Untuk kedua kali dalam tujuh tahun terakhir, pemerintah mengoreksi luas baku sawah. Langkah ini perlu diikuti transparansi data konversi lahan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kembali mengoreksi luas lahan baku sawah yang menjadi landasan data produksi beras. Dalam tujuh tahun terakhir, langkah tersebut dilakukan sebanyak dua kali. Sebagian kalangan meminta agar koreksi ini dilakukan dengan membuka transparansi data konversi lahan.
Secara berturut-turut pemerintah menetapkan lahan baku sawah seluas 7,75 juta hektar pada 2013, pada 2018 seluas 7,105 juta hektar, dan pada 2019 seluas 7,463 juta hektar. Ketetapan itu tertera dalam surat keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Data luas lahan baku sawah pada 2019 merupakan kesepakatan bersama antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pertanian, Badan Informasi Geospasial, Badan Pusat Statistik, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, serta diumumkan di Kantor Kementerian Pertanian, di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan hadir dalam pengumuman tersebut.
Luas baku sawah yang ditetapkan pada 2019 lebih tinggi, yakni 358.804 hektar. ”Setelah diverifikasi, teknologi citra satelit saat ini mampu menangkap sawah-sawah yang ada. Selain itu, ada sawah pasang-surut yang tampak seperti genangan saat musim hujan dan tidak tertangkap oleh citra satelit sebagai sawah pada periode sebelumnya,” ujar Sofyan.
Selain itu, Sofyan mengatakan, luas baku sawah pada penetapan 2018 berasal dari 16 provinsi yang sudah diverifikasi. Adapun penetapan pada 2019 telah memverifikasi luas baku sawah di 34 provinsi.
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa berpendapat, koreksi luas lahan baku sawah perlu disertai keterbukaan data konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang telah terjadi selama ini. Selain itu, data peralihan status kepemilikan lahan baku sawah dari petani kepada pihak-pihak yang bukan petani juga perlu ditinjau.
Menurut Dwi, dua data tersebut perlu menjadi bahan analisis koreksi data luas baku sawah karena merupakan faktor yang langsung memengaruhi. Teknologi citra satelit dan metode verifikasi merupakan faktor tidak langsung pada perubahan luas yang tertangkap pada data kuantitas.
Data lahan baku sawah juga berpengaruh pada anggaran pupuk subsidi. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Sarwo Edhy berencana akan mengajukan tambahan anggaran karena adanya koreksi data tersebut.
Sarwo mengatakan, saat ini anggaran pengadaan pupuk subsidi sebesar Rp 26,7 triliun. Koreksi data luas baku sawah menimbulkan adanya tambahan kebutuhan sebesar 600.000 ton pupuk subsidi dan setara dengan Rp 1,7 triliun.
Karena luas lahan baku sawah berubah, BPS turut mengoreksi produksi beras nasional dengan metode kerangka sampel area pada 2018. Produksi beras pada periode itu terkoreksi dari, 32,42 juta ton menjadi 33,94 juta ton.
Pada 2019, produksi beras diperkirakan mencapai 31,31 juta ton. Angka ini diperoleh dari produksi gabah kering giling (GKG) yang mencapai 54,6 juta ton dan nilai koversi dari GKG ke beras sebesar 64,02 persen.
Suhariyanto mengatakan, penurunan produksi beras tersebut disebabkan turunnya luas panen dari 11,38 juta hektar pada 2018 menjadi 10,68 juta hektar pada 2019. Penurunan luas panen merupakan imbas dari kekeringan yang terjadi pada 2019.
Menurut Suhariyanto, data produksi beras penting karena menjadi dasar pengambilan kebijakan pemerintah, utamanya untuk mengendalikan harga beras. Harga beras menjadi aspek yang sensitif pada inflasi dan kemiskinan. Data produksi beras itu berlandaskan luas lahan baku sawah. Karena itu, Suhariyanto mengharapkan pemutakhiran luas lahan baku sawah dilakukan selama tiga tahun sekali untuk meningkatkan akurasi dan relevansi.
Jangan terlena
Surplus produksi beras nasional pada 2018 pun turut terkoreksi dengan angka konsumsi 29,57 juta ton per tahun. Mulanya, nilai surplusnya sebesar 2,85 juta ton dan terkoreksi menjadi 4,37 juta ton.
BPS mendata, surplus beras nasional pada 2019 mencapai 1,53 juta ton. Dengan kata lain, angka konsumsi beras nasional sekitar 29,78 juta ton.
Meskipun demikian, Dwi berpendapat jangan terlena pada surplus produksi beras nasional karena ada faktor susut pada penyimpanan dan pengangkutan. Selain itu, surplus tersebut berasal dari kumulatif produksi bulanan dan tersebar secara spasial se-Indonesia.