Kepentingan Politik Dikhawatirkan Hambat Penggantian
Kepentingan politik praktis dikhawatirkan menghambat proses penggantian mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang diduga terlibat kasus suap. Namun, secara teknis aturan ketatanegaraan, tidak ada lagi hambatan.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepentingan politik praktis dikhawatirkan menghambat proses penggantian mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang diduga terlibat kasus suap. Namun, secara teknis aturan ketatanegaraan, tidak ada lagi penghambat agar posisi yang ditinggalkan Wahyu segera digantikan.
Saat ini, proses tersebut tinggal menunggu dikirimkannya surat dari DPR kepada Presiden Joko Widodo tentang nama calon pengganti Wahyu untuk kemudian dilakukan pelantikan. Sebelumnya, pada pekan lalu, Keputusan Presiden Jokowi tentang pemberhentian dengan tidak hormat kepada Wahyu telah diterbitkan.
Sebagaimana diatur dalam UU Pemilu, pengganti Wahyu adalah calon komisioner nomor urut berikutnya yang memiliki suara terbanyak saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR pada 2017 lalu. Posisi itu dimiliki I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi yang pada 2017 mendapatkan 21 suara.
”Pengganti Wahyu adalah calon komisioner nomor urut berikutnya yang memiliki suara terbanyak saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR pada 2017 lalu. Posisi itu dimiliki I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi yang pada 2017 mendapatkan 21 suara.”
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, Senin (20/1/2020), di Jakarta, mengatakan, memang sudah semestinya pada saat DPR tidak lagi melakukan proses politik terkait penggantian Wahyu. Akan tetapi, proses politik 2017 tatkala uji kelayakan dan kepatutan dilakukan berbeda dengan saat ini.
Menurut Lucius, konfigurasi politik setelah Pemilu serentak 2019 serta kebutuhan pragmatis masing-masing partai politik dalam rangka mempersiapkan Pilkada 2020 dan Pemilu 2024 membuat pertimbangan politik pada 2017 berbeda dengan saat ini. Ia menilai, partai-partai politik yang pragmatis pada saat ini tidak akan membiarkan sebuah momentum tanpa berupaya untuk mendapatkan keuntungan.
Belum dikirimkannya surat dari DPR kepada Presiden, imbuh Lucius, mengindikasikan hal tersebut. Akan tetapi, relatif lebih rumit karena kasus tersebut terkait juga dengan partai politik, yakni tentang pergantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P.
Kepentingan politik
Lucius menilai, kepentingan atas pengganti Wahyu akhirnya juga tak lepas dari urusan kepentingan tersebut. Bahkan, setelah Wahyu tertangkap, urusan penggantinya tak semata menjadi urusan PDI-P.
”Banyak partai lain yang juga ingin memanfaatkan penggantian Wahyu ini demi kepentingan partai,” ujar Lucius.
”Banyak partai lain yang juga ingin memanfaatkan penggantian Wahyu ini demi kepentingan partai.”
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad, pada hari yang sama membenarkan, keppres tentang pemberhentian dengan tidak hormat kepada Wahyu sudah dikirimkan kepada DPR. Proses selanjutnya ialah dikirimkannya nama pengganti Wahyu kepada Presiden untuk dilantik.
Kamrussamad mengatakan, untuk penggantian, saat ini prosesnya lebih kepada mekanisme administrasi ketatanegaraan. Ia mengatakan, tidak ada lagi uji kelayakan dan kepatutan yang akan diselenggarakan terkaut dengan hal tersebut.
Menurut Kamrussamad, proses uji kelayakan dan kepatutan sudah dilakukan pada 2017. Nama calon pengganti Wahyu masuk sebagai cadangan menyusul perolehan suara terbanyak di nomor ke-8.
”Jadi tinggal proses administrasi dan saya kira hari ini, (hal) itu sudah diproses,” kata Kamrussamad.
Komisioner kosong
”Dengan telah dikeluarkannya Keppres pemberhentian dengan tidak hormat kepada Wahyu, artinya sudah kosong posisi untuk satu orang anggota KPU. Posisi kosong itu mesti segera diisi karena proses Pilkada serentak 2020 sudah ada di depan mata.”
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam menilai, dengan telah dikeluarkannya Keppres pemberhentian dengan tidak hormat kepada Wahyu, artinya sudah kosong posisi untuk satu orang anggota KPU. Posisi kosong itu, imbuh Radian, mesti segera diisi karena proses Pilkada serentak 2020 sudah ada di depan mata.
”Proses tahapan (Pilkada serentak 2020) itu (juga) sudah berjalan,” ujar Radian.
Sehari sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan, jadwal pemberitahuan kepada Presiden mengenai nama calon pengganti Wahyu masih harus menunggu rapat Komisi II DPR. Proses secara administrasi dilakukan DPR untuk memberitahu Presiden mengenai nama calon pengganti Wahyu sebelum Presiden melantik calon pengganti tersebut.
Zulfikar menambahkan, berdasarkan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, pengganti Wahyu adalah calon dengan perolehan suara terbanyak ke-8 saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR pada 2017 lalu. Hal itu tercantum dalam Pasal 37 Ayat 4 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.