Proses penggantian Wahyu Setiawan yang telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum tinggal menunggu keputusan presiden.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses penggantian Wahyu Setiawan yang telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum tinggal menunggu keputusan presiden. Tidak ada lagi hambatan secara ketatanegaraan ataupun politik yang dapat menghalangi pelantikan anggota KPU pengganti Wahyu oleh presiden.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, Kamis (16/1/2020), mengatakan bahwa presiden mesti secepatnya melantik pengganti Wahyu. Hal ini menyusul telah dikirimkannya surat dari Ketua KPU kepada presiden untuk menindaklanjuti pengunduran diri Wahyu.
”Jadi, enggak usah tunggu lama lagi karena berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 (tentang Pemilu), sudah jelas bahwa ketika (anggota KPU) meninggal, atau mengundurkan diri, atau tersangkut pidana, ya, nomor di bawahnya yang mengisi,” sebut Radian.
Apa yang dimaksud Radian sebagai ”nomor di bawahnya” adalah pemilik suara terbanyak nomor ke-8 dalam proses pemilihan anggota KPU periode 2017-2022. Pemilihan itu dilakukan secara voting oleh DPR pada 2017. Dalam hal ini, posisi tersebut diduduki oleh I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi yang pada 2017 mendapatkan 21 suara. Saat ini, Wiarsa menjabat sebagai anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bali.
Radian mengatakan, pelantikan harus segera dilakukan. Pelantikan tersebut, ujar Radian, juga tidak bergantung pada keputusan sidang pemeriksaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Wahyu. Terbukti atau tidaknya dugaan pelanggaran etik itu kelak, pengganti Wahyu tetap harus dilantik. Hal ini menyusul adanya surat pengunduran diri yang ditandangani Wahyu dan ditujukan kepada presiden pada 10 Januari 2020.
Ia juga membenarkan bahwa tidak ada hambatan politik dan tidak diperlukannya persetujuan DPR untuk melantik pengganti Wahyu. Menurut Radian, tahapan pilkada serentak 2020 yang sudah dimulai dan kepemimpinan KPU yang bersifat kolektif kolegial membuat kekosongan anggota KPU harus segera diisi.
Selain itu, kata Radian, presiden sebagai kepala negara juga harus bisa menyampaikan agar penyelenggara pemilu dalam menghadapi pilkada serentak 2020 mesti memiliki integritas tinggi. Terutama dalam kaitan peristiwa hukum yang dialami Wahyu, agar menjadi pelajaran penting bagi penyelenggara dan jangan sampai diulangi lagi.
Wilayah Presiden
Sebagaimana dijadwalkan, Kamis (16/1/2020) siang ini DKPP akan melangsungkan sidang pembacaan putusan terhadap dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu oleh Wahyu Setiawan. Pelaksana Tugas Ketua DKPP Muhammad, seusai sidang pemeriksaan di Gedung KPK pada Rabu (15/1/2020), mengatakan bahwa setelah putusan dibacakan DKPP, itu sudah menjadi wilayah presiden.
Muhammad mengatakan, DKPP akan menyampaikan putusan tersebut kepada KPU dan Bawaslu. Putusan juga akan disampaikan kepada presiden selaku pejabat atau eksekutif yang sebelumnya memberikan surat keputusan pelantikan terhadap Wahyu.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman sebelumnya mengungkapkan, surat terkait penetapan status Wahyu sebagai tersangka sudah dikirimkan kepada presiden. Di dalamnya termasuk juga surat pengunduran diri Wahyu. Selain kepada presiden, Arief mengatakan, KPU juga memberitahukan hal tersebut kepada DPR dan DKPP.