Mahasiswa Punya Waktu Tiga Semester Kembangkan Diri di Luar Program Studi
Kebijakan yang memberi ruang bagi mahasiswa mengembangkan diri di luar program studinya jadi satu dari empat reformasi perguruan tinggi yang diluncurkan Menteri Nadiem Makarim. Reformasi ini diberi nama ”Kampus Merdeka”.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan kebijakan yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri di luar program studinya, selama tiga semester. Kebijakan ini dinilai jadi angin segar untuk pengembangan mahasiswa, sekaligus selaras dengan tren perguruan tinggi dunia yang mendorong kolaborasi antardisiplin ilmu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan bertajuk ”Kampus Merdeka” di Jakarta, Jumat (24/1/2020). Setidaknya ada empat reformasi perguruan tinggi yang akan diterjemahkan dalam bentuk peraturan menteri.
Melalui kebijakan tersebut, mahasiswa akan mendapat kesempatan belajar di luar program studi (prodi) selama tiga semester. Hal ini ditujukan agar mahasiswa nantinya benar-benar siap menghadapi dunia kerja. Diharapkan mereka tidak hanya berkompetensi dalam satu bidang keilmuan.
”Tidak ada profesi yang menggunakan satu rumpun ilmu saja. Mayoritas sarjana saat ini berkarier di tempat yang berbeda dengan jurusannya,” katanya.
Kebijakan ini hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang berminat. Mahasiswa yang tetap ingin mengikuti perkuliahan sepenuhnya dalam prodi tetap dipersilakan.
Program belajar di luar prodi selama tiga semester tersebut tetap dihitung sebagai satuan kredit semester (SKS) sehingga tidak menambah beban waktu perkuliahan mahasiswa. Yang bisa dilakukan selama masa itu ialah praktik kerja, mengajar di sekolah, penelitian, studi/proyek jangka pendek, pertukaran pelajar, wirausaha, hingga membantu proyek desa.
”Persetujuan bisa diberikan oleh rektor dan Kemendikbud. Waktu tiga semester tidak harus berurutan, bisa diselingi dengan perkuliahan kelas,” ujarnya.
Menurut Nadiem, dengan sistem ini, kualitas lulusan sarjana tidak hanya ditentukan oleh perguruan tinggi. Baik atau tidaknya lulusan sebuah prodi turut dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti pihak swasta atau organisasi masyarakat.
Ia mengungkapkan, tidak sedikit perusahaan yang siap membuka diri dan menerima mahasiswa dalam praktik kerja ini. Sebab, waktu 6 bulan hingga 1,5 tahun dinilai ideal bagi mahasiswa untuk berkontribusi secara produktif bagi perusahaan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Nizam mengatakan, prodi yang termasuk dalam bidang kedokteran menjadi pengecualian pada kebijakan ini. Sebab, dikhawatirkan pembebasan tiga semester bagi mahasiswa bidang kesehatan dapat memengaruhi kompetensi mereka.
”Profesi dokter, misalnya, membutuhkan kompetensi yang sangat baku. Waktu lima tahun saja dinilai belum cukup untuk memenuhi itu,” ujarnya.
Rektor IPB University Arif Satria berpendapat, kebijakan ini menjadi angin segar bagi pengembangan mahasiswa. Keleluasaan tiga semester bagi mahasiswa harus dimanfaatkan dengan program yang bisa menunjang karier di masa depan.
”Mahasiswa komputer, misalnya, bisa mengambil mata kuliah di luar prodinya untuk memperkuat kompetensi. Transdisiplin ilmu telah menjadi keniscayaan,” lanjutnya.
Menurut Arif, hal yang sama sudah diterapkan Universitas Waterloo, Kanada. Mahasiswa di sana melakukan praktik kerja selama empat semester. Selama praktik, mahasiswa menjalin kuliah jarak jauh dengan dosen secara daring.
”Tren perguruan tinggi dunia saat ini mendorong kolaborasi antardisiplin ilmu. Hal ini bisa dilakukan melalui proyek desa dan semacamnya sehingga mahasiswa didorong turun ke lapangan,” katanya.
Prodi baru
Kebijakan lainnya berkaitan dengan prodi baru dalam perguruan tinggi. Selama ini, persyaratan dan kriteria membuka prodi baru cukup rumit. Ke depan, perguruan tinggi yang hendak membuka prodi baru akan dipermudah asalkan memenuhi sejumlah ketentuan.
Perguruan tinggi berakreditasi A dan B akan mendapatkan izin langsung untuk membuka prodi asalkan memiliki kerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud adalah perguruan tinggi kelas dunia, organisasi nirlaba kelas dunia, BUMN dan BUMD, serta 100 universitas teratas versi QS World University Rankings.
”Kami ingin ada kolaborasi nyata antara perguruan tinggi dan pihak luar. Jika itu bisa terjalin, kami hanya akan wajibkan registrasi untuk pendaftaran prodi baru,” ujar Nadiem.
Dua reformasi lain yang dipaparkan Nadiem berkaitan dengan persyaratan akreditasi dan status perguruan tinggi negeri. Proses akreditasi ke depan hanya diterapkan bagi perguruan tinggi yang membutuhkan, sedangkan yang ingin melakukan reakreditasi bisa dilakukan secara otomatis.
Dengan begitu, perguruan tinggi yang benar-benar membutuhkan akreditasi ataupun meningkatkan akreditasinya bisa menjadi prioritas. Sebab, selama ini antrean mengurus akreditasi bisa mencapai bertahun-tahun. Belum lagi, dosen sering dibebankan pada urusan administrasi ketika akan mengurus akreditasi.
”Hampir 20 persen permintaan akreditasi tidak bisa dipenuhi pada tahun yang sama sehingga perguruan tinggi harus menunggu bertahun-tahun,” kata Nadiem.
Kendati demikian, proses monitor perguruan tinggi akan diperketat. Ada dua alasan yang bisa digunakan pemerintah untuk melakukan akreditasi ulang sewaktu-waktu kepada prodi ataupun perguruan tinggi. Pertama, adanya keluhan dari masyarakat. Kedua, berdasarkan data yang menunjukkan penurunan kualitas. Hal ini dimaksudkan agar kualitas perguruan tinggi tetap terjaga.
Adapun untuk status perguruan tinggi, Nadiem akan mendorong agar lebih banyak lagi muncul perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH). Saat ini, baru ada 11 PTN BH di Indonesia, sisanya merupakan PTN satuan kerja (satker) dan PTN badan layanan umum (BLU).
”Persyaratan menjadi PTN BH akan dipermudah, bahkan akan dibantu. Bagi yang mau jadi PTN BH, kami komitmen untuk tidak menurunkan subsidi pemerintah. Jadi tidak ada kerugiannya,” kata Nadiem.
Menanggapi kebijakan Kemendikbud tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan, Selasa (28/1/2020) depan, Komisi X akan mengundang Mendikbud Nadiem Makarim.
”Nantinya, Mendikbud akan menyampaikan konsep ini di DPR. Mestinya, sebelum diluncurkan, harus disampaikan dulu ke DPR karena menyangkut kebijakan publik dan anggaran,” ujarnya.
Dede menyoroti, ada beberapa gagasan yang dinilai positif dan mengadopsi kebijakan dari luar negeri. Meski begitu, ia mempertanyakan kesiapan implementasi kebijakan ini. ”Karena ini merombak sesuatu yang besar. Perlu dipastikan, siapkah SDM di bawah Kemendikbud,” katanya.