Kebuntuan AS-Rusia Bisa Memicu Perlombaan Senjata Nuklir Baru
Hilangnya saluran komunikasi utama antara Rusia dan AS berpotensi menyebabkan perlombaan senjata nuklir baru. Keduanya paling bertanggung jawab karena memiliki lebih dari 90 senjata nuklir dunia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
STOCKHOLM, SENIN — Kebuntuan komunikasi negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat dan Rusia, dapat memicu perlombaan modernisasi senjata nuklir di dunia. AS-Rusia paling bertanggung jawab karena keduanya memiliki lebih dari 90 senjata nuklir, dari total yang ada di dunia saat ini.
Lembaga Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), yang merilis hasil penelitian mereka, Senin (15/6/2020) di Stockholm, Swedia, menyatakan, negara-negara berkekuatan nuklir terus memodernisasi persenjataan mereka.
Dalam laporan terbarunya SIPRI memperingatkan bahwa ketegangan semakin meningkat. Prospek pengendalian dan pengawasan senjata nuklir pun bisa semakin suram ke depannya.
”Hilangnya saluran komunikasi utama antara Rusia dan AS berpotensi menyebabkan perlombaan senjata nuklir baru,” kata Shannon Kile, Direktur Program Pengendalian Senjata Nuklir SIPRI.
Kile merujuk pada masa depan pemberlakuan Perjanjian Pelucutan Senjata Strategis (START) Baru antara AS dan Rusia, yang berakhir pada Februari 2021. ”Diskusi untuk memperpanjang START Baru atau untuk merundingkan perjanjian baru tidak membuat kemajuan pada 2019,” catat para peneliti SIPRI.
Menurut catatan Kompas, perjanjian yang diteken pada 8 April 2010 dan mulai berlaku pada 5 Februari 2011 itu adalah kesepakatan nuklir final AS-Rusia.
Kesepakatan tersebut bertujuan mempertahankan persenjataan nuklir mereka di bawah tingkat Perang Dingin, di mana jumlah peluncur rudal nuklir strategis akan dikurangi hingga separuhnya.
Pada saat yang sama, kekuatan nuklir lainnya terus memodernisasi senjata mereka. Hal itu antara lain dilakukan China dan India, di mana keduanya terpantau meningkatkan ukuran persenjataan mereka.
”China berada di tengah modernisasi yang signifikan dari rudal nuklirnya. Negara itu sedang mengembangkan apa yang disebut triad nuklir untuk pertama kalinya, yang terdiri dari rudal darat dan laut baru serta pesawat berkemampuan nuklir,” kata SIPRI.
China telah berulang kali menolak desakan Washington bergabung dalam pembicaraan pengurangan senjata nuklir di masa depan.
Jumlah hulu ledak nuklir dilaporkan menurun dalam satu tahun terakhir. Pada awal 2020, AS, Rusia, Inggris, China, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara bersama-sama memiliki 13.400 senjata nuklir.
Menurut perkiraan SIPRI, jumlah itu turun 465 dari posisi awal 2019. Penurunan ini terutama disebabkan penurunan di atau oleh otoritas AS dan Rusia.
Sementara masa depan perjanjian START Baru masih belum pasti, Washington dan Moskwa terus menghormati kewajiban mereka berdasarkan perjanjian tersebut. ”Pada 2019 kekuatan kedua negara itu tetap di bawah batas yang ditentukan oleh perjanjian itu,” kata laporan itu.
”Namun, kedua negara itu memiliki program yang luas dan mahal yang sedang berlangsung untuk mengganti dan memodernisasi hulu ledak nuklir mereka, sistem pengiriman rudal dan pesawat terbang, dan fasilitas produksi senjata nuklir,” demikian kata laporan tersebut.
SIPRI menyatakan, kedua negara itu juga telah memberikan peran baru atau memperluas pengembangan senjata nuklirnya. Hal itu diletakkan dalam rencana dan doktrin militer mereka. Hal itu dinilai menandai pembalikan signifikan dari tren pasca-Perang Dingin menuju marginalisasi senjata nuklir secara bertahap.
Perjanjian tentang Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), landasan dari rezim non-proliferasi nuklir global, merayakan ulang tahun ke-50 tahun ini. Jumlah senjata nuklir di seluruh dunia telah menurun sejak mencapai puncaknya hampir 70.000 pada pertengahan 1980-an.
Lima kekuatan nuklir, yakni Washington, Beijing, Moskwa, Paris dan London, pada Maret menegaskan kembali komitmen mereka terhadap perjanjian tersebut.
”Hari ini, 50 tahun kemudian, kami merayakan kontribusi tak terukur yang dibuat oleh perjanjian penting ini bagi keamanan dan kemakmuran bangsa-bangsa dan bangsa-bangsa di dunia,” kata menteri-menteri luar negeri kekuatan nuklir dalam sebuah pernyataan bersama, Maret lalu.
”Kami menegaskan kembali komitmen kami untuk NPT dalam semua aspeknya.” Para menlu itu menekankan ”kontribusi tak terukur yang dibuat oleh perjanjian penting ini untuk keamanan dan kemakmuran bangsa-bangsa dan bangsa-bangsa di dunia” sejak diberlakukan pada 5 Maret, 1970, dua tahun setelah penandatanganannya.
Para menlu itu juga menyatakan, NPT telah memberikan landasan penting bagi upaya internasional untuk membendung ancaman yang membayangi, dulu dan sekarang, bahwa senjata nuklir akan berkembang biak di seluruh dunia. Dengan demikian, NPT telah melayani kepentingan semua pihak.
Mereka menggarisbawahi dukungan mereka untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk ”peran kritisnya dalam implementasi NPT, baik untuk mempromosikan kerja sama semaksimal mungkin mengenai penggunaan energi nuklir secara damai maupun untuk menerapkan pengamanan dan memverifikasi bahwa program nuklir sepenuhnya damai”. (AFP)