DPR Soroti Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kelas 3 Peserta Mandiri
DPR menyoroti besaran kenaikan iuran bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, khususnya peserta pada segmen peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri. Besaran iuran dinilai terlalu tinggi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – DPR menyoroti besaran kenaikan iuran bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, khususnya peserta pada segmen peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri. Besaran iuran yang ditentukan dinilai terlalu tinggi, sementara sistem dan manajemen program termasuk validasi dan verifikasi data peserta masih bermasalah.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Demokrat, Anwar Hafid dalam Rapat Kerja bersama Mitra Bidang Kesehatan di Jakarta, Rabu (5/11/2019) menuturkan, data kepesertaan yang bermasalah menjadi sumber persoalan dalam keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Data ini terutama pada data kepesertaan segmen penerima bantuan iuran (PBI).
Berdasarkan hasil audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan tahun 2018, terdapat 27,443 juta data peserta PBI APBN yang bermasalah. Masalah tersebut antara lain, jumlah nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak sesuai, NIK ganda, dan peserta yang meninggal namun masih terdaftar.
“Masalah data cleansing (pembersihan data) menjadi penting. Selain terkait teknis seperti NIK ganda, perlu dipastikan juga apakah yang menjadi peserta PBI benar-benar termasuk warga miskin dan tidak mampu. Karena jika tidak artinya masyarakat yang sebenarnya miskin malah tidak terjamin dan harus mendaftar sebagai peserta mandiri yang iurannya saat ini dinaikkan,” katanya.
Kenaikan iuran peserta tersebut telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri naik pada semua kelas. Untuk kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 42.000. Iuran peserta mandiri kelas II dari Rp 51.000 naik menjadi Rp 110.000 dan peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000.
Menurut Anwar, data kepesertaan peserta PBI yang bermasalah bisa merugikan sebagian masyarakat miskin yang belum tertampung sebagai peserta PBI. Dengan begitu, mereka terpaksa mendaftar sebagai peserta mandiri agar kebutuhan layanan kesehatan tetap terjamin. Namun, tingginya kenaikan yang ditetapkan kini bisa memberatkan kelompok dengan kondisi tersebut.
Ia mencontohkan, bagi masyarakat miskin yang memiliki istri dan dua anak berarti harus membayar sekitar Rp 168.000 per bulan. Padahal, setiap bulan belum tentu seseorang ini mendapatkan pendapatan tetap, seperti petani penggarap dan tenaga kerja musiman lainnya.
Selain itu, Anggota Komis IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Edy Wuryanto berpendapat, kenaikan iuran peserta pada sektor PBPU yang terlalu tinggi berisiko menaikan jumlah peserta yang turun kelas. Akibatnya, peserta pada segmen PBPU kelas 3 menjadi meningkat.
“Jika jumlah peserta JKN-KIS pada segmen PBPU kelas 3 meningkat berarti kebutuhan layanan kesehatan kelas 3 di rumah sakit semakin banyak. Potensi penumpukan pasien pada kelas itu kian besar sehingga harus diantisipasi. Jangan sampai ada penolakan kepada pasien karena rumah sakit penuh,” ucapnya.
Dari data jumlah peserta PBPU dan bukan pekerja, kata Edy, jumlahlah sekitar 32,4 juta penduduk. Dari jumlah itu, peserta kelas I berjumlah 5,3 juta jiwa, kelas II berjumlah 6,9 juta jiwa, dan kelas III berjumlah 20,2 juta jiwa. Apabila peserta kelas I dan II akan menurunkan kelas menjadi kelas III, kebutuhan layanan kesehatan pada kelas III membengkak sementara ketersediaan rumah sakit untuk melayani kelas tersebut tidak bertambah.
Masyarakat yang sebenarnya miskin malah tidak terjamin dan harus mendaftar sebagai peserta mandiri yang iurannya saat ini dinaikkan
Menanggapi hal itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menuturkan, melalui peningkatan jumlah iuran peserta diharapkan pemasukan BPJS Kesehatan bisa meningka sehingga pembayaran klaim ke rumah sakit bisa lebih baik. Dengan pembayaran klaim yang lebih lancar, arus keuangan (cash flow) rumah sakit bisa membaik dan bisa digunakan untuk mengembangkan investasi lain termasuk menambah jumlah tempat tidur untuk peserta kelas III.
Data Direktur Jenderal Pelayan Kesehatan Kementerian Kesehatan menyebutkan, jumlah tempat tidur untuk peserta kelas III sebesar 42 persen dari total 291.400 tempat tidur yang tersedia. Berdasarkan aturan ketentuan rumah sakit diwajibkan menyediakan tempat tidur minimal 30 persen tempat tidur bagi peserta kelas III.
“Mengantisipasi adanya penurunan kelas peserta menjadi kelas III akan segera kami koordinasikan kepada kepala rumah sakit, terutama pada kepala rumah sakit pemerintah. Kami upayakan ketersediaan tempat tidur untuk kelas III di rumah sakit pemerintah bisa mencapai 60 persen dengan bantuan DAK (dana alokasi khusus),” katanya.
Terkait usulan Anggota DPR untuk tidak dinaikkannya iuran peserta PBPU dan BP (Bukan Pekerja) kelas III, Terawan langsung mencoba menghubungi Menteri Sekretaris Negara Praktikno. Setelah mendapat balasan, ia membacakan isi pesan itu, “Mohon dibahas segera dengan Menko PMK (Menteri Koordinasasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Menkumham (Menteri Hukum dan HAM), serta Mensos (Menteri Sosial). Untuk itu, kami akan perjuangkan mudah-mudahan subsidi bisa dilakukan. Jadi kami lakukan permintaan awal untuk tidak menaikkan peserta JKN kelas III dengan cara Perpres tetap jalan kemudian selisih jumlah yang naik akan disubsidikan."
Promotif dan preventif
Selain dengan menaikkan iuran peserta JKN-KIS, Terawan menyampaikan, hal lain akan terus diupayakan terutama meningkatkan pelayanan promotif dan preventif pada masyarakat. Membengkaknya pembiayaan pemanfaatan layanan kesehatan yang dibayarkan BPJS Kesehatan adalah tingginya layanan katastropik yang harusnya bisa dicegah dengan gaya hidup sehat. BPJS Kesehatan mencatat beban penyakit katastropik pada Januari-Agustus 2019 sebesar Rp 15,4 triliun, antara lain jantung, gagal ginjal, dan diabetes.
“Salah satu strategi penguatan JKN untuk mengatasi defisit adalah optimalisasi pelayanan kesehatan. Caranya dengan menyusunan Peraturan Menteri Kesehatan yang lebih menyesuaikan dengan kondisi keuangan yang optimal tanpa menurunkan kualitas pelayanan. Kami akan bentuk pelayanan kesehatan yang terstandardiasi dengan akan lebih fokus kepada upaya promotif preventif,” tuturnya.