Pusat Siapkan Sanksi bagi Daerah yang Terlambat Serahkan Rencana Anggaran
Batas akhir waktu penyerahan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah semakin mepet. Pemerintah pusat mengingatkan adanya sanksi bagi pemerintah daerah yang belum menyerahkan dokumen rencana anggaran.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 19 provinsi belum menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau RAPBD ke Kementerian Dalam Negeri. Pemerintah daerah yang menyerahkan RAPBD lebih dari batas waktu 30 November 2019 berpotensi terkena sanksi.
Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Rabu (27/11/2019) mencatat, baru 15 pemerintah provinsi (pemprov) yang menyepakati RAPBD dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemerintah daerah yang menyerahkan RAPBD antara lain Pemprov Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Banten, Jambi, dan Papua.
Setelah disepakati, RAPBD diserahkan ke Kemendagri untuk dievaluasi. Pasal 312 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama RAPBD paling lambat satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. Artinya, tenggat penyelesaian RAPBD jatuh pada 30 November 2019.
”Memang, untuk APBD tahun 2020, dari hasil pemantauan kami kelihatannya ada beberapa daerah yang agak terlambat,” ucap Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin di Jakarta.
Menurut Syarifuddin, Kemendagri telah menyelesaikan evaluasi RAPBD 10 pemprov. Adapun lima provinsi, yaitu Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Banten, dan Jambi, masih dalam proses evaluasi.
Kemendagri punya waktu maksimal 15 hari kerja untuk mengevaluasi RAPBD yang telah diserahkan pemprov. Proses evaluasi bertujuan menguji kesesuaian RAPBD dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan-peraturan daerah yang lain.
Selama proses evaluasi, Kemendagri mencermati sejauh mana RAPBD tersebut berpihak pada kepentingan publik. Apabila ada RAPBD yang alokasinya minim untuk pelayanan kepada masyarakat, Kemendagri mengoreksinya dan meminta pemprov menyusun ulang, hingga sesuai dengan amanat perundang-undangan. Pemprov diberi tenggat satu pekan untuk menjalankan hasil evaluasi.
”Ada daerah yang belanjanya (pelayanan publik) kurang dari 10 persen. Hal-hal seperti ini yang kami koreksi. Melalui evaluasi, kami minta ke daerah bersangkutan agar anggaran-anggaran yang menurut catatan kami tak terlalu mendesak untuk minta dialihkan,” kata Syarifuddin.
Syarifuddin menyampaikan, pemprov yang terlambat menyerahkan RAPBD akan terkena sanksi. Sanksi yang diberikan adalah kepala daerah atau dan DPRD setempat tidak dibayarkan hak-hak keuangan selama enam bulan. Namun, Syarifuddin masih optimistis pemprov yang belum menyerahkan RAPBD akan segera merampungkannya.
”Harapan saya, pada 30 November persetujuan bersama sudah dilakukan antara kepala daerah dengan DPRD. Jadi, saya kira masih ada waktu hingga 30 November ini. Pemda berlomba-lomba mengejar waktu yang ada,” tuturnya.
Kemendagri pun telah mengirimkan surat edaran sejak beberapa waktu lalu. Surat edaran itu mengingatkan pemda agar segera menyerahkan RAPBD. Pendekatan komunikasi secara lisan dan tulisan terus dijalankan.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengemukakan, Kemendagri perlu lebih tegas dalam mengimplementasikan sanksi bagi daerah yang terlambat mengesahkan RAPBD.
Mengacu pada Pasal 312 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama enam bulan.
”Sanksinya perlu dipertegas agar pemerintah daerah dan DPRD punya perhatian lebih kepada siklus anggaran. Sanksi selama ini hanya penundaan hak-hak keuangan. Jika sudah rampung, hak-hak yang tertunda itu dapat dibayarkan kembali. Itu tidak memberikan efek jera,” ujar Misbah.
Menurut dia, sering kali dokumen Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) terlambat diajukan kepada DPRD. Imbasnya kemudian, DPRD tidak punya cukup waktu untuk menelaah dan mengkritisi substansi dokumen KUA-PPAS.
Selain itu, dokumen KUA-PPAS yang disusun pemda acap kali kurang berkualitas. Banyak temuan kejanggalan mata anggaran dalam KUA-PPAS. Temuan itu menjadi perdebatan panjang antara pemda dan DPRD sehingga dokumen tak juga disepakati.
”Kalau dokumen anggarannya berkualitas, dalam artian tidak ada temuan-temuan kejanggalan, seharusnya bisa langsung masuk ke tahap berikutnya,” katanya.
Misbah menjelaskan, hal lain yang biasanya membuat pembahasan dokumen KUA-PPAS berlarut-larut adalah tidak terakomodasinya kepentingan anggota DPRD. Jika demikian, bisa dipastikan akan ada upaya mengulur waktu dan penolakan dari anggota DPRD hingga kepentingannya terakomodasi di dalam dokumen anggaran daerah.
”Jika APBD terlambat disahkan, biasanya serapan anggaran di tahun berikutnya menjadi rendah karena program yang didanai APBD baru bisa berjalan di pertengahan tahun. Ujung-ujungnya, program dikerjakan asal-asalan karena sudah mendekati akhir tahun anggaran,” ujar Misbah.