Beberapa kelompok anak muda berbuat untuk memberikan makna pada kata keindonesiaan. Mereka mendorong aksi kolektif, membangun jejaring kerja sama, dan menguatkan partisipasi kewargaan di ruang publik.
Oleh
NIA, FRD dan SAN
·4 menit baca
Sejak dilahirkan pada awal abad ke-20, gagasan kebangsaan Indonesia menunjukkan asal-usul yang khas, yaitu berasal dari kesadaran kritis warga terhadap kondisi sosial. Meski telah menjadi faktor pendorong utama untuk meraih kemerdekaan, narasi keindonesiaan itu tetap perlu terus dijaga dan disesuaikan dengan semangat zamannya.
Pada era masa kini, beberapa kelompok anak muda berbuat sesuatu untuk memberi makna pada kata keindonesiaan. Ada yang mendorong aksi kolektif dan membangun jejaring kerja sama. Ada pula yang mendorong penguatan partisipasi kewargaan di ruang publik.
Narasi keindonesiaan itu tetap perlu terus dijaga dan disesuaikan dengan semangat zamannya.
Pada Kamis (7/11/2019) sore, Kompleks Gudskul Ekosistem di Jagakarsa, Jakarta, mulai ramai. Beberapa seniman menyiapkan sebuah ruang pertemuan. ”Ada seniman Belgia yang akan mempresentasikan karyanya sore ini,” kata Marcellina Dwi Kencana Putri (27), Manajer Gudskul Ekosistem.
Sambil menunggu, para seniman lainnya beraktivitas di studio yang berada di dalam kompleks tersebut. Ada yang sedang membuat karya, diskusi, dan sekadar bersenda gurau. Namun, saat ruangan dan presentasi siap, mereka segera berkumpul, menyimak, dan berbagi pengetahuan.
Pendiri sekaligus Direktur Akademik Gudskul Ekosistem, JJ Adibrata (35), mengungkapkan, Gudskul didirikan pada 2018 oleh tiga kolektif seni yang berbasis di Jakarta, yaitu Ruang Rupa, Serrum, dan Grafis Huru Hara. Di atas lahan seluas 1.200 meter persegi, mereka membangun ruang fisik sekaligus imajiner untuk berhimpun, berkarya, dan berbagi pengetahuan. Tidak hanya untuk sesama penggiat seni, tetapi juga masyarakat umum.
Kiprah kolektif itu bukan baru-baru ini saja terjadi. ”Perjalanan panjang dan refleksi atas kondisi sosial yang dihadapi terakumulasi pada cita-cita membangun ruang yang bisa mewadahi kebebasan berekspresi,” kata Adibrata.
Ruang Rupa, misalnya, didirikan sejumlah lulusan perguruan tinggi di Jakarta dan Yogyakarta pascareformasi 1998 dengan semangat mencari kebebasan berekspresi karena pengalaman terkekang selama masa Orde Baru.
Begitu juga Serrum yang berdiri pada 2006 dan Grafis Huru Hara yang berdiri enam tahun setelahnya merupakan kumpulan mahasiswa Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta yang ingin menemukan keleluasaan berkarya di luar ruang kuliah.
Kolektivisme
Kolektif bisa menawarkan nilai yang membangun identitas.
Kesamaan visi dan kedekatan hubungan antarpersonal dari tiga komunitas itu mendorong mereka menggabungkan diri. Mereka sadar, tanpa berjalan bersama, tujuan besar tak akan bisa tercapai. Bekerja sama dalam kelompok kolektif juga dinilai mampu memberikan nilai lebih yang tak mungkin didapat dari kerja individu. ”Kolektif bisa menawarkan nilai yang membangun identitas. Salah satunya, soal pembagian peran kepada semua orang tanpa ada yang lebih penting dari yang lain,” ujar Adibrata.
Pada tingkatan selanjutnya, lanjut Adibrata, hal itu akan terbangun menjadi identitas kultural dan politik dari sebuah kelompok. Hal itulah yang kemudian bisa menjadi bekal dalam menempatkan diri sebagai warga negara untuk menghadapi tantangan sosial.
Kebutuhan untuk berjejaring juga dirasakan oleh kolektif asal Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Jatiwangi Art Factory (JAF). Ismal Muntaha (32), penggiat JAF, menjelaskan, kolektifnya itu dibentuk guna merespons struktur sosial ekonomi masyarakat Jatiwangi yang berubah drastis dibandingkan dengan dekade 1990-an.
Masyarakat setempat yang mulanya identik sebagai pengusaha genteng lokal kini melorot dan nyaris hilang. Itu seiring menyusutnya usaha dan merebaknya industri manufaktur di sekitar Jatiwangi.
Dalam konteks demikian, JAF hadir mengajak masyarakat kembali membudayakan pemanfaatan tanah. Guna mengingatkan kembali atas budaya itu, JAF menginisiasi beragam inovasi. Misalnya, membuat ragam produk alternatif dari tanah Jatiwangi. Tak hanya genteng, tetapi juga sejumlah alat rumah tangga dan alat musik. Semua inovasi itu lalu diartikulasikan secara artistik dalam sebuah festival.
Mengisi kekosongan
Inisiatif serupa dibangun kolektif C2O Library and Collabtive, Surabaya, Jawa Timur. Kolektif yang sudah berdiri sejak 2008 itu menyediakan perpustakaan publik dengan koleksi sekitar 12.000 buku. Mereka juga aktif mengadakan kegiatan literasi gratis untuk masyarakat umum.
Penggiat C2O, Ayos Purwoaji (31), mengatakan, aktivitas di C2O selama ini jadi penghubung sejumlah pihak dan berbagai kepentingan, di antaranya warga setempat yang ingin mendapatkan pengetahuan secara gratis dan akademisi yang kerap tak bersentuhan dengan masyarakat secara langsung.
”Pemerintah Kota Surabaya banyak membangun dari segi infrastruktur, tetapi ranah pengembangan literasi belum (banyak) disentuh sehingga kami ingin menjaga inisiatif ini agar kegiatan literasi bisa lebih marak,” kata Ayos.
Menurut dia, penguatan peran warga saat ini merupakan poin terpenting dalam merumuskan gagasan kebangsaan. ”Warga perlu diposisikan sebagai pencipta kebudayaan karena masa depan konsep keindonesiaan sejatinya didefinisikan warganya sendiri,” ujarnya.
Warga perlu diposisikan sebagai pencipta kebudayaan.
Ayos mengatakan, definisi kebangsaan yang dogmatis tak lagi relevan, termasuk hal-hal yang terkait dengan batas wilayah. Itu karena berkat perkembangan teknologi, batas negara semakin kabur. Masyarakat bisa dengan mudah menginternalisasi nilai-nilai dan artefak dari seluruh dunia melalui teknologi informasi sehingga ikatan primordial warga dengan tempat tinggalnya semakin luntur.
Meski demikian, tak berarti nilai kebangsaan akan hilang. Ia justru bertransformasi sesuai semangat zaman. Jika pada awal abad ke-20 para pendiri bangsa membangun semangat perlawanan terhadap kolonialisme, saat ini ragam inisiatif warga berusaha mengisi kekosongan yang kerap luput diurus negara.
Menurut penggiat sejarah Bonnie Triyana, generasi muda memiliki cara tersendiri menafsirkan rasa persatuan dan kebangsaan. Karena itu, ia meyakini, eksistensi bangsa Indonesia masih akan kekal seiring transformasi penafsiran semangat keindonesiaan yang dimiliki generasi milenial. ”Anak muda lebih kreatif dalam memaknai keindonesiaan sehingga mereka menggunakan cara-cara kreatif untuk menunjukkan peran dan memberikan sumbangsih kepada bangsanya,” ujar Bonnie.