Mahalnya harga lahan dan tingginya upah pekerja menjadi salah satu kendala investor industri mebel untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini yang membuat nilai investasi industri mebel di Indonesia bergerak lambat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
HO CHI MINH CITY ,KOMPAS--Mahalnya harga lahan dan tingginya upah pekerja menjadi salah satu kendala investor industri mebel untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini yang membuat nilai investasi industri mebel di Indonesia bergerak lambat. Jika penyesuaian regulasi tidak segera diperbaiki dikhawatirkan nilai investasi mebel di Indonesia akan menurun.
Bersama dengan Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Wartawan Harian Kompas Rhama Purna Jati mengunjungi salah satu pabrik yang pernah menanamkan investasinya di Jawa Timur yakni Full Ding Furniture yang kini berpindah ke Provinsi Binh Duong, Vietnam, Selasa (26/11/2019). Kunjungan ini untuk mengetahui alasan perusahaan ini keluar dari Indonesia.
Lawrence MD Yen Presiden Woodworth International Corporation yang juga membawahi Full Ding Furniture mengatakan, pada tahun 2012, dirinya sudah membuka pabrik mebel bernilai investasi 500 miliar dolar AS di Jawa Timur. Namun karena sejumlah pertimbangan dan kendala yang dihadapi, 3,5 tahun berselang, dirinya harus menutup usaha disana dan berpindah ke Vietnam dengan mengeluarkan dana investasi hingga 50 juta dolar AS atau sekitar Rp 700 miliar.
Keputusan itu harus ia ambil karena sejumlah kendala yang dihadapi seperti mahalnya biaya tenaga kerja di Indonesia. Apabila dikalkulasi, upah tenaga kerja di Indonesia dalam satu tahun, 73 persen lebih tinggi dibanding tenaga kerja di Vietnam.
Selain itu masih belum ramahnya regulasi terhadap investor juga membuat modal yang dikeluarkan jauh lebih tinggi. "Terkait prosedur usaha termasuk perizinan dan insentif untuk pekerja, pemerintah Vietnam jauh lebih stabil dibanding Indonesia,"katanya.
Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah mahalnya harga tanah di Indonesia. Saat ini harga tanah di tempat pabriknya berdiri sekitar 50 dolar AS per meter, meningkat dibanding ketika pertama kali membuka pabrik pada 2016 di mana saat itu harga tanah sekitar 12 dolar AS per meter.
Namun di Indonesia, harga tanah sudah sulit dijangkau. Harga tanah di Kendal, Jawa Tengah saat ini bisa mencapai 125 dolar AS per meter. Untuk ukuran pabrik mebel yang membutuhkan lahan yang sangat besar, kondisi ini tentu sangat memberatkan pengusaha. "Bisnis mebel adalah bisnis yang berisiko dan memiliki selisih margin yang sangat kecil. Ketidakpastian investasi tentu akan memberatkan pengusaha,"ungkapnya.
Terkait prosedur usaha termasuk perizinan dan insentif untuk pekerja, pemerintah Vietnam jauh lebih stabil dibanding Indonesia,
Lawrence menerangkan, kebijakan yang menyulitkan investor ini tentu akan memberatkan Indonesia. Investor tentu akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Padahal, Indonesia memiliki potensi tenaga kerja yang sangat besar. Berbeda dengan di Vietnam, disini dia mengalami kesulitan untuk mencari tenaga kerja karena jumlahnya terbatas.
Perusahaannya harus bersaing dengan perusahaaan di bidang lain untuk memperoleh tenaga kerja. Karena itu, mulai tahun ini, perusahaan yang hanya melayani pasar dari Amerika Serikat ini, menerapkan Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk menjalankan produksi. "Dengan cara ini, kekurangan tenaga kerja bisa diantisipasi,"katanya.
Lawrence berharap agar pemerintah memperbaiki sistem investasi tersebut guna menarik minat para investor. "Ini juga untuk kepentingan buruh. Jika tidak ada lapangan kerja di Indonesia, mereka mau makan apa," katanya.
Sekretaris Jenderal HAMKI Abdul Sobur menerangkan, permasalahan tenaga kerja dan mahalnya harga lahan membuat empat perusahaan besar mebel di Indonesia berpindah ke Vietnam pada 2016 lalu. Dari perpindahan itu setidaknya nilai produksi mebel di Indonesia bisa turun sampai 300 juta dolar AS.
Hal ini berbanding terbalik dengan target Presiden Joko Widodo dimana nilai ekspor mebel Indonesia pada periode pertama pemerintahannya sebesar 5 miliar dolar AS. Nyatanya, nilai ekspor mebel hanya Rp 1,8 miliar dolar AS.
"Jika regulasi tidak direvisi dikhawatirkan akan semakin banyak perusahaan besar mebel akan berpindah ke Vietnam,"kata Abdul. Hal ini sangat disayangkan karena potensi Indonesia terutama ketersediaan tenaga kerja jauh lebih baik dibanding Vietnam.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menerangkan saat ini, pemerintah terus berupaya untuk mencari solusi untuk menarik investor terutama di bidang mebel untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan penyesuaian regulasi terutama terkait tenaga kerja.
Aturan terkait Undang Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terus dibahas dengan sejumlah kementerian terkait. "Kita melakukan kunjungan ke Vietnam untuk melihat apa yang membuat investor tertarik menanamkan modalnya disini,"kata Rochim.
Rochim menerangkan, saat ini pemerintah terus berupaya menarik investasi untuk membuka lapangan kerja salah satunya melalui industri mebel. Potensi peluang investasi yang bisa ditarik adalah investor dari Cina. "Potensi investasi mencapai 26 miliar dolar, kami berharap bisa mengambil 3 miliar dolar AS dari potensi tersebut,"kata Rochim.