Internal kejaksaan sedang memperbaiki citra lembaganya. Penangkapan jaksa nakal dinilai sebagai langkah menuju perbaikan menyeluruh.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Penangkapan terhadap jaksa-jaksa nakal oleh tim Kejaksaan Agung dinilai sebagai momentum untuk memperbaiki internal kejaksaan. Kendati demikian, proses hukum terhadap jaksa yang ditangkap harus terus dilanjutkan. Jangan sampai kejaksaan terjebak dalam semangat untuk melindungi korps.
Penangkapan dua jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta dua hari lalu bentuk tantangan kejaksaan agar obyektif memproses anggota sendiri. Sebagian kalangan menginginkan agar langkah seperti ini terus dilanjutkan dan tidak berhenti begitu saja.
"Semangat korps perlu dihentikan karena kejaksaan bukanlah lembaga militer atau semi militer, tidak perlu retorika semangat korps untuk memperkuat tindakan koruptif yang terjadi," kata peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas sekaligus aktivis antikorupsi Feri Amsari, Rabu, (4/12/2019) kepada Kompas.
Feri mengingatkan, jangan sampai istilah "kampung maling" tahun 2005 diingat publik kembali. "Kejaksaan sudah memulai langkah permulaan yang baik, kita tunggu langkah berikutnya," katanya.
Istilah "ustaz di kampung maling" dilontarkan oleh salah seorang anggota DPR di dalam Rapat Kerja Gabungan Komisi II dan III DPR dengan Kejaksaan Agung, Kamis 17 Februari 2005. Saat, itu ada pembahasan tentang aparat kejaksaan yang melakukan pemerasan.
Mengutip laporan Kompas (Jumat, 18/2/2005) ungkapan ustaz di kampung maling dilontarkan anggota Komisi II Anhar kepada Jaksa Agung Abdul Rahman. Jaksa Agung kemudian meminta Anhar untuk mencabut kata-kata itu.
Kejaksaan sudah memulai langkah permulaan yang baik, kita tunggu langkah berikutnya
Anhar kemudian menjelaskan maksud dari pernyataannya itu. "Saya ini kebetulan orang Sumatera. Ada beberapa bahasa kiasan. Tadi saya katakan jangan sampai Bapak (Jaksa Agung-Red) seperti ustaz di kampung maling. Artinya apa? Kalau kita melihat fenomena bahwa ketidakpercayaan masyarakat kepada siapa pun penegak hukum. Ini bukan. Hanya ini, kebetulan kejaksaan saja. Bukan berarti saya menuduh jaksa-jaksa itu adalah maling. Bukan, ini adalah bahasa kiasan," ujarnya.
Pada Senin (2/12/2019) lalu, Tim Gabungan Kejaksaan Agung mengamankan dua jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, YRM dan FYP terkait dugaan pemerasan. YRM menjabat sebagai Kepala Seksi Penyidikan di Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta. Sementara FYP menjabat sebagai Kepala Subseksi Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang di Adpidsus Kejati DKI Jakarta. Dia ditangkap bersama dengan Cecep Hidayat, perantara pemerasan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Mukri menyatakan, kedua jaksa ini diduga memeras seorang saksi kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kejati DKI Jakarta. Saksi itu bernama, M Yusuf, mantan Manajer PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero).
Yusuf dalam laporannya, lanjut Mukri, mengaku telah menyerahkan uang sebesar Rp I miliar. Yusuf menjadi saksi dalam kasus penyimpangan pengelolaan keuagan PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari. Kasus itu ditangani Kejati DKI Jakarta.
“Yang bersangkutan sedang diperiksa secara intensif oleh bidang pengawasan. Apabila nantinya diketemukan indikasi tindak pidana, akan diserahkan dan ditindaklanjuti oleh bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung,” katanya.
Dalam catatan Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga pernah menangkap dua jaksa di Kejati DKI akhir Juni 2019 lalu. Yadi Herdianto dan Yuniar Sinar Pamungkas, nama dua jaksa itu, diduga menerima suap sebesar 28.000 dollar Singapura dan 700 dollar Amerika Serikat terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kejaksaan kemudian mencopot kedua jaksa dari jabatannya di Kejati DKI Jakarta.
Kemudian pada 20 Agustus 2019, KPK menetapkan dua jaksa sebagai tersangka penerima suap dalam lelang proyek Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kota Yogyakarta tahun 2019. Proyek yang dimaksud adalah lelang pekerjaan rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo, dengan anggaran RP 10,89 miliar. Kedua jaksa yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta sekaligus anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D), dan Satriawan Sulaksono, jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta.
Pesan untuk membersihkan kejaksaan dari jaksa-jaksa nakal pun telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. Di Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah 2019, di Bogor, Jawa Barat, 13 November lalu, Jokowi mendapat laporan bahwa banyak oknum polisi dan jaksa yang memeras pelaku usaha. Untuk itu, ia meminta oknum penegak hukum nakal tersebut dicopot.