Diapit China dan Korsel, Bagaimana Korut Tangani Penyebaran Virus Covid-19?
Warga pendatang, diplomat, atau anggota perwakilan negara asing yang tinggal di Korut paling sengsara akibat kebijakan isolasi. Pelancong wajib mengisolasikan diri selama 30 hari di penginapan mereka di negara itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Sebuah pengumuman terpampang di laman Koryo Tours, operator perjalanan yang berbasis di Beijing, China, Jumat (21/2/2020). Pengumuman itu menyatakan, lomba lari jarak jauh Pyongyang Marathon batal diselenggarakan.
”Pembatalan ini terjadi karena pemerintah setempat memutuskan untuk menutup perbatasannya menyusul perkembangan penyebaran virus Covid-19 di China dan wilayah lain yang meluas,” demikian isi pengumuman itu.
Pengumuman tersebut tidak hanya dirilis di laman Koryo Tours. Pengumuman yang sama juga disampaikan Young Pioneer Tours, operator perjalanan yang mengkhususkan diri dalam mengatur perjalanan ke negara-negara terisolasi dengan anggaran yang terjangkau.
Menurut rencana, sebenarnya lomba lari jarak jauh Pyongyang Marathon akan diselenggarakan pada April 2020. Pelaksanaan lomba tersebut bertepatan dengan perayaan kelahiran Kim Il Sung, pendiri Korea Utara yang lahir pada April 1912.
Ajang tahunan itu rupanya menarik para pencinta lari dari seluruh dunia. Selain biayanya pendaftaran yang murah, hanya 150 dollar AS (sekitar Rp 2 juta), kesempatan mencari keringat dengan berlari di sebuah negara yang terisolasi tersebut memiliki daya tarik tersendiri.
Tahun lalu, sekitar 1.000 peserta dari luar negeri ikut serta dalam ajang itu. Penyelenggara berharap jumlah peserta bertambah karena ajang ini diharapkan menjadi salah satu cara Pemerintah Korut menambah pundi-pundi penghasilannya dari sektor pariwisata.
Namun, harapan itu sirna. Pemerintah Korea Utara menunda penerbangan dari dan ke luar negeri, perjalanan kereta api, serta melarang turis asing masuk ke negara tersebut. Menyebarnya virus Covid-19 di Korea Selatan, yang terpusat di Daegu Gyeongsangbuk-do, yang berjarak 431 kilometer barat laut Pyongyang, membuat Pemerintah Korea Utara bersiaga dengan menutup perbatasannya.
Meroketnya jumlah warga Korea Selatan, yang terinfeksi virus Covid-19, membuat Pemerintah Korut menutup perbatasan mereka. Pesan-pesan pemerintah dan departemen kesehatan negara itu agar warga menjaga kesehatan diri dan lingkungan masing-masing disampaikan melalui pengeras suara yang ada di tepi-tepi jalan, atau melalui saluran radio, televisi, dan media yang dikuasai oleh pemerintah negara tersebut.
Bahkan, mobil-mobil pemerintah yang dilengkapi dengan pengeras suara berkeliling untuk mengingatkan warga tentang pentingnya menjaga ketahanan tubuh dan kebersihan dirinya sebagai penangkal awal penyebaran virus Covid-19. Pemerintah Korea Utara mengklaim bahwa negara mereka bebas dari virus Covid-19 yang mematikan itu.
Warga pendatang paling sengsara dengan langkah ”isolasi” tersebut, begitu juga para diplomat atau anggota perwakilan negara lain yang tinggal di Korea Utara. Para pendatang atau pelancong, baik lokal maupun asing, diwajibkan mengisolasi diri di rumah atau penginapan selama 30 hari ke depan sejak kedatangan di negara tersebut.
Para pendatang atau pelancong, baik lokal maupun asing, diwajibkan mengisolasi diri di rumah atau penginapan selama 30 hari ke depan sejak kedatangan di Korea Utara.
Warga asing, yang tinggal di negara itu, lebih ”menderita” lagi dengan kebijakan isolasi diri tersebut. Mereka sudah diwajibkan mengisolasi diri sejak awal Februari lalu.
Kegiatan diplomatik distop
Seorang diplomat Rusia menggambarkan situasi ini sebagai penghancuran moral. Alexander Matsegora, anggota perwakilan diplomatik Rusia, yang dikutip kantor berita TASS, mengungkapkan bahwa semua kegiatan diplomatik ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan, termasuk rapat, percakapan, atau negosiasi dengan Pemerintah Korea Utara atau perwakilan negara lain yang ada di Korut.
Kontak atau rapat hanya bisa dilakukan melalui telepon atau berkirim surat melalui kotak surat khusus. Akses ke dokter atau rumah sakit, atau fasilitas yang menyediakan obat-obatan, juga dibatasi.
”Satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan adalah membuang sampah ke tempat khusus. Itu pun, ketika kembali ke kompleks atau kantor kedutaan besar, ada petugas khusus yang menyemprotkan disinfektan ke truk atau kendaraan yang baru kembali,” kata Matsegora.
Pemerintah Korea Utara sejauh ini mengklaim bahwa negara mereka terbebas dari penyebaran Covid-19 yang semula berpusat di Wuhan, China. Mengisolasi diri menjadi kunci ketiadaan penyebarluasan virus tersebut di Korea Utara.
Pemerintah Korea Utara mengklaim bahwa sistem kesehatan publik dan pelayanan kesehatan publiknya memiliki kualitas yang sama bagusnya seperti di negara-negara maju. Namun, para pengamat meragukan klaim tersebut.
Dalam sebuah program berita NK News, Tae-il Shim, seorang pembelot Korea Utara, mengatakan bahwa warga Korea Utara memperoleh pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik pada era 1970-an hingga 1980-an ketika negara itu dipimpin Kim Il Sung. Hasil penelitian Universitas John Hopkins tentang indeks kesehatan global menempatkan Korea Utara memperoleh nilai 17,5. Negara tersebut berada pada peringkat ke-193 dari 195 negara yang disurvei.
Kelemahan sistem kesehatan dan pelayanan kesehatan di Korea Utara, berdasarkan penelitian tersebut ada pada fasilitas laboratorium yang sama, sangat besar. Korea Utara hanya mendapatkan nilai 16,7 dari rata-rata 54,4 dari seluruh negara yang disurvei.
Begitu juga dengan kesiapsiagaan yang hanya mendapatkan nilai 11,3 dari rata-rata 38,4. Korea Utara mendapatkan nilai nol untuk respons darurat pelayanan kesehatan, pengujian rencana kedaruratan, dan operasi kedaruratannya.