang dicari-cari.
Dinas Kehutanan DKI Jakarta mencatat, 171 pohon tumbang dan 96 pohon sempal selama Januari hingga Oktober 2019. Dari jumlah itu, pohon angsana mengalami kasus tumbang dan sempal paling sering, yakni 36 pohon.
Sebagian besar pohon angsana yang tumbang berada di lahan yang kurang sehat. Kawasan tersebut, misalnya, di trotoar yang terpapar berbagai pengerjaan proyek. Hal ini berdampak pada kondisi akar pohon yang tidak lagi merata.
Ditambah lagi, kondisi pepohonan di Jakarta dulu merupakan hasil pembibitan stek atau cangkok, bukan dari pembibitan biji-bijian. Gubernur Ali Sadikin pada era 1970-an memilih pohon angsana karena dianggap cepat tumbuh (Kompas, 18/2/2013).
Namun, Ichsan mengingatkan, kerusakan pohon tidak semata karena perubahan lingkungan perkotaan. Terkait hal ini, dia menyarankan perawatan rutin pohon, meliputi pembersihan gulma, pendeteksian hama selama satu atau tiga tahun sekali. Sementara pemangkasan cabang secara berkala, penggantian tanaman, serta pemantauan rutin usia dan kesehatan pohon, dapat dilakukan selama enam bulan atau satu tahun sekali.