Jurnal Cantik Pelepas Emosi
Sebagian orang di masa kini barangkali sudah tak lagi menulis di atas kertas. Layar dan jempol ”menggantikan” kertas dan pena.
Sebagian orang di masa kini barangkali sudah tak lagi menulis di atas kertas. Layar dan jempol ”menggantikan” kertas dan pena. Namun, di tengah ketidakpastian dan keresahan semasa pandemi Covid-19 ini, menulis ampuh sebagai terapi. Terlebih menulis di buku jurnal yang apik.
Berawal dari hobi, dua sahabat, Made Anggiani Widyastiti dan Aida Nugroho, mencetuskan Bhvmi Notebook. Produk buku jurnal bersampul kulit dengan warna natural ini mengambil alam sebagai inspirasi. Desain simpel dengan langgam klasik menjadi keunikannya.
”Kami memang suka bikin kerajinan dan kebetulan juga suka jurnal. Awalnya hanya iseng, ketika mengantar ibu ke supermarket, di sebelahnya ada toko kulit. Saya beli setengah meter. Lalu, mau dibuat apa ya?” tutur Anggiani, Rabu (6/5/2020).
Baca juga : Serakan Corak ”Shibori”
Setelah mencari-cari dan berselancar di internet, keduanya sepakat membuat notebook alias buku jurnal. ”Awalnya jelek banget,” kenang Anggiani sembari tertawa.
Akhirnya mereka menemukan cara agar produk mereka semakin rapi. Mereka juga membuat purwarupa agar produknya memiliki standar yang sama.
Dari produksi lima jurnal, ditawarkan ke teman-teman, ternyata habis hari itu juga.
Mereka membuat lagi 10 jurnal, laris dalam tiga hari. Keduanya pun serius menekuni pembuatan buku jurnal dan menamainya Bhvmi (dibaca Bumi).
”Bhvmi dari bahasa Sanskerta. Kami mencari nuansa klasik lewat warna-warna natural. Bahkan, kami menamai produk dari nama kayu, seperti ebony dan walnut,” kata Anggiani.
Nama itu sesuai warna sampul kulit, yakni hitam (ebony), coklat tua (walnut), coklat karamel
(tawny), krem tua (mocca), dan krem (ivory). Ada tiga dimensi jurnal, yakni sketch size (15 sentimeter x 15 sentimeter), travel size (15 cm x 10 cm), dan pocket size (12 cm x 8 cm).
Baca juga : Nusantara dalam Kaleng Kulkas
Dalam satu buku terdapat dua macam kertas, book paper (90 gram) dan samson paper (80 gram). Menurut Anggiani, book paper berwarna putih, cocok untuk mereka yang senang menggambar. Jenis kertas ini juga tahan untuk cat air. Adapun samson paper yang berwarna coklat cocok untuk mereka yang senang menulis.
”Saya anak sastra, senang menulis. Teman saya anak arsitek, senang menggambar. Jadi, notebook itu bisa menjembatani dua minat,” ujar Anggiani.
Anggiani dan Aida memproduksi sendiri buku jurnal tersebut karena masih dalam skala kecil. Penjualan dilakukan secara daring lewat media sosial dan market place.
Christy Lestari (32) awalnya juga tidak paham soal teknik menjilid buku. Setelah melihat tutorial di Youtube tentang cara menjilid buku dengan metode jahit tangan, kala itu teknik coptic stitch, Christy lantas tertarik mencoba.
”Susah. Ribet. Tapi pas sudah jadi puas banget karena ada senses of achievement bisa membuat sesuatu. Dari situ akhirnya belajar teknik-teknik tangan lainnya,” ujar Christy yang memang menyukai segala hal yang terkait keterampilan tangan.
Selain dari Youtube, Christy juga mengikuti beberapa workshop menjilid buku dengan teknik jahit tangan.
Tahun 2017, Christy mulai menawarkan produknya yang didominasi teknik jahit tangan dengan nama Kurokineko Bindery. Untuk material cover, Christy memilih bahan carbon board dengan ketebalan 2 milimeter.
Baca juga : Rancak Jejak Dedaunan
Warna-warna yang dipilih adalah warna-warna minimalis. Ada juga yang bermotif polkadot dengan warna lembut atau warna monokromatik seperti hitam atau putih. ”Kebetulan enggak suka dengan warna-warna ngejreng,” kata Christy.
Untuk isiannya, Christy menggunakan book paper yang memiliki karakter ringan, juga tidak licin. Ukuran kertas yang dipakai adalah A5.
Hingga kini, penjualan lebih banyak dilakukan secara daring di media sosial dan di beberapa market place. Selain penjualan ready stock, Christy juga menerima pemesanan custom.
Ragam material
Pauline (29) yang mengusung merek buku jurnal dengan nama Palka Kreatif terjun ke dunia jilid buku karena senang mengeksplorasi material kertas dari sisa-sisa tugas kuliahnya di Jurusan Arsitek. Sisa-sisa kertas itulah yang mula-mula dia jilid sendiri.
Pauline mempelajari teknik menjilid, khususnya teknik menjahit dengan tangan, melalui Youtube. Ia merasa tertantang untuk mencoba mempraktikkan teknik-teknik tersebut satu per satu.
Hasil karyanya lalu dia berikan kepada teman dan sahabatnya sebagai kado. Ternyata kemudian banyak yang tertarik untuk memesan. Selama 1,5 tahun, Pauline yang kala itu masih bekerja di sebuah kantor arsitek melayani pesanan kecil-kecilan. ”Kalau ada yang pesan satu, dibikin. Tahun 2015 saya resign dan serius di craft,” kata Pauline.
Pada produk-produk Palka, Pauline konsisten menerapkan sejumlah teknik menjilid dengan jahitan tangan, seperti coptic stitch atau jilid jahit kepang, long stitch binding untuk material kulit, saddle stitch dan chain stitch. Adapun untuk materialnya, Pauline menggunakan kayu jati bekas bongkaran tiang bangunan yang diproses rustic, kanvas, kain eco print, kertas daur ulang dari campuran pelepah pisang dan kulit bawang putih, eksplorasi jejak daun, kain tie dye, hingga kulit sapi.
Untuk isiannya, Pauline menggunakan kertas daur ulang buatan Finlandia yang, menurut dia, bisa memenuhi dua kebutuhan sekaligus, yaitu menggambar dan mencatat/menulis. Ada juga pilihan dengan kertas daur ulang handmade, tetapi hanya bisa untuk kebutuhan mencatat saja. Pilihan lainnya adalah kertas lokal, samson paper.
”Dulu awalnya, semua kebutuhan material dikerjakan sendiri. Dua tahun terakhir, kami melibatkan beberapa artisan untuk berkolaborasi. Seperti pada produk eco print dan tie dye,” tutur Pauline. Untuk bahan kertas daur ulang, Pauline memberdayakan para ibu di lokasi sekitar workshop di Kampung Minggiran, Yogyakarta selatan.
Sebelum pandemi, jangkauan pasar Palka cukup luas. Yang konsisten adalah pasar Bali, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Tiga tahun terakhir, Palka juga mengekspor produk mereka ke pasar Eropa meski masih lewat distributor.
”Rata-rata jumlah pesanan masih di bawah 500. Kecuali ada mass order, bisa di atas 500 buah. Tapi kami memang berusaha menjaga agar kami tetap menjadi mikro-industri saja, supaya kenikmatan proses mengeksplorasi tidak hilang,” terang Pauline.
Sejak pandemi, pesanan mengalami cukup banyak penurunan, apalagi toko ritel yang ada di Bali juga tutup. ”Sekarang mengandalkan penjualan online. Bisa pre-order atau ready stock,” kata Pauline yang berharap kondisi segera membaik seperti sedia kala.
Berdasarkan penelitian, kegiatan menulis atau menggambar di jurnal (journaling) dapat meningkatkan kreativitas, rasa percaya diri, dan mindfulness. Kegiatan journaling bahkan dikaitkan dengan tingkat IQ yang tinggi, sekaligus kemampuan untuk meredakan stres, seperti yang rentan dialami di masa pandemi seperti ini.
Yuk, kita nulis jurnal lagi!