Nyaris Jadi Sasaran Roket, Sirene Kedubes AS di Baghdad Berbunyi Kencang
Suara ledakan roket yang menyasar rumah kosong dekat kompleks Kedubes AS di Baghdad, Irak, itu membuat sirene di kompleks Kedubes AS berbunyi kencang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BAGHDAD, SELASA — Sebuah roket menghantam rumah kosong di dekat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Baghdad, Irak, Selasa (19/5) pagi. Tidak ada korban jiwa dalam serangan yang diduga hendak menyasar kompleks kedutaan.
Suara ledakan roket tersebut bisa terdengar hampir di seluruh wilayah Baghdad. Suara gelegar roket yang menghantam bangunan rumah di wilayah zona hijau itu, yang juga merupakan zona dengan pengamanan yang ketat, membuat sirene di kompleks Kedubes AS berbunyi kencang.
Serangan roket tersebut sudah sering terjadi terhadap objek vital AS di Irak sejak Oktober lalu. Serangan demi serangan terjadi setelah Pemerintah AS menuding adanya faksi pendukung rezim Iran di dalam tubuh militer Irak.
Serangan-serangan sebelumnya telah menewaskan tentara AS, Inggris, dan tentara Irak sendiri. Perkembangan situasi yang semakin tidak stabil itu telah membuat hubungan Washington dan Baghdad menegang.
Puncaknya adalah ketika militer AS melakukan penyerangan menggunakan pesawat nirawak pada Januari lalu, yang menewaskan petinggi militer Iran Jenderal Qasem Soleimani dan pemimpin Hasheed (milisi Syiah Irak) Abu Mahdi Al Muhandis. Kematian Soleimani juga memicu ketegangan di kawasan Timur Tengah.
Ketegangan antara Washington dan Baghdad diharapkan akan menurun karena Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Irak Mustafa Al Khademi telah membuka dialog setelah terbentuknya pemerintahan baru Irak. Keduanya pun direncanakan akan mengadakan pertemuan bilateral, Juni 2020, di Washington.
Pertemuan Trump dan Khademi yang baru saja menjadi PM Irak itu nantinya diharapkan bisa memastikan sebuah kerangka baru kehadiran pasukan AS di Irak. Pasukan AS telah berada di wilayah itu sejak 2014 ketika AS memimpin koalisi untuk menyerang kelompok teror Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Walau demikian, kehadiran militer AS dengan seluruh sistem pertahanannya di Irak membuat ketegangan baru dengan Iran dan sekutunya di Irak. Mereka menginginkan AS segera keluar dari Irak.
Hari Minggu (17/5/2020), Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kembali menekankan keinginannya agar AS segera keluar dari Irak dan Suriah. ”Pemerintah AS dan militernya harus keluar dari Irak dan Suriah serta harus diusir,” kata Khamenei.
Hingga saat ini, pasukan koalisi pimpinan AS telah menarik pulang 7.500 anggotanya dari Irak pada tahun ini. Penarikan ini karena, menurut penilaian intelijen, ancaman NIIS semakin menurun dan meluasnya pandemi Covid-19 di negara ini.
Meski ada pengurangan pasukan, AS menempatkan sistem pertahanan rudal Patriot mereka di sejumlah pangkalannya di Irak. Empat batalyon Patriot dan perlengkapannya akan ditempatkan antara lain di Ain Al-Asad dan Arbil, Irak.
Bom bunuh diri
Meski Pemerintah Afghanistan sudah melangkah lebih maju dalam menyelesaikan konflik di antara para petingginya, di lapangan, kekerasan bersenjata kembali terjadi pada Senin (18/5/2020) pagi.
Sebuah bom yang diletakkan di sebuah kendaraan militer curian meledak di markas intelijen di kota Ghazni, Afghanistan. Serangan itu mengakibatkan sembilan anggota militer tewas serta puluhan lainnya terluka. Delapan anggota yang terluka dikabarkan dalam kondisi kritis.
Juru bicara kelompok Taliban, Zabihullah Mujahid, menyatakan, mereka bertanggung jawab atas serangan itu. Serangan ini adalah balasan atas pernyataan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, pekan lalu.
Ghani menyatakan, militer negara itu akan bertindak ofensif pascakekerasan bersenjata di rumah sakit bersalin di Baghdad dan sebuah acara pemakaman seorang komandan pasukan milisi pro-pemerintah di luar ibu kota.
Kekerasan demi kekerasan terus menghantui Afghanistan, yang di atas kertas seharusnya sudah bisa menikmati perdamaian setelah penandatanganan kesepakatan damai di Doha, Qatar, 29 Februari lalu.
Namun, Direktur Keamanan Nasional Afghanistan Ahmad Zia Saraj menilai Taliban tidak pernah benar-benar menyambut perdamaian. Sebaliknya, mereka tetap berkomitmen melanjutkan kekerasan.
Sikap pemerintahan bersama Ghani dan Abdullah terkait kekerasan yang terjadi ini belum secara spesifik disampaikan. Namun, Abdullah dalam serangkaian cuitannya di media sosial pribadi menyebutkan, tidak boleh satu pun individu atau kelompok orang yang bisa memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan.
”Saya berjanji untuk bekerja sebaik mungkin dengan semua pihak,” ujarnya. (AFP/AP)