Sembuhkan Luka Politik Identitas
Jakarta dianggap miniatur Indonesia. Berbagai identitas, kelompok mayoritas dan minoritas membaur di sini. Tidak ada satu kelompok pun boleh mengklaim paling berhak menguasai Jakarta. Kota ini milik dan untuk bersama.
Politik identitas, baik pada kontestasi pemilihan kepala daerah DKI 2017 maupun pemilihan presiden 2019 menyisakan luka mendalam dan mengoyak toleransi umat beragama. Kompleksitas masyarakat yang hidup dan bernaung di Jakarta pun menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin daerahnya. Banyaknya interaksi yang terjadi dalam masyarakat heterogen membuat masyarakat membutuhkan sosok gubernur yang piawai. Kepiawaiannya terutama dibutuhkan untuk mendukung kemajuan toleransi di daerahnya.
Sudah lebih dari dua setengah tahun sejak pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI putaran kedua tanggal 19 April 2017 dihelat. Namun, masih ada saja pemilik akun media sosial membenturkan pendukung dua calon gubernur saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (akrab disapa Ahok) dan Anies Baswedan yang kini memimpin DKI.
Entah itu akun milik pendukung fanatik kedua tokoh atau akun beridentitas palsu yang memanfaatkan rasa kecewa berkepanjangan barisan yang belum bisa “move on”. Motifnya, selain murni rasa kecewa, bisa jadi sekedar untuk mendapat perhatian khalayak di alam maya yang kemudian dikonversi jadi rupiah.
Ini turut jadi bukti masih langgengnya intoleransi di antara kubu yang berseberangan. Perseteruan kedua kubu sangat kentara terkait dengan perbedaan identitas, utamanya identitas agama dan ras.
Konflik sebelumnya sempat tak terhindarkan lantaran beredarnya rekaman berisi pidato Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang dinilai menghina salah satu agama. Keterbelahan pendapat masyarakat soal ada-tidaknya unsur penistaan agama pada pidato Basuki menguat di dunia maya maupun nyata.
Baca juga : Perkuat Moderasi Beragama di Berbagai Lini
Di luar hiruk pikuk itu, Basuki menerima vonis hakim yang menyatakan ia bersalah dalam perkara penodaan agama dan mendekam di penjara dua tahun lamanya. Sebelumnya, ia juga menerima kemenangan pasangan Anies-Sandiaga Uno.
Lebih rendah
Setara Insitute, lembaga nirlaba yang berfokus pada penelitian, advokasi masalah demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia (HAM) menilai Jakarta masih menjadi kota intoleran jika dibandingkan kota lainnya di Indonesia. Klaim itu didasarkan pada Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 yang dirilis pada November 2019.
Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, Selasa (10/12/2019), Jakarta termasuk kota intoleran nomor tiga terbawah setelah Tanjung Balai dan Banda Aceh. Jakarta mendapatkan poin 2.880, Banda Aceh 2.817, dan Tanjung Balai di posisi terbawah dengan 2.817.
IKT memeringkat 94 kota berdasarkan sembilan indikator. Indikator itu di antaranya regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama.
IKT memeringkat 94 kota berdasarkan sembilan indikator. Indikator itu di antaranya regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama.
Tentang regulasi pemerintah kota, misalnya, indikator yang digunakan adalah sejauh mana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas. Selain itu, pembentukan produk hukum dan pendukung lain, serta ada tidaknya kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan kota itu.
“Melihat indeks kota toleran ini tidak hanya dari lapisan pemerintah atau regulatornya saja, tetapi juga lapisan masyarakatnya. Oleh karena itu, ketika indeks toleransinya rendah, pemerintahnya jangan dulu kebakaran jenggot,” ujar Halili.
Baca juga : Buka Ruang Interaksi
Dilihat dari lapisan pemerintah (state layer), Halili melihat tidak ada terobosan signifikan, baik pernyataan publik maupun tindakan nyata, selama kepemimpinan Gubernur DKI Anies Baswedan.
Dalam kasus persekusi aktivis media sosial Ninoy Karundeng misalnya, kata Halili, tidak ada pernyataan gubernur untuk menepis isu ini. Padahal, kasus tersebut menjadi alarm betapa mudahnya persekusi dilakukan di Jakarta. Ada kelompok tertentu merasa paling benar sehingga mampu melakukan persekusi pada seseorang yang dianggap “berbeda”.
“Tanpa ada sikap tegas gubernur, Jakarta rawan menjadi tempat paling gampang untuk menyemai narasi identitas, mempersekusi kelompok-kelompok minoritas,” papar Halili.
Selain itu, berdasarkan catatan Setara Institute, Jakarta masuk provinsi dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama (KBB) nomor dua tertinggi, setelah Jawa Barat. Kasus penolakan pendirian rumah ibadah masih terjadi di Jakarta. Masalah perizinan pendirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu, misalnya, tak kunjung usai.
Solusinya, justru jemaat gereja itu menyewa gelanggang olah raga (GOR) di Pasar Minggu untuk beribadah. Selain itu, pada awal 2019 ada penolakan pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jagakarsa.
Sebagai pembanding, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi justru bisa menyelesaikan konflik penolakan pembangunan gereja Santa Klara di Bekasi Utara. Pada Agustus 2019, Rahmat meresmikan rumah ibadah yang tertunda pembangunannya selama 21 tahun.
Sebagai pembanding, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi justru bisa menyelesaikan konflik penolakan pembangunan gereja Santa Klara di Bekasi Utara. Pada Agustus 2019, Rahmat meresmikan rumah ibadah yang tertunda pembangunannya selama 21 tahun.
Di Bogor, Wali Kota Bima Arya yang terpilih selama dua periode ikut berkomitmen menuntaskan konflik gereja Yasmin. Kebijakan untuk melindungi kelompok minoritas itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor dan kebijakan lainnya.
Kota Bogor termasuk kota yang merespons positif hasil indeks kota toleran yang dikeluarkan oleh Setara Institute. Setelah dua tahun, yaitu 2015 dan 2018, masuk 10 besar kota intoleran, ada komitmen dari kepala daerah Kota Bogor untuk menciptakan lingkungan yang memberikan rasa aman pada kelompok minoritas.
Baca juga : Lima Negara Berkolaborasi Rawat Toleransi
Indeks KUB
Versi lain, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dibuat Kementerian Agama merekam perubahan persepsi masyarakat terkait kerukunan umat beragama yang mengiringi pilkada DKI. Meski Kemenag tidak menyatakan ada hubungannya dengan pemilihan gubernur yang diwarnai isu penodaan agama, skor DKI dalam Indeks KUB turun pasca pilkada.
Tahun 2017, skor DKI 73,9 sedangkan pada 2018 menjadi 70,2. Dibanding angka rata-rata nasional, skor DKI tergolong rendah, dari yang tadinya di atas angka rata-rata nasional (72,2 pada 2017) menjadi di bawah rata-rata (70,9 pada 2018).
Setelah perbedaan identitas meramaikan pertarungan dalam pemilihan kepala daerah DKI 2017, “senjata” itu kembali dicoba untuk pemilihan presiden 2019. Terdapat organisasi masyarakat berbasis agama yang mendorong publik memilih salah satu calon karena dinilai lebih membela agama dibanding yang lain.
Publik yang lega setelah selesai mencoblos tanggal 17 April 2019, kembali cemas karena upaya pembelahan rupanya belum usai. Puncaknya, kerusuhan di Jakarta yang mengiringi pengumuman kemenangan pasangan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 21 Mei 2019. Kerisauan masih membayangi sampai pelantikan Presiden Jokowi-Wapres Amin pada 20 Oktober 2019. Energi terkuras hanya karena berkuasanya rasa takut terhadap ancaman teror, khususnya bagi warga Ibu Kota.
Baca juga : Generasi Toleran Menjaga Kerukunan
Melihat fenomena ini, sosiolog perkotaan dari Pusat Kajian Sosiologi Universitas Indonesia Raphaella Dewantari Dwianto berpendapat, politikus memainkan peran krusial dalam membentuk opini publik termasuk mengelola isu toleransi. Para politikus memainkan isu seperti ketimpangan ekonomi, SARA, untuk membentuk musuh bersama, demi mendulang simpati dan suara.
Sejarah membuktikan, pada masa Orde Baru, isu yang dimainkan sebagai musuh bersama adalah Tionghoa, dan komunis. Namun, lama-kelamaan isu itu semakin tidak laku. Kemudian, dicarilah isu lain yang paling bisa mempersatukan yaitu isu agama mayoritas.
“Isu SARA yang masih tegas mengkotak-kotakkan masyarakat adalah agama. Politik identitas menjadikan ini sebagai kendaraan politik untuk memperoleh kekuasaan,” ujar Riri, sapaan akrab Raphaella.
“Isu SARA yang masih tegas mengkotak-kotakkan masyarakat adalah agama. Politik identitas menjadikan ini sebagai kendaraan politik untuk memperoleh kekuasaan,” ujar Riri, sapaan akrab Raphaella.
Kuatnya pengaruh politik identitas inilah yang berpengaruh terhadap laku intoleransi di masyarakat. Semakin tinggi laku intoleransi, semakin tinggi pula angka pelanggaran HAM. Padahal, intoleransi merupakan anak tangga pertama gerakan radikalisme. Politik identitas yang dijadikan kendaraan untuk berkuasa akan bermuara pada kebijakan publik yang diskriminatif. Sebab, kualitas kebijakan publik bisa dipengaruhi oleh desakan massa.
Baca juga : Kisah Para Pemenang Kehidupan
Konsisten
Prof M Adlin Sila, Ketua Tim Survei Indeks KUB 2019, mengatakan, rendahnya peringkat DKI dalam indeks KUB 2019 bukan menunjukkan program dan kebijakan DKI juga jelek. Bisa jadi, dampak belum dirasakan oleh masyarakat karena mengukur dampak tidak bisa berdekatan waktunya dengan saat program ditelurkan.
Apalagi, ranking rendah bukan berarti kerukunan umat beragama di DKI juga rendah. Sebab, kerukunan di seluruh provinsi berdasarkan Indeks KUB 2019 masuk kategori tinggi (rentang skor 61-80). Selain itu, skor DKI dibanding tahun sebelumnya juga naik.
“Sebuah kebijakan nanti dampaknya baru bisa satu-dua tahun, jadi jika program dibuat tahun 2019, mungkin baru berdampak pada 2020 atau 2021,” kata Adlin.
Yang perlu dilakukan DKI sekarang adalah konsisten meneruskan program-program yang menyuburkan kerukunan umat beragama. Selain itu, penting bagi DKI mewujudkan rekonsiliasi yang paripurna di antara kubu-kubu berseberangan imbas pilkada 2017.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2010-2016) Heiner Bielefeldt menulis dalam buku Politik Kesetaraan: Dimensi-Dimensi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2019), ketidakpercayaan antar kelompok agama atau keyakinan merupakan salah satu akar kebencian kolektif keagamaan. Untuk mencegah atau melenyapkannya, pra kondisi paling penting yaitu komunikasi rutin melintasi batas-batas keagamaan.
Terkait komunikasi lintas agama, menurut Adlin, FKUB DKI punya peran sentral. Perannya yang sudah baik mesti terus ditingkatkan, mengingat FKUB DKI menerima anugerah Harmony Award 2018 dari Kemenag karena berpredikat sebagai FKUB provinsi terbaik kedua.
Baca juga : Kisah Toleransi Para Keturunan Pelaut