Menjaga Pikiran Positif di Masa Sulit
Berpikir negatif secara berulang untuk waktu yang lama bisa meningkatkan risiko penyakit Alzheimer. Di tengah ketidakjelasan kapan pandemi Covid-19 berakhir, penting menjaga pikiran agar tetap positif.
Di masa yang penuh ancaman dan ketidakpastian ini, hidup nyaman dengan pikiran tenang sepertinya menjadi tantangan semua orang. Namun, pikiran positif tetap harus dijaga. Hanya dengan kesehatan mental yang baik, kita akan bisa bertahan dan melalui badai ini.
Menjaga pikiran positif atas apa yang terjadi saat ini menjadi hal yang penting mengingat studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Alzheimer’s & Dementia, Minggu (7/6/2020), menunjukkan pikiran negatif berulang atau terus- menerus akan meningkatkan risiko Alzheimer, penyakit paling umum yang menyebabkan demensia.
Demensia merupakan sekumpulan gejala yang terjadi saat otak dipengaruhi penyakit atau kondisi tertentu. Demensia sering disamakan dengan pikun meski itu tidak tepat. Gejala umum dari demensia tidak hanya sering lupa atau kehilangan memori, tetapi juga sulit berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan, bahkan berbahasa.
Sementara Alzheimer, sebagai penyakit utama penyebab demensia, terjadi karena adanya perubahan zat kimia dan struktur otak hingga menyebabkan kerusakan sel otak dan mengganggu pengiriman pesan ke otak.
Baca juga : Deteksi Dini Demensia Sebelum Perubahan Perilaku Muncul
Selama ini, depresi dan kecemasan di usia paruh baya dan lanjut usia (lansia) sudah diketahui menjadi faktor risiko demensia.
”Studi ini menunjukkan pola pikir tertentu (pikiran negatif berulang) yang terlibat dalam depresi dan kecemasan memberi dasar mengapa orang dengan gangguan itu lebih memungkinkan mengembangkan demensia,” kata pimpinan studi Natalie L Marchant dari Divisi Psikiatri Fakultas Ilmu Otak University College London (UCL) di situs universitas tersebut, Senin (8/6/2020).
Pola pikir tertentu (pikiran negatif berulang) yang terlibat dalam depresi dan kecemasan memberi dasar mengapa orang dengan gangguan itu lebih memungkinkan mengembangkan demensia.
Selain UCL, peneliti yang terlibat berasal dari Institut Nasional Kesehatan dan Penelitian Medis Perancis (Inserm) dan Universitas McGill, Montreal, Kanada. Studi dilakukan kepada 292 responden berumur lebih dari 55 tahun yang melakukan swapenilaian saat punya pikiran negatif selama dua tahun. Selain itu, sebagian responden menjalani pemindaian otak menggunakan tomografi emisi positron (PET).
Pemikiran negatif berulang dihipotesiskan akan menurunkan kemampuan kognitif, mengganggu keseimbangan hormon tubuh, dan memicu pengendapan protein otak yang terkait dengan Alzheimer, yaitu tau dan amiloid.
”Protein tau dan amiloid itu seharusnya dibuang otak. Karena kondisi tertentu, pembuangan protein itu terhambat,” kata Tara P Sani, Koordinator Divisi Riset dan Sains, Alzheimer Indonesia, organisasi non-profit yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan demensia dan Alzheimer, Senin (15/6/2020).
Kondisi yang menghambat pembuangan tau dan amiloid bukan hanya stres, depresi dan kecemasan, melainkan bisa juga karena gangguan tidur. Pembuangan kedua protein itu banyak terjadi ketika manusia tidur pada malam hari.
Baca juga : Demensia, Ingatan Berlalu dengan Cepat
Persoalan lain yang menghambat pembuangan dua protein pemicu Alzheimer adalah gaya hidup tidak sehat, seperti merokok dan gaya hidup kurang gerak (sedenteri). ”Apa yang baik buat jantung akan baik buat otak. Demikian pula sebaliknya,” ujarnya.
Meski demikian, pikiran negatif berulang yang memicu Alzheimer itu bukan terjadi sebentar, melainkan dalam jangka panjang, bisa dalam periode bulan hingga tahun. Warga senior atau lansia adalah kelompok masyarakat yang paling berisiko terdampak dari berpikir negatif berulang ini.
Secara biologis, lanjut Tara, tubuh lansia mengalami penurunan fungsi yang membuatnya rentan depresi dan kecemasan. Mereka juga memiliki keterbatasan fisik akibat penyakit degeneratif yang dideritanya hingga mengurangi kemandiriannya. Belum lagi, secara sosial, lansia menghadapi banyak perubahan yang memengaruhi psikologinya.
Karena itu, penting bagi masyarakat sekitar lansia menjaga lansia mereka agar tidak berpikir negatif berulang, cemas, dan depresi. Terlebih selama pandemi ini mereka menjadi kelompok populasi yang paling kurang terperhatikan: risiko mereka terpapar Covid-19 cukup tinggi, tetapi risiko kematiannya tertinggi.
”Menjaga lansia berpikir positif bukan dengan menakut-nakuti mereka karena itu justru bisa kontraproduktif,” kata Tara.
Sejak masih muda
Demensia umumnya terjadi pada lansia berumur lebih dari 65 tahun. Namun, dalam kondisi ekstrem, demensia bisa terjadi pada penduduk muda. Di Inggris pernah ditemukan demensia pada penduduk berumur 30 tahun akibat keturunan atau kelainan genetik.
Sebagian besar demensia yang terjadi tidak memiliki kaitan dengan faktor keturunan. Demensia pada usia muda juga bisa dipicu oleh kerusakan pembuluh darah di otak yang memicu stroke hingga disebut demensia vaskular.
Baca juga : Anak Muda Jangan Terlalu Galau
”Meski terjadinya demensia pada penduduk usia produktif sangat jarang, kesehatan fisik dan mental di masa lansia harus disiapkan sejak masih muda,” kata Tara. Jika gaya hidup sehat itu baru dilakukan saat tua, itu sebenarnya sudah cukup terlambat.
Karena itu, penting menjaga pikiran dan kesehatan mental sejak masih muda. Terlebih di masa pandemi ini, saat tsunami informasi yang belum tentu kebenarannya menghantam siapa pun setiap saat dan rentan memunculkan pikiran negatif.
”Sejak kasus korona merebak di Indonesia, banyak pasien gangguan cemas terpicu oleh adanya distorsi kognitif," kata psikiater dan Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Lahargo Kembaren.
Informasi yang kita terima bisa saja bersifat netral. Namun, otak setiap orang akan merespons berbeda. Proses penerimaan dan pengolahan informasi itulah yang bisa menimbulkan distorsi kognitif hingga memunculkan pola pikir yang berlebihan (overthinking), pikiran negatif, atau pikiran tak rasional.
Pola pikir yang bisa memicu distorsi kognitif itu antara lain cara pikir katastropik, yaitu memikirkan dampak buruk korona secara berlebih, over generalization atau menggeneralisasi peristiwa spesisfik, dan all or nothing atau cara pikir perfeksionis yang tidak menoleransi kesalahan.
Cara pikir lain yang rentan memicu distorsi kognitif adalah mental filter atau hanya melihat sisi negatif dari suatu peristiwa, cara pikir seharusnya (should) yang menuntut orang lain melakukan seperti kemauan kita, atau lompat ke kesimpulan (jump to the conclusion), yaitu sudah merasa tahu akan apa yang terjadi meski belum dijalani.
Semua distorsi kognitif atau pikiran negatif yang terjadi berulang-ulang, lanjut Lahargo, akan menyebabkan ruminasi (memuntahkan dan memakan kembali muntahan itu) yang mengganggu fungsi otak hingga menimbulkan stres, cemas, dan depresi. ”Pikiran negatif tidak akan pernah menghasilkan kehidupan yang positif,” tegasnya.
Di tengah pandemi ini, peneliti yang terlibat dalam studi bersama Marchant dari Inserm dan Universitas de Caen-Normandie, Caen, Perancis, Gael Chételat mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan mental masyarakat. ”Pikiran manusia bisa berdampak secara biologis pada kesehatan fisik kita, baik positif maupun negatif,” katanya.
Karena itu, penting mendorong masyarakat untuk melakukan praktik-praktik pelatihan mental yang membuat mereka tetap bisa mengendalikan pikiran, baik melalui meditasi maupun membangun kesadaran pikiran lainnya.
Diet gawai untuk mengurangi paparan informasi tentang Covid-19, meningkatkan ibadah, menekuni hobi, olahraga, melakukan hal-hal atau menonton sesuatu yang membuat rileks dan tertawa bisa dilakukan untuk menghindari pikiran negatif. Namun, saat pikiran negatif muncul, terimalah dan tetap fokus mencari hal positif pada sesuatu yang dianggap negatif tersebut.
Kalau sudah tidak mampu mengatasi sendiri, jangan malu dan carilah bantuan pada tenaga kesehatan profesional, seperti psikiater atau psikolog. ”Ketika kita tidak dapat mengontrol apa yang terjadi, kita masih tetap memiliki kontrol terhadap respons yang akan kita berikan,” kata Lahargo.