Bisnis gelap tambang liar memiliki banyak daya yang bisa menggoda siapa saja demi melanggengkan kepentingan mereka. Namun, sejumlah sosok tampil mematahkan godaan-godaan itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Informasi tentang mutasi perwira tinggi dan menengah Polri pada 13 Agustus 2018 beredar luas. Tertuang dalam Surat Telegram Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian (menjabat 2016-2019) dengan Nomor ST/2015/VIII/KEP/2018, Inspektur Jenderal Royke Lumowa, perwira tinggi yang menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri, dimutasi menjadi Kepala Polda Maluku.
Belum lama informasi itu beredar, telepon genggam Royke kebanjiran panggilan dan pesan berisi ucapan selamat atas jabatan baru tersebut. Di antara mereka yang memberi ucapan itu, ada yang langsung menyinggung topik hangat di Maluku, yakni Gunung Botak di Pulau Buru. Ya, sebuah tambang emas liar terbesar di Indonesia yang melibatkan banyak ”mafia” dari Jakarta hingga Pulau Buru.
Mereka memiliki satu misi, yakni melanggengkan tambang itu.
Gunung Botak seluas lebih kurang 250 hektar itu sejak akhir 2010 menjadi ruang pertarungan bagi para pemain tambang. Ada petambang, pemodal, dan oknum aparat keamanan. Mereka terhubung dalam jaringan yang kuat, terorganisasi, dan mendapat ”bekingan” dalam hubungan saling menguntungkan. Mereka memiliki satu misi, yakni melanggengkan tambang itu.
Bisnis gelap yang menjadi penggerak utama adalah penambangan dan pengolahan emas yang melibatkan lebih dari 20.000 pelaku. Mereka memburu emas yang setelah diolah akan dijual dengan harga sekitar Rp 400.000-450.000 per gram, harga pasaran di Pulau Buru. Emas dari Gunung Botak sudah beredar di sejumlah kota. Diolah secara ilegal, tak ada data resmi mengenai kadar emasnya.
Bukan hanya pengolahan emas. Bisnis ikutan lainnya juga tak kalah menggiurkan, yakni distribusi dan penjualan zat yang digunakan untuk mengolah emas, yakni merkuri dan sianida.
Merkuri yang memiliki sifat mengikat senyawa mineral itu dicampur dengan air dan material tanah yang diduga mengandung bijih emas ke dalam tong lalu diaduk, sementara pengolahan dengan sianida direndam bersama material. Bahan-bahan tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati lainnya.
Tak terhitung berapa ribu ton merkuri dan sianida yang masuk ke sana. Sianida dan merkuri dibawa masuk melalui kapal dari Surabaya dan Makassar. Banyak tangan yang terlibat mendistribusikan dan menjualnya. Tak terkira pula aliran uang yang dihasilkan dalam bisnis itu.
Belum lagi jasa pengamanan. Oknum aparat terang-terangan mengawal praktik gelap itu. Mereka menagih uang kepada petambang, kuli panggul, dan ojek pengangkut material. Oknum aparat, seperti yang pernah ditemui Kompas dalam beberapa kesempatan berbeda, sepertinya terorganisasi.
Setiap hari, uang miliaran rupiah berputar di kawasan Gunung Botak dan sekitarnya. Kawasan yang dulunya hutan pohon kayu putih itu mendadak jadi kota baru dengan aktivitas ekonomi paling menggeliat di Maluku. Aktivitas ekonomi yang ditopang bisnis gelap.
Lewat intelijennya, Royke mendapat gambaran itu. Ia juga menemukan benang merah bahwa orang-orang yang menyinggung topik Gunung Botak itu memiliki kepentingan di Gunung Botak. Mereka rupanya ingin menarik Royke masuk dalam lingkaran itu. Atau, setidaknya, Royke tidak mengusik ”pesta” mereka di Gunung Botak. ”Saya mencium aroma godaan yang ingin menyuap,” ujarnya.
Saat memulai tugas di Maluku, Royke menggali informasi dan data lebih banyak lagi dari berbagai sumber. Dalam satu pertemuan dengan Zeth Sahuburua, Wakil Gubernur Maluku 2014-2019, pada Oktober 2018, Royke mengungkapkan niatnya untuk menutup tambang liar Gunung Botak.
Awak media yang hadir dalam pertemuan itu pun menyambut niat Royke dengan nada pesimistis. Mengapa? Sudah berapa banyak kapolda yang bertugas di Maluku, oleh banyak awak media, dianggap tidak berhasil menutup Gunung Botak. Bahkan, anak buah mereka malah terlibat terang-terangan. Asumsi ”setoran ke atas” tak bisa dielakkan dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat.
Saya perintahkan anak buah untuk suruh orang itu pergi.
Gunung Botak memang sempat ditutup pada era Kodam XVI/Pattimura dipimpin Mayor Jenderal Doni Monardo (2015-2017). Bahkan, Doni juga tidak luput dari godaan suap. ”Pernah ada pengusaha yang bawa uang mau ketemu saya. Saya perintahkan anak buah untuk suruh orang itu pergi,” kata Doni kepada Kompas dalam satu kesempatan.
Setelah Doni pindah, petambang kembali lagi ke Gunung Botak. Ribuan pohon yang ditanam Doni dan prajurit Kodam Pattimura di lokasi tambang itu pun mati tak terawat dan ditindih peralatan tambang. Doni sudah mengetahui hal itu, tetapi juga tak bisa berbuat apa-apa sebab ia tak lagi berwenang di Maluku.
Dinamika Gunung Botak itu membuat masyarakat Maluku ragu dengan siapa saja yang ingin menutup Gunung Botak, sumber uang terbesar itu. Menanggapi pesimisme itu, Royke tampak tenang. Ia meladeni dengan senyum. ”Kita lihat saja nanti,” ujarnya di akhir pertemuan dengan Zeth itu.
Dugaan suap
Beberapa hari kemudian, beredar kabar Kapolres Buru Ajun Komisaris Besar A Budi Satrio dicopot dari jabatannya. Royke juga meminta tim dari Markas Besar Polri datang ke Pulau Buru untuk memeriksa dugaan pelanggaran oleh anggota Polri. Dua anggota Polri pun ditetapkan sebagai tersangka. Selanjutnya, Royke langsung bergerak ke Pulau Buru untuk memimpin penutupan tambang tersebut.
Siapa-siapa yang terima setoran itu?
Sebelum menuju Gunung Botak, Kompas mengikuti jamuan makan siang di Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, dan duduk satu meja dengan Royke dan Budi. Di meja itu, terungkap setoran dari petambang dengan total sekitar Rp 16 miliar per bulan. ”Siapa-siapa yang terima setoran itu?” tanya Royke. Budi menjawab dirinya tidak tahu.
Akhirnya, tambang liar Gunung Botak berhasil ditutup. Royke beberapa kali datang ke sana untuk memastikan tidak ada lagi aktivitas. Hingga November ini, atau satu tahun berlalu, kondisi Gunung Botak dilaporkan steril. Dengan anggaran sendiri dari Polda Maluku, dibangun pos untuk menjaga lokasi itu 24 jam per hari. Personel jaga pun dirotasi berkala.
Meski sudah ditutup, ajakan ”kerja sama” untuk membiarkan Gunung Botak kembali dibuka masih terus datang ke Royke hingga saat ini. Royke menuturkan itu saat memimpin pengukuhan Polres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease menjadi Polresta pada 18 November 2019.
”Masih saja ada yang mau coba-coba pengaruhi,” ujarnya.
Setelah nanti Royke tidak lagi bertugas di Maluku, apakah kondisi itu tetap bertahan? Kunci utamanya ada pada pemimpin.