Delapan Persoalan dalam Pilkada, DPD Dorong Revisi Undang-Undang
Sistem pilkada langsung termasuk yang dipersoalkan. Namun, tidak semua anggota Komite I DPD setuju sistem diubah. Begitu pula sejumlah pakar otonomi daerah. Pilkada langsung relevan dengan demokrasi dan desentralisasi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengidentifikasi setidaknya delapan permasalahan dalam pemilihan kepala daerah. Untuk menyelesaikannya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dinilai perlu direvisi. Berangkat dari hal tersebut, Komite I berencana menginisiasi revisi.
Delapan permasalahan dimaksud, netralitas penyelenggara pemilihan kepala daerah (pilkada) dan birokrasi, pembiayaan yang membebani anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), maraknya politik uang dan persyaratan calon yang belum memberikan keadilan bagi semua pihak.
Kemudian, persoalan calon tunggal di pilkada, durasi kampanye yang terlalu lama, regulasi yang tumpang tindih, dan persoalan daftar pemilih. Satu hal lain yang kerap dipersoalkan terkait sistem pilkada langsung.
”(Terkait dengan sejumlah masalah itu) DPD akan mengajukan inisiasi revisi UU Pilkada, dengan harapan demokrasi Indonesia betul-betul dapat mencerminkan aspirasi masyarakat dan secara mekanisme sesuai dengan asas-asas pemilu, serta menghasilkan pimpinan daerah yang kredibel dan profesional,” kata Ketua Komite I DPD Agustin Teras Narang saat rapat dengar pendapat Komite I dengan sejumlah pakar otonomi daerah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Para pakar yang hadir, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M Nur Sholikin dan Kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat IPDN Halilul Khairi.
Sejumlah pakar itu sekaligus diminta menjadi tim ahli DPD untuk mengidentifikasi permasalahan lain terkait pilkada.
Untuk diketahui, revisi UU No 10/2016 tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020. Namun, revisi masuk dalam Prolegnas 2020-2024. Agar bisa direvisi, revisi UU harus terlebih dulu diputuskan masuk prolegnas tahunan oleh DPR dan pemerintah.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia sebelumnya mengatakan, revisi sulit dilakukan tahun ini karena tahapan Pilkada 2020 sudah dimulai pada Desember 2019. Jika revisi dipaksakan, dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pilkada yang sedang berjalan.
Dari delapan permasalahan yang diidentifikasi, isu soal sistem pilkada paling banyak dibahas dalam rapat dengar pendapat tersebut. Sistem yang tepat diperdebatkan, di antara para pakar dan anggota DPD. Perdebatan mengerucut pada tiga sistem, yaitu sistem pilkada langsung oleh rakyat seperti selama ini berlaku dipertahankan, sistem pilkada diubah kembali menjadi dipilih oleh DPRD, atau diberlakukan sistem pilkada asimetris.
Djohermansyah Djohan, misalnya, setuju jika sistem pilkada diubah menjadi asimetris. Dalam sistem itu, mekanisme pemilihan bisa berbeda antardaerah.
Ada daerah yang tetap menyelenggarakan pilkada langsung, pilkada oleh DPRD atau kepala/wakil kepala daerah ditetapkan oleh presiden. Saat ini, pilkada asimetris sebenarnya sudah berlaku. Sebagai contoh, kepala daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kepala daerah di DKI Jakarta, tidak dipilih langsung oleh rakyat seperti daerah-daerah lainnya.
Menurut dia, perbedaan penerapan varian sistem bisa disesuaikan dengan faktor geografis, demografis, sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, dan agama setiap daerah.
Perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan peran gubernur, bupati, dan wali kota. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan bupati dan wali kota merupakan kepala daerah yang memerlukan pembinaan dan supervisi gubernur.
Sementara Wakil Ketua Komite I DPD dari Jawa Tengah Abdul Kholik dan Anggota Komite I dari Kalimantan Utara Marthin Billa menilai sistem pilkada langsung oleh rakyat perlu diubah kembali menjadi dipilih oleh DPRD. Sebelum 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Alasannya, penyelenggaraan pilkada langsung menuntut negara untuk mengeluarkan anggaran yang besar. Tak hanya itu, peserta pilkada juga dituntut mengeluarkan ongkos politik yang besar. Salah satu implikasinya, menurut Abdul, tak sedikit kepala/wakil kepala daerah yang korupsi.
Pemilihan langsung perlu dilanjutkan karena itu merupakan bagian dari desentralisasi dan demokrasi yang berkembang pascareformasi.
Namun, tak semua anggota Komite I sepakat dengan perubahan sistem yang diusulkan oleh Abdul dan Marthin. Anggota DPD dari Kalimantan Barat, Maria Goretti, salah satunya. ”Pemilihan langsung perlu dilanjutkan karena itu merupakan bagian dari desentralisasi dan demokrasi yang berkembang pasca-reformasi dan saya ikut memperjuangkan itu,” kata dia.
Maria mengusulkan, prinsip asimetris dapat diterapkan bukan untuk mengubah sistem melainkan untuk mencegah politik uang. Prinsip itu bisa diwujudkan dengan menerapkan hukum adat untuk menghukum pelaku politik uang. ”Di daerah, sanksi yang berasal dari hukum adat itu masih sangat efektif. Oleh karena itu, kearifan lokal perlu masuk dalam usulan revisi UU Pilkada,” ujarnya.
Robert Endi Jaweng dan M Nur Sholikin juga tidak setuju jika sistem pilkada langsung diubah. Menurut Robert, kalau pola asimetris ingin diterapkan, sebaiknya terbatas pada tata kelola pilkada. Sebagai contoh, daerah yang tak mampu menanggung biaya penyelenggaraan pilkada dari APBD harus mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah pusat.
Adapun M Nur Sholikin menguatkan pandangan Maria Goretti. Dia menekankan, pilkada langsung merupakan sistem yang relevan dengan desentralisasi dan demokrasi yang menjadi kesepakatan Indonesia pascareformasi dan amendemen UUD 1945. Ketiga elemen itu mengandung prinsip partisipasi publik dalam memilih penyelenggara negara.
”Demokrasi dan desentralisasi itu jelas membutuhkan biaya. Akan tetapi, jangan karena ongkos yang tidak bisa dipenuhi itu, kita kemudian berbalik kepada sistem yang lama yang menimbulkan arus balik desentralisasi,” tegasnya.