Museum Saman untuk melestarikan dan mengembangkan tari saman dan tarian tradisional Gayo lainnya. Lahan untuk museum sudah disiapkan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues.
Oleh
A Ponco Anggoro
·4 menit baca
BLANGKEJEREN, KOMPAS — Bupati Gayo Lues Muhammad Amru mengharapkan dukungan pemerintah pusat untuk membangun Museum Saman. Dia yakin kehadiran museum bisa menguatkan pelestarian dan pengembangan saman sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), tahun 2011.
Bupati Amru menyampaikan hal itu penutupan Festival Saman 2019, di halaman Gedung Bale Musara, Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh, Sabtu (23/11/2019) malam. Festival telah digelar selama tiga bulan di 11 desa di semua kecamatan di Gayo Lues secara bergantian.
Selain Bupati Amru, di lokasi acara hadir pula perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Indonesiana, platform pendukung pemajuan kebudayaan Indonesia yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud.
Acara penutupan diwarnai kolaborasi empat tarian tradisional Gayo, yaitu saman, didong, didong tepok, dan bines. Setidaknya 300 penari terlibat dan berlangsung selama sekitar satu jam. Masyarakat Gayo Lues yang memadati halaman Bale Musara tampak antusias menyaksikan tarian kolaborasi itu sekalipun hujan turun saat acara.
Bupati Amru mengatakan, lahan untuk museum telah disiapkan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues. Hanya saja untuk merealisasikan museum itu tak mungkin hanya bertumpu pada anggaran daerah. Sokongan dari pusat dibutuhkan.
Museum nantinya akan jadi tempat untuk memamerkan pesona saman, mulai dari sejarahnya, filosofi yang terkandung di dalamnya, hingga gerak tarinya. Selain itu, museum juga jadi tempat untuk berlatih dan mengembangkan gerakan saman.
Tari saman biasanya tak sendiri saat diperagakan. Di tempat lahirnya di Gayo Lues, tari saman selalu disertai dengan pertunjukan tari bines. Oleh karena itu, museum juga jadi tempat untuk berlatih bines sekaligus tempat untuk melestarikan dan mengembangkan bines.
Jika para penari saman semuanya laki-laki, penari bines perempuan seluruhnya. Tari bines selalu digelar bersamaan dengan saman, salah satu tujuannya untuk menyemangati para penari saman.
”Menyusul penetapan saman sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, saman saat ini sudah mendunia. Banyak yang mempelajarinya. Maka, kita orang Gayo jangan sampai kalah. Lestarikan terus saman, kembangkan terus saman,” kata Bupati Amru.
Keberadaan museum berikut pelestarian dan pengembangan saman dan tarian tradisional Gayo lain diharapkan dapat memikat lebih banyak wisatawan berkunjung ke Gayo Lues.
Blangkejeren, ibu kota Gayo Lues, berada di selatan Provinsi Aceh atau berjarak sekitar 477 kilometer dari Banda Aceh. Jaraknya lebih dekat dengan Medan, ibu kota Sumatera Utara, atau sekitar 308 kilometer.
Di Blangkejeren terdapat Bandar Udara Patiambang Negeri, tetapi frekuensi pesawat masih terbatas, hanya dua kali seminggu, dari Banda Aceh dan Medan, yang dilayani pesawat dari maskapai Susi Air.
Berdasarkan Kabupaten Gayo Lues Dalam Angka 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Gayo Lues, jumlah wisatawan yang datang sepanjang 2017 sebanyak 7.209 orang. Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun 2016 yang sebanyak 4.317 wisatawan. Peningkatan jumlah wisatawan, terutama dari wisatawan domestik, yang berjumlah 6.954 orang dari sebelumnya hanya 4.048 orang pada tahun 2016.
Selain museum, Bupati Amru mengharapkan kerja sama dengan Kemendikbud dan Indonesiana di Festival Saman tetap dapat dilanjutkan. Festival Saman 2019 memasuki tahun kedua.
Ekosistem saman
Neneng Tresnaningsih, yang hadir mewakili Kemendikbud, menyambut baik ajakan itu dan ajakan tersebut tentu akan dibahas lebih lanjut oleh Kemendikbud dengan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues.
Dalam pidato Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid yang dibacakan oleh Neneng disebutkan, Festival Saman merupakan ikhtiar untuk membangun miniatur yang dapat menjadi arena bagi ekosistem kebudayaan tari saman di Gayo Lues. ”Dan selama festival berlangsung, kita telah menyaksikan bagaimana ekosistem kebudayaan tari saman muncul salah satunya melalui kegiatan bajamu besaman,” tambahnya.
Di dalam bajamu besaman terdapat unsur gotong royong warga kampung yang berperan sebagai penyelenggara dan unsur-unsur lainnya, seperti tradisi dan adat masyarakat Gayo Lues, budaya minum kopi, tari bines, dan nilai-nilai persaudaraan yang ada dalam beserinen.
Selain soal festival sebagai miniatur dari ekosistem kebudayaan, Hilmar melanjutkan, dalam prosesnya telah coba dibuat simpul ekosistem tari saman. Hal itu dilakukan melalui interaksi di antara pemangku kepentingan, dimulai dari pemerintah kabupaten hingga para pelaku kebudayaan dalam ekosistem tari saman.
Libatkan komunitas
Hanya saja, masih ada yang bisa dikembangkan untuk gelaran festival berikutnya. Salah satunya, meskipun tampak ekosistem kebudayaan tari saman hidup dalam level komunitas atau para pelaku kebudayaan tari saman, peran komunitas sebagai pelaksana festival belum terlalu menonjol.
Pemerintah daerah harus lebih banyak melibatkan komunitas, dimulai dari perencanaan festival hingga pelaksanaan. Selain itu, promosi kegiatan festival belum terlalu optimal. ”Masih perlu didorong bagaimana informasi disebarkan dengan strategi komunikasi yang terencana dan mencari peluang kerja sama dengan pihak swasta yang memiliki kepentingan terhadap tari saman,” tambahnya.
Hilmar Farid juga mengingatkan akan tantangan yang muncul pascafestival, terutama bagaimana saman tetap hidup di masyarakat setelah festival selesai. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disebutkan, upaya meningkatkan ketahanan budaya melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.
”Keempat hal tersebut baiknya diimplementasikan dalam bentuk kebijakan yang mengatur agar tari saman tetap hidup di tengah-tengah budaya global yang kian masif di kalangan anak muda,” kata Hilmar yang berhalangan hadir dalam acara penutupan Festival Saman 2019 karena sedang bertugas di luar negeri.