Keraton Agung Sejagat, Sesat Sejarah Kerajaan ”Kaleng-kaleng”
Keraton Agung Sejagat, yang dideklarasikan sekelompok orang di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, menyedot perhatian publik. Mereka mengklaim mewarisi Kerajaan Majapahit.
Keraton Agung Sejagat yang dideklarasikan sekelompok orang di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, belakangan menyedot perhatian publik. Tanya dan boleh jadi tawa muncul saat menyaksikan sejumlah orang berlaku seolah memiliki raja dan kerajaan sendiri.
Kompleks Keraton Agung Sejagat (KAS) didirikan di Desa Pogung Jurutengah, sekitar 13 kilometer arah barat daya pusat kota Purworejo. Desa yang sepi ini tiba-tiba menjadi perhatian setelah viralnya acara kirab sejumlah orang yang mengaku anggota Keraton Agung Sejagat di media sosial.
Beberapa foto dan video kirab dengan nama Ritual Wilujengan membuat warganet heboh. Sebuah video bahkan memperlihatkan kegiatan kirab ala keraton yang tampak mewah. Prajurit keraton mengenakan baju seragam hitam lengkap dengan topi. Dalam foto yang beredar, terlihat seorang pria dan wanita berpakaian ala kaisar duduk di atas kuda. Ritual Agung Keraton Sejagat ini digelar di Desa Pogung Jurutengah, Jumat (10/1/2020).
Selang beberapa hari sejak viral, pemerintah setempat menilai kelompok tersebut terindikasi menyebarkan pemahaman sejarah yang keliru, terutama menyangkut Kerajaan Majapahit. Jika dibiarkan, pemahaman ini dikhawatirkan berdampak buruk dan menimbulkan keresahan.
Asisten Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kabupaten Purworejo Pram Prasetya Achmad mengatakan, dampak buruk tersebut dikhawatirkan meluas. ”Jika keberadaan KAS dibiarkan, kami khawatir akan semakin banyak orang keliru memaknai dan memahami sejarahnya sendiri,” ujarnya, Selasa (14/1/2020).
Jika keberadaan KAS dibiarkan, kami khawatir akan semakin banyak orang keliru memaknai dan memahami sejarahnya sendiri. (Pram Prasetya Achmad)
Hal tersebut, menurut dia, bakal berpotensi mengganggu kestabilan dan ketenangan kehidupan masyarakat. Kekeliruan tentang sejarah tersebut terungkap dalam pidato raja KAS, yang mengaku bernama Totok Santosa Hadiningrat, pada acara deklarasi berdirinya KAS di Desa Pogung Jurutengah, Minggu (12/1/2020).
Sejumlah kekeliruan tersebut, menurut Pram, di antaranya pernyataan Totok yang menyebutkan bahwa KAS adalah kerajaan yang muncul sebagai perwujudan perjanjian 500 tahun lalu yang dibuat antara Kerajaan Majapahit dan Portugis. Perjanjian itu disebutnya dibuat di masa berakhirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1518. Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478.
Baca juga:Pasuruan, Persimpangan Strategis Kerajaan Majapahit
Klaim terkait Majapahit
Seperti dilansir Antara (13/1/2020), penasihat Keraton Agung Sejagat, Resi Joyodiningrat, menegaskan bahwa KAS bukan aliran sesat seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Ia berdalih, KAS merupakan kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena berakhirnya perjanjian 500 tahun lalu, terhitung sejak hilangnya kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai dengan 2018.
Menurut Joyodiningrat, perjanjian 500 tahun tersebut dilakukan Dyah Ranawijaya sebagai penguasa imperium Majapahit dengan Portugis sebagai wakil orang Barat atau bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka tahun 1518. Dengan berakhirnya perjanjian tersebut, berakhir pula dominasi kekuasaan Barat mengontrol dunia yang didominasi Amerika Serikat setelah Perang Dunia II dan kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Keraton Agung Sejagat sebagai penerus Medang Majapahit.
Selain klaim soal sejarah Majapahit, lanjut Pram, hal lain yang sangat diragukan kebenarannya adalah KAS disebut memiliki kekuasaan di seluruh dunia dengan kekuatan pengamanannya berada di Pentagon, Amerika Serikat.
Pemahaman keliru tentang sejarah tersebut menjadi salah satu alasan bagi Pemerintah Kabupaten Purworejo mengeluarkan instruksi kepada KAS untuk menghentikan segenap aktivitasnya. Terhitung mulai Rabu (15/1/2020), area yang disebut sebagai lokasi berdirinya KAS di Desa Pogung Jurutengah, akan resmi ditutup dan disegel Pemkab Purworejo.
Pemahaman keliru tentang sejarah tersebut menjadi salah satu alasan bagi Pemerintah Kabupaten Purworejo mengeluarkan instruksi kepada KAS untuk menghentikan segenap aktivitasnya.
Menurut Pram, KAS juga tidak memiliki kegiatan jelas dan tidak memenuhi berbagai standar perizinan. Selain bangunannya tidak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB), sebagai lembaga, KAS juga tidak memenuhi syarat berdirinya organisasi kemasyarakatan (ormas) atau organisasi kesenian ataupun kebudayaan.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah Ibnu Kuncoro mengungkapkan, keberadaan KAS harus diwaspadai karena kisah sejarah yang disampaikan sebagai latar belakangnya tersimpan berbagai hal aneh. Salah satunya klaim dari KAS yang menyebutkan kekuasaan mereka meliputi seluruh dunia.
Hal tersebut, menurut dia, menjadi indikasi adanya kegiatan yang mencurigakan. ”Kita harus curiga motif apa di balik berdirinya KAS. Bisa jadi, KAS adalah kedok untuk melakukan aksi penipuan atau penyebaran aliran sesat,” ujarnya.
Untuk itu, Selasa (14/1/2020), Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jateng menangkap raja dan ratu KAS, yaitu R Totok Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41). Hingga Selasa malam, polisi mengamankan barang bukti dan alat bukti KTP pelaku, dokumen palsu kartu-kartu yang dicetak pelaku untuk perekrutan anggota KAS, serta mengumpulkan keterangan dari pelaku dan saksi.
Keduanya dijerat Pasal 14 UU No 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana soal pemberitaan bohong yang menerbitkan keonaran dan atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Banyak pengunjung
Meski demikian, setelah dideklarasikan pada Minggu (12/1/2020) dan viral di media sosial, sejak Senin (13/1/2020), lokasi KAS justru ramai didatangi pengunjung. Tempat tersebut tak ubahnya tempat wisata, para pengunjung datang sembari berswafoto dan mengisi buku tamu yang disediakan dalam lokasi. Sejak Senin hingga Selasa (14/1/2020), jumlah tamu yang datang berkunjung sudah lebih dari 300 orang.
Saat Kompas berkunjung, sejumlah orang yang mengaku anggota KAS tampak menyambut para tamu. Mereka ada yang memakai seragam berupa kaus lengan panjang berwarna coklat muda dengan bordir tulisan ”United Nations” di bagian dada sebelah kiri. Adapun bagian bawahnya memakai celana berlapis kain batik. Anggota laki-laki juga memakai blangkon. Namun, sebagian lainnya, tampak lalu lalang hanya dengan memakai kaus dan celana panjang biasa.
Lokasi KAS justru semakin ramai didatangi pengunjung. Tempat tersebut tak ubahnya tempat wisata, para pengunjung datang sembari berswafoto dan mengisi buku tamu.
Totok sebagai pimpinan KAS sedang tidak berada di tempat. Dia diketahui berada di Yogyakarta. Berdasarkan pengakuan sejumlah anggota KAS, dia memang hanya akan berada di lokasi saat keraton sedang menyelenggarakan acara khusus.
Puji Widodo (69), warga Desa Boro Kulon, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, mengaku menjadi salah satu abdi dalem Keraton Agung Sejagat. Sebelumnya, Puji adalah penyuluh kehutanan yang pensiun pada 2013. Sekitar tahun 2015, dia mengaku diajak salah seorang rekannya yang merupakan perangkat Desa Pogung Jurutengah untuk bergabung dengan KAS.
Baca juga: Menyemai Benih Penangkal Informasi Sesat
Semula, dia menganggap KAS sebagai organisasi kemasyarakatan. Ketika kemudian mulai membahas soal pendirian keraton, dia pun tidak keberatan karena KAS, menurut dia, memiliki program yang bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.
Oleh karena memfokuskan pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat itulah, menurut Puji, kompleks keraton nantinya akan dibangun dengan konsep modern. Di dalam kompleks bakal dibangun rumah sehat untuk pemeriksaan warga dan area semacam bazar bagi kalangan ibu untuk memamerkan produk kerajinan. Selain itu, akan dibangun pula sentra kuliner dan auditorium.
Pengamatan di lapangan, bangunan yang tengah dibangun adalah semacam pendopo. Di sekitar itu, terdapat satu bangunan yang menaungi sebuah batu besar berukir yang disebut prasasti I Bumi Mataram. Kompleks berdiri di lahan kurang dari setengah hektar.
Pembuatan prasasti dilakukan hanya dengan mengukir tulisan dan gambar yang sebelumnya telah dituliskan di atas batu.
Prasasti ini dibuat oleh seorang tukang ukir dari Wonosobo. Dengan diberi tugas mengukir prasasti, tukang ukir tersebut mengaku telah diangkat sebagai empu oleh KAS dengan nama Empu Wijoyoguno.
Prasasti tersebut dibuat pada Desember 2019 selama 14 hari. Pembuatan prasasti dilakukan hanya dengan mengukir tulisan dan gambar yang sebelumnya telah dituliskan di atas batu. Batu berukuran besar tersebut didapatkan dari Kecamatan Bruno, Purworejo.
Ratusan anggota
Saat ini jumlah anggota KAS, menurut Puji, sebanyak 400 orang. Peresmian keanggotaan tersebut dilakukan pada 2018. Mereka sebelumnya mandi bersama di Tuk Bimolukar di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Selanjutnya, mereka melakukan upacara seremonial peresmian keanggotaan di kompleks Candi Arjuna, Dieng. Adapun kelengkapan keanggotaan seperti seragam didapatkan secara swadaya oleh anggota sendiri.
Ide pembangunan kompleks keraton muncul sejak pertengahan 2019. Ide itu muncul setelah mereka menggelar acara deklarasi damai dunia di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang.
Sebagian pengunjung yang datang berasal dari sekitar wilayah Kabupaten Purworejo. Beberapa orang di antaranya ingin tahu dan bertanya-tanya seputar KAS kepada sejumlah anggota berseragam. Namun, sebagian di antara pengunjung terlihat tidak percaya dan tampak mendengarkan penjelasan sembari menahan tawa.
Farida, salah seorang petugas dari Puskesmas Bayan yang datang berkunjung, mengaku tidak percaya tentang sejarah berdirinya KAS. Dia pun merasa pendirian KAS terkesan konyol dan dinilai mengada-ada dari orang yang memiliki gangguan kejiwaan.
Sebagian di antara pengunjung terlihat tidak percaya dan nampak mendengarkan penjelasan sembari menahan tawa.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sendiri ikut menanggapi soal itu. Ia berseloroh mengira aktivitas KAS adalah acara karnaval setelah foto dan videonya viral di media sosial. ”Saya kira karnaval, kok pakai baju begitu,” kata Ganjar.
Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan Bupati Purworejo, Kesbangpol, Dinas Kebudayaan, dan kepolisian guna menelusuri motif munculnya KAS. Ia berpesan agar penyelesaiannya tidak menimbulkan gesekan horizontal. Bahkan, ia mengajukan ide nyeleneh. ”Siapa tahu bisa diubah jadi acara desa wisata, malah lebih bagus, kan,” kata Ganjar.
Bagaimanapun, aparat perlu menelisik lebih dalam fenomena kerajaan imitasi atau ”kaleng-kaleng” bernama Keraton Agung Sejagat. Apakah para pendiri KAS, seperti yang sering disebut belia zaman ini, sedang ”halu” atau berhalusinasi atau memang ada agenda lain yang lebih serius, seperti penipuan.