Tingginya harga gula beberapa bulan terakhir dinilai turut dipicu oleh ulah para pemburu rente. KPPU menduga ada upaya membatasi suplai, kompetisi, dan menetapkan harga yang mengarah pada praktik kartel.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan adanya indikasi praktik kartel untuk membatasi suplai dan memainkan harga gula beberapa bulan terakhir. Harga tidak segera turun meski sejumlah langkah intervensi pasar ditempuh sebulan terakhir.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/5/2020), menyatakan, ada indikasi harga gula dimainkan bersama oleh pelaku usaha, seperti pabrik gula besar dan perusahaan importir gula.
Ia menyoroti margin keuntungan yang cukup tinggi. Harga pokok produksinya terhitung rendah, berkisar Rp 6.000 per kilogram, di pabrik yang paling efisien. Berdasarkan kajian KPPU, pelaku usaha swasta yang memiliki kebun tebu sendiri dan pabrik yang efisien mampu memproduksi gula dengan harga pokok berkisar Rp 6.000-Rp 9.000 per kg. Demikian pula importir yang mengolah gula mentah menjadi gula konsumsi.
”Keuntungan mereka semakin signifikan dengan harga pasar yang sangat tinggi saat ini. Kalau dibandingkan dengan harga pasar saat ini yang mencapai Rp 17.500 per kg, marginnya bisa mencapai 190 persen,” kata Guntur.
Namun, kenyataannya, harga gula tetap tinggi di pasaran dan terjadi merata di sejumlah daerah. Indikasi ini menunjukkan para pemburu rente gula tidak bergerak sendiri, tetapi bekerja sama untuk membatasi suplai, kompetisi, dan menetapkan harga demi mengeruk keuntungan besar lewat penetapan harga eksesif.
Harga rata-rata gula nasional, Rabu, 20 Mei, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, masih Rp 17.400 per kg. Angka itu jauh di atas harga acuan penjualan di tingkat konsumen yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp 12.500 per kg.
”Ini yang sedang didalami, apakah di balik kenaikan harga gula ada pricing bersama-sama dari pelaku usaha? Modusnya masih kami dalami, tetapi indikasinya kuat karena harga masih sama-sama di atas HET (harga eceran tertinggi), sementara pelaku usaha sudah mendapatkan harga yang cukup baik dengan kebijakan saat ini,” tutur Guntur.
Upaya yang dilakukan pemerintah, seperti pengamanan 300 ton gula yang disimpan sebuah distributor di Malang, Jawa Timur, oleh Kementerian Perdagangan, dinilai belum menyasar permainan besar.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengakui, berbagai upaya pemerintah untuk menambah pasokan gula dan menekan tingginya harga gula belum efektif karena ada ulah sejumlah distributor nakal. ”Modus kejahatan ini menyebabkan rantai distribusi gula terlalu panjang sebelum gula sampai ke pengecer. Kami akan menyelidiki lebih lanjut temuan ini sebelum dibawa ke ranah hukum untuk diberi sanksi,” ujarnya.
Distribusi
Sebelumnya, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sekaligus anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, berpendapat, berbagai relaksasi kebijakan yang diterapkan pemerintah di tengah pandemi memunculkan banyak pemain yang memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan. ”Dengan pemakluman pandemi, orang-orang sengsara, sementara sebagian berpesta pora,” katanya.
Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada pemain kecil, tetapi menyasar pemain besar yang bisa jadi memainkan modus serupa dengan margin keuntungan lebih besar dan kuantitas lebih banyak. ”Kebutuhan bulanan (gula nasional) 250.000 ton, sementara gula yang ditemukan dan (diduga) dimainkan baru 1.100 ton. Pelaku kakapnya masih beredar dan belum ketahuan,” ujarnya.
Khudori menyoroti distribusi gula dari delapan pabrik anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) yang mendapat tugas mengolah 250.000 ton gula rafinasi menjadi gula konsumsi. Realokasi itu ditempuh demi menstabilkan harga gula yang melonjak tinggi.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyatakan, target penjualan gula yang awalnya disepakati antara Aprindo dan AGRI terus turun, dari 145.000 ton menjadi 92.900 ton dan akhirnya 20.000-30.000 ton.
Pada 28 April 2020, AGRI menyanggupi menjual 145.000 ton gula olahan ke ritel anggota Aprindo. Namun, setelah diperiksa, 52.000 ton di antaranya sudah dibeli distributor dengan status pasokan barang masih berada di pabrik gula rafinasi selaku produsen.