Lahan kritis di Jawa Timur, yang mencapai 1,5 juta hektar, mendesak untuk dipulihkan dengan penanaman pohon guna mengurangi risiko bencana longsor sekaligus memunculkan mata air.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lahan kritis di Jawa Timur, yang mencapai 1,5 juta hektar, mendesak untuk dipulihkan dengan penanaman pohon. Selain mencegah risiko bencana berupa longsor, penanaman pohon juga akan memunculkan mata air saat diperlukan pada musim kemarau.
Menurut pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo, di Surabaya, Jumat (13/12/2019), pemulihan lahan kritis akan membuat kawasan tidak mudah longsor. Ketangguhan suatu bukit gundul yang sudah direhabilitasi terhadap ancaman longsor mencapai 80 persen.
Tanah yang ”sehat” karena di atasnya tumbuh keberagaman hayati juga memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air.
Namun, ”penyembuhan” lahan kritis mustahil terwujud dalam waktu singkat. Setelah ditanam, pohon harus dipantau serta dirawat atau dipastikan tumbuh dan berkembang hingga setidaknya tiga-empat tahun. Selepas itu, secara alami, pohon akan terus menjulang.
Akar pohon akan mengikat tanah sehingga tak mudah longsor meski diguyur hujan deras. Menurut Amien, tanah yang ”sehat” karena di atasnya tumbuh keberagaman hayati juga memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air. Tanah ibarat busa yang menyerap air selama musim hujan.
Saat jenuh, secara alami, tanah akan memunculkan mata air. Kemunculan air tak berhenti sampai tanah menemukan keseimbangan dengan tingkat kejenuhannya. Untuk itu, pada musim kemarau, tanah yang jenuh selama musim hujan bisa jadi terus mengeluarkan air.
Seharusnya, menurut Amien, pandangan seperti itu dihayati dan diyakini oleh masyarakat dan aparatur negara dalam menyikapi bencana alam. Saat ini, musim hujan sudah berlangsung sehingga nyaris tiada waktu lagi untuk mewujudkan program antisipasi terhadap ancaman longsor dan banjir.
Dia mengatakan, yang bisa ditempuh ialah meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan. ”Namun, program rehabilitasi lahan kritis harus segera dijalankan meski kita akan amat sibuk menghadapi bencana yang datang,” kata Amien.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, untuk antisipasi bencana pada musim hujan, pemerintah telah membuat sejumlah waduk, embung, serta memperbaiki saluran irigasi dan jaringan drainase perkotaan. ”Pemerintah bekerja,” katanya.
Untuk rehabilitasi lahan kritis, menurut Emil, perlu kerja sama dengan para bupati dan wali kota. Pemerintah provinsi siap membantu untuk penyediaan bibit pohon dan atau tenaga.
Pegiat pelestarian lingkungan hidup Sisyantoko mengatakan, rehabilitasi lahan kritis, terutama di dataran tinggi, benar-benar sulit. ”Sebabnya, ada konflik kepentingan,” kata pendiri Bank Sampah Induk Bintang Semesta Mojopahit dan Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (Wehasta) itu.
Sisyantoko mencontohkan, lingkar lereng Gunung Penanggungan yang masuk wilayah Pasuruan, Jombang, dan Mojokerto tak pernah berhenti diserang pembangunan. Pemerintah, swasta, dan masyarakat ”berebut” membangun perumahan, vila, hotel, tempat usaha, dan obyek wisata.
Kalau lereng gundul sudah dipulihkan, seharusnya tak lagi longsor ketika musim hujan dan tak terbakar saat musim kemarau.
Meski belum sampai benar-benar menggunduli lereng Penanggungan, dampak negatifnya sudah nyata. Kawasan itu dilanda kebakaran lahan saat musim kemarau dan longsor pada musim hujan.
Sisyantoko mengingatkan, bencana alam di masa lalu, seperti banjir bandang pada 2002 di Pacet, Mojokerto, harus menjadi pembelajaran. Sudah 17 tahun berlalu sejak bencana yang menewaskan lebih dari 25 orang itu, tetapi program rehabilitasi lahan kritis tak juga tuntas.
”Kalau lereng gundul sudah dipulihkan, seharusnya tak lagi longsor ketika musim hujan dan tak terbakar saat musim kemarau. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan sebaliknya,” katanya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim Tri Jambore Christanto mengatakan, kejadian bencana di masa lalu, seperti longsor pada 2017 di Ponorogo, Nganjuk, dan Pacitan yang menewaskan lebih dari 50 jiwa, mungkin sekadar dianggap statistik oleh masyarakat dan pemerintah.
Peristiwa naas itu mungkin juga sudah mulai tergerus dari ingatan kolektif. Kehidupan berjalan kembali dan saat bencana datang, masyarakat dan aparatur negara kembali sibuk menangani. ”Mudah lupa dan enggan belajar dari kesalahan,” katanya.
Pegiat kebencanaan dan lingkungan, seperti Amien, Sisyantoko, dan Jambore, mengharapkan, gubernur dan para bupati/wali kota benar-benar terketuk hatinya untuk melihat kondisi riil lingkungan saat ini. Para kepala daerah diharapkan menempuh kebijakan strategis guna memulihkan kawasan kritis.
”Tujuannya, melindungi rakyatnya, manusianya. Ketangguhan suatu daerah dalam menghadapi bencana adalah ketika minim kerusakan dan tiada korban jiwa,” kata Amien.