Tanpa Dalil Baru Gugatan Korban Banjir Jakarta Bisa Berujung Gagal
Gugatan perwakilan kelompok tentang banjir Jakarta awal 2020 kemungkinan sulit dimenangkan di pengadilan. Sebab dalil-dalil yang diajukan penggugat nyaris sama dengan gugatan serupa yang pernah diajukan warga pada 2007.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah dalil gugatan perwakilan kelompok terkait banjir di Jakarta tak berbeda jauh dengan gugatan serupa yang ditolak majelis hakim pada 2007 silam. Dalil-dalil yang diajukan penggugat dinilai masih lemah karena hanya fokus pada kelalaian satu pihak yaitu Pemerintah Provinsi DKI.
"Ketika yang digugat hanya Gubernur DKI Jakarta, ada celah gugatan ini untuk dikalahkan. Di undang-undang jelas, tak mungkin penanggulangan bencana hanya tanggung jawab Pemprov DKI. Akan kurang pihak. Kita tahu Jabodetabek juga terdampak," ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana di kantor LBH Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).
Aturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penangulangan Bencana. Di Pasal 5 UU tersebut dijelaskan, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemerintah di sini adalah pemerintah pusat, Presiden RI, yang memegang kekuasaan pemerintahan NKRI.
Seperti diberitakan sebelumnya, Senin (13/1), 243 warga menggugat Gubernur DKI ke PN Jakarta Pusat karena dianggap lalai mengantisipasi banjir di Jakarta awal 2020. Mereka tergabung dalam Tim Gugatan ”Class Action” Banjir DKI 2020. Sejumlah penggugat menyampaikan ketiadaan peringatan dini dari pemerintah kepada warga sebelum banjir sehingga membuat mereka merugi Rp 42,3 miliar.
Masalah "kurang pihak" ini pernah menjadi bahan pembelaan atau eksepsi yang diajukan oleh tergugat, Gubernur DKI Jakarta, pada 2007 lalu. Saat itu, ada 11 warga yang tergabung dalam Jaringan Korban Banjir Jakarta melayangkan gugatan ke PN Jakarta Pusat.
Mereka menilai, Gubernur DKI dan lima Wali Kota di DKI Jakarta telah lalai dalam mengatasi banjir. Oleh karena kelalaian itu, mereka menuntut ganti rugi meteriil dan imateriil senilai Rp 5,16 triliun.
Dalam eksepsinya, Gubernur DKI menilai, musibah banjir pada Februari 2007 di Ibu Kota Jakarta, bukan hanya merupakan urusan dari tergugat, melainkan tidak terlepas dari adanya 13 aliran air sungai ke wilayah DKI, yang melibatkan wilayah lain di sekitar Jakarta. Wilayah lain tersebut adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.
Tak hanya itu, di dalam eksepsi, Gubernur DKI juga menegaskan, seharusnya DPRD DKI sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, serta pemerintah pusat, diikutsertakan sebagai pihak dalam perkara a quo.
Pembelaan Gubernur DKI yang lain adalah gugatan yang diajukan keliru dan tidak tepat (error in persona) jika tergugat dituduh melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Sebab, banjir yang terjadi pada Februri 2007 adalah musibah yang tidak dilakukan oleh tergugat. Justru, menurut Gubernur DKI, tergugat berusaha mengantisipasi terjadi banjir.
Pembuktian
Terlepas dari sejumlah pembelaan yang pernah dilontarkan Gubernur DKI itu, Arif menyampaikan, sebenarnya gugatan kali ini bisa berpotensi menang kalau sejak awal mengikutsertakan pemerintah daerah lain dan pemerintah pusat sebagai pihak tergugat. Sebab, itu diakomodir di UU 24/2007, sementara pada kasus gugatan 2007 lalu dasar hukum hanya menggunakan Pasal 1365 KUHPer. "Kalau dulu (pada 2007), orang mau mengatakan pemerintah bertanggung jawab, belum ada dasar hukumnya. Sekarang sudah eksplisit ditegaskan di Pasal 5 UU 24/2007," ucap Arif.
Hal lain yang perlu diantisipasi di gugatan kali ini, menurut Arif, adalah status penggugat harus memiliki kepentingan hukum atau menjadi korban langsung dari musibah banjir. Para penggugat harus mampu membuktikan secara jelas kerugian yang dialami.
"Misal, mobil atau motor beli dengan harga berapa? Minta ganti rugi berapa? Buktinya apa? Sementara, bukti-bukti itu mungkin sudah hilang semua. Dia mendalilkan kehilangan kerugian, maka dia harus bisa membuktikan. Itu yang tersulit dari gugatan class action," kata Arif.
Butuh pengakuan
Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Diarson Lubis, optimistis gugatan kali ini lebih masuk akal dibandingkan gugatan sebelumnya. Sebanyak 243 penggugat telah terdata secara detil kerugian yang dialami. Dengan begitu, pendistribusian pembayaran ganti rugi terukur dan tepat sasaran.
Terkait pemilihan Gubernur DKI Jakarta sebagai satu-satunya pihak tergugat, kata Diarson, dimaksudkan agar gugatan kali ini bisa fokus merujuk pada kinerja satu pemerintah daerah. "Kami sederhanakan saja ke Gubernur DKI," katanya.
Diarson menuturkan, selain memperjuangkan hak warga, tujuan utama gugatan hanya ingin membuktikan apakah Gubernur DKI saat ini telah menunaikan kewajibannya sebagai pemerintah daerah untuk mengatasi banjir atau belum. Namun, dia membantah anggapan bahwa gugatan kepada Gubernur DKI itu bersifat politis
"Bagi kami, jika nanti saat di pengadilan, mereka (pihak tergugat) melebar (pembelaannya), artinya, dia tidak gentle. Pemerintah yang baik, jika salah, ya diakui saja. Kami juga ingin menguji tangung jawab pemda," ucap Diarson.