Taperum-PNS memotong gaji PNS setiap bulan. Karena potongannya kecil, bantuan yang diterima tidak terasa. Akibatnya, banyak PNS tidak mengambil jatah untuk membeli rumah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang akan dilaksanakan pada 2021 menuai pro dan kontra. Kewajiban menjadi peserta Tapera dinilai membawa konsekuensi bagi pekerja dan perusahaan. Selain itu, dana Tapera itu akan digunakan untuk investasi membiayai kebutuhan anggaran negara.
Pelaksanaan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan ini, antara lain, mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera dan UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pekerja dengan penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta Tapera. Dana Tapera dibayar oleh pekerja atau buruh perusahaan sebesar 2,5 persen dari gaji atau upah, serta pemberi kerja 0,5 persen. Sementara pekerja mandiri menanggung sepenuhnya simpanan sebesar 3 persen.
Untuk tahap awal, pekerja yang wajib menjadi peserta Tapera adalah aparatur sipil negara (ASN). ASN eks peserta Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) ataupun ASN baru diwajibkan membayar iuran mulai Januari 2021. Tahap kedua, pada 2022-2023, lingkup kepesertaan diperluas mencakup pekerja di perusahaan badan usaha milik negara, daerah dan desa, serta TNI-Polri.
Tahap ketiga berlaku untuk pekerja swasta, sektor informal dan pekerja mandiri, paling lambat tujuh tahun sejak PP Tapera diberlakukan. Target peserta Tapera juga ditingkatkan, yakni tahun 2021 peserta Tapera dari ASN sebanyak 4,3 juta orang. Hingga 2024, jumlah peserta Tapera ditargetkan mencapai 13 juta pekerja.
Program perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah di Indonesia telah digulirkan sejak Orde Baru. Namun, jumlah rumah tangga yang belum bisa memiliki rumah masih tinggi. Hingga 2019, tingkat kekurangan (backlog) rumah mencapai 11,4 juta unit. Sementara laju kebutuhan rumah setiap tahun bertambah 800.000 unit seiring bertambahnya keluarga-keluarga baru.
Kekurangan rumah selama ini didominasi pekerja dengan penghasilan tidak tetap, yakni 85 persen dari total pekerja. Kelompok ini termasuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, pekerja informal, dan karyawan kontrak.
Hambatan klasik penyelesaian masalah perumahan di antaranya ketimpangan (mismatch) sumber dana perbankan yang bersifat dana jangka pendek dan mahal untuk membiayai kredit perumahan yang bersifat jangka panjang. Di samping itu, sulitnya pekerja tidak tetap (non-bankable) untuk mengakses pembiayaan, serta keterbatasan APBN untuk pembiayaan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Dana yang dihimpun Tapera disiapkan sebagai alternatif sumber dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan. Pembiayaan diperuntukkan bagi kelompok MBR berpenghasilan di kisaran Rp 4 juta-Rp 8 juta per bulan, serta pekerja berpenghasilan tidak tetap yang belum pernah memiliki rumah.
Di tengah tantangan backlog perumahan, Badan Pengelola Tapera berencana mengelola dana Tapera untuk investasi.
Pemanfaatan Tapera yang terbatas untuk pembiayaan perumahan membuat program itu tidak bisa sepenuhnya mengatasi kekurangan rumah di Indonesia. Sebab, persoalan backlog juga dialami segmen masyarakat menengah bawah yang sulit menjangkau kredit perbankan, tetapi tidak tergolong penerima bantuan subsidi rumah dari pemerintah.
Di tengah tantangan backlog perumahan, Badan Pengelola Tapera berencana mengelola dana Tapera untuk investasi. BP Tapera telah menunjuk 5 perusahaan manajemen investasi, berasal dari swasta dan afiliasi dengan BUMN, serta bank kustodian. Instrumen investasi yang dibidik berupa deposito, surat berharga negara (SBN), obligasi, dan saham perusahaan yang masuk kategori bluechip.
Pengelolaan dana Tapera untuk investasi menuai keraguan terkait efektivitas Tapera untuk mengatasi masalah perumahan. Pengelolaan dana rakyat untuk investasi juga menuai sorotan terkait transparansi dan pengawasan untuk mencegah penyimpangan.
Bagi sebagian kalangan, bergulirnya Tapera dinilai tidak pas di tengah dampak Pandemi Covid-19. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, melemahnya dunia usaha yang berimbas pada pemotongan gaji atau upah pekerja, pemungtan dana Tapera menambah beban keuangan pekerja. Di sisi lain, Tapera berpotensi tumpang tindih dengan manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan bagi pekerja peserta Jaminan Hari Tua di BP Jamsostek.
Pemerintah perlu becermin pada pengelolaan dana Taperum-PNS sejak tahun 1993 sampai dileburnya Taperum-PNS ke Tapera pada 2018. Taperum-PNS memotong gaji PNS setiap bulan. Karena potongannya kecil, bantuan yang diterima tidak terasa. Akibatnya, banyak PNS tidak mengambil jatah untuk membeli rumah. Sementara itu, PNS yang sudah pensiun juga cenderung sulit mencairkan Taperum karena prosedur yang dinilai berbelit, terutama untuk PNS di daerah.
Taperum-PNS memotong gaji PNS setiap bulan. Karena potongannya kecil, bantuan yang diterima tidak terasa. Akibatnya, banyak PNS tidak mengambil jatah untuk membeli rumah.
Upaya menghimpun dana pekerja dengan prinsip gotong royong, karyawan yang mampu membantu yang kurang mampu, harus memiliki tujuan yang fokus untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan dasar papan. Transparansi pemupukan dana pekerja menjadi penting agar tidak ada peserta Tapera yang dirugikan.
Di tengah kemajuan teknologi dan berkembangnya era digital, pengelolaan dana Tapera dituntut transparan. BP Tapera menjanjikan mengembangkan layanan lewat aplikasi digital pada 2022-2023, atau dua tahun setelah pelaksanaan Tapera. Sejatinya, aplikasi digital itu diterapkan sejak Tapera dimulai. Publik berhak mengetahui pemanfaatan dana sejak menjadi peserta.
Inilah pertaruhan dana rakyat. Pemerintah harus membuktikan kredibilitas pengelolaan dana itu dan membuktikan bahwa Tapera berikhtiar mengatasi kekurangan rumah rakyat, bukan sekadar untuk membiayai negara.