Pemda dan Warga Sungai Hulu Tengah Satu Suara Tolak Tambang di Pegunungan Meratus
Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, konsisten menolak pemberian izin pertambangan di kawasan Pegunungan Meratus. Kawasan tersebut disadari sebagai sumber penghidupan bagi warga.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Daerah beserta DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, konsisten menolak pemberian izin pertambangan di kawasan Pegunungan Meratus. Kawasan tersebut disadari sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) baru saja memenangi gugatan mereka ke Mahkamah Agung (MA) terkait dikeluarkannya Surat Keputusan Operasi Produksi PT Mantimin Coal Mining (MCM) di kawasan Hulu Sungai Tengah oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat Hulu Sungai Tengah.
”Seluruh masyarakat kami sepakat untuk melindungi hutan yang masih tersisa sebagai sumber air dan sumber pangan,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Hulu Sungai Tengah Ahmad Yani dalam konferensi pers di Walhi Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Saat ini, di area izin pertambangan batubara sedang dibangun proyek strategis nasional, yaitu Bendungan Batang Alai. Bendungan ini disinyalir akan mengaliri sekitar 6.600 hektar areal persawahan masyarakat Hulu Sungai Tengah.
Yani mengatakan, masyarakat Hulu Sungai Tengah mampu hidup makmur tanpa bertumpu pada industri pertambangan. Selain melalui pertanian, saat ini pengembangan ekowisata di sana juga terus digenjot.
”Itu semua tumbuh dari kesadaran masyarakat desa. Sekarang sudah tumbuh banyak spot ekowisata. Kami terus mendorong,” ujarnya.
Pegunungan Meratus membentang pada sembilan kabupaten di Kalimantan Selatan. Selain di Hulu Sungai Tengah, pegunungan ini antara lain meliputi kawasan Kotabaru, Banjar, Tanah Laut, Hulu Sungai Selatan, Tapin, dan Tabalong. Di dalamnya juga berhuni masyarakat adat Dayak Meratus.
Pegunungan Meratus membentang pada sembilan kabupaten di Kalimantan Selatan. Selain di Hulu Sungai Tengah, pegunungan ini antara lain meliputi kawasan Kotabaru, Banjar, Tanah Laut, Hulu Sungai Selatan, Tapin, dan Tabalong. Di dalamnya juga berhuni masyarakat adat Dayak Meratus.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Sunarwi Warni mengungkapkan, aktivitas pertambangan yang dilakukan di kabupaten lain menyebabkan kerusakan lingkungan perikanan. Limbah dari batubara menyebabkan air sungai menjadi asam sehingga banyak ikan mati mendadak.
”Walaupun izin sudah dicabut, antisipasi lanjutan harus dilakukan. Terlebih potensi batubara banyak terdapat di pegunungan yang merupakan kawasan hulu,” katanya.
Hal yang sama dipaparkan Ketua DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah Rahmadi. Menurut dia, pencemaran lingkungan yang terjadi di kabupaten tetangga menyebabkan air tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Nasib anak cucu mereka juga dipertaruhkan.
Hal ini yang mendorong pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat di Hulu Sungai Tengah sepakat menolak aktivitas pertambangan di kawasan mereka. Menurut dia, masih banyak cara yang bisa ditawarkan kepada masyarakat untuk bisa makmur tanpa mengandalkan pertambangan.
”Masyarakat suku Dayak di sana juga menyampaikan siap mempertahankan wilayah mereka,” ucapnya.
Contoh daerah lain
Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati menilai, tidak banyak pemerintah daerah yang mau berkomitmen menjaga lingkungan bersama dengan masyarakat. Kabupaten Hulu Sungai Tengah dinilai menjadi contoh baik yang patut ditiru oleh daerah-daerah lain.
”Contoh yang jarang ada di negeri ini, bagaimana pemerintah dan DPRD benar-benar mewakili kepentingan rakyat,” katanya.
Ia menilai, Pegunungan Meratus adalah kawasan yang unik. Pegunungan dari bentang alam karst ini tidak hanya terbentuk selama ribuan tahun, tetapi jutaan tahun. Sekali kawasan ini rusak atau hilang, maka akan hilang untuk jangka waktu yang lama.
”Kawasan karst yang hilang tidak akan dijumpai oleh tujuh generasi selanjutnya, bahkan lebih. Kawasan ini menjadi sumber kehidupan yang berharga,” lanjutnya.
Pengelolaan kekayaan alam dari Pegunungan Meratus oleh masyarakat, menurut Hidayati, mampu memberikan penghasilan langsung kepada masyarakat. Jika bertumpu pada industri pertambangan, masyarakat hanya akan mendapatkan tetesan dari keuntungan perusahaan.
Hidayati juga mendorong pemerintah pusat untuk menghormati keputusan MA. Ia tidak ingin pencabutan izin tambang ini hanya dilihat sebagai urusan administratif semata. Contoh pemberian izin kembali pertambangan di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, membuktikan bahwa pemerintah sering abai terhadap substansi dari putusan MA.
Proses panjang
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, perjuangan untuk menyelamatkan Pegunungan Meratus telah melalui proses panjang sejak tahun 1980-an. Adapun penolakan pertambangan batubara PT MCM mulai dilakukan pada 2009 dalam tahapan eksplorasi.
”Pada 2015, penolakan tambang batubara dan kelapa sawit semakin masif di Kalimantan Selatan. Puncaknya adalah keluarnya SK operasi produksi PT MCM pada 2017,” katanya.
Menurut Kisworo, saat ini Kalimantan Selatan telah mengalami darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sebab, dari sebanyak 3,7 juta hektar luas kawasan Kalimantan Selatan, sekitar 50 persen sudah dibebani oleh izin tambang dan perkebunan sawit.
Oleh karena itu, ia menilai, pencabutan izin tambang di Hulu Sungai Tengah bukan akhir dari gerakan mereka. Masih banyak izin tambang, baik dari bijih besi maupun emas, di kawasan lain Kalimantan Selatan yang harus dilawan.