Merasakan Denyut Sidang PBB, Diplomasi Sepenting Itu Cukup di Bilik Sempit
Sebelum kami berangkat ke New York, Amerika Serikat, pertengahan September lalu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir menyampaikan, agenda Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu ”Olimpiade”-nya pertemuan multilateral. Mirip Olimpiade sesungguhnya di arena olahraga yang melibatkan hampir seluruh negara di dunia dengan cabang olahraga yang bermacam-macam, ujar Tata–demikian sapaan akrabnya–Sidang Umum PBB juga demikian.
Banyak sekali agenda sidang atau pertemuan antarnegara di luar agenda sidang yang ditetapkan PBB. ”Ibu Menteri sendiri saja dijadwalkan memiliki 70-an pertemuan bilateral, di luar agenda sidang PBB dan pertemuan multilateral lainnya. Saya sarankan, kalian pakai sepatu yang nyaman untuk mondar-mandir ke sana kemari,” kata Tata, merujuk agenda Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dalam briefing di Kementerian Luar Negeri, kira-kira satu pekan sebelum keberangkatan ke New York.
Dalam hubungan internasional, pertemuan multilateral digelar melalui forum pertemuan atau konferensi yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga negara. Pembahasan pada pertemuan multilateral bersifat terbuka dan, pada beberapa isu, bisa juga melibatkan aktor non-negara, seperti organisasi nonpemerintah. Adapun pertemuan bilateral merupakan pertemuan diplomatik di antara dua negara secara formal. Dalam diplomasi bilateral, dikenal istilah side diplomacy atau kontak diplomatik di antara delegasi dua negara di sela-sela penyelenggaraan pertemuan multilateral.
Perlu diketahui, ada empat kantor PBB di seluruh dunia, yakni markas besar di New York, AS; Geneva, Swiss; Vienna, Austria; dan Nairobi, Kenya. Sidang Umum PBB ini berlangsung untuk edisi ke-72 di markas besar di New York pada 12-28 Oktober. Selama lebih dari dua pekan itu, setumpuk agenda sidang telah disusun, termasuk debat umum yang menampilkan pidato dan orasi para kepala negara selama sepekan penuh (19-25 Oktober).
Dalam Sidang Umum PBB kali ini, harian Kompas mengirim dua wartawan. Satu bersama rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla, satu lagi bersama rombongan Menlu Retno LP Marsudi. Seperti pada liputan ajang-ajang internasional lainnya, hal pertama dan paling utama adalah kartu akreditasi liputan. PBB mengeluarkan beberapa tipe akreditasi untuk media dan menetapkan sejumlah persyaratan untuk mendapatkannya. Namun, mengingat liputan kali ini bersama rombongan wapres dan menlu, kartu akreditasi itu telah diurus Kemlu melalui Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York.
Jangan membayangkan, meski ini liputan forum bergengsi seperti ”Olimpiade”, kartu akreditasi yang dikeluarkan PBB terlihat luks dan mentereng. Kartu akreditasi itu hanyalah kartu kecil berbahan mika, berwarna biru polos, dengan lebar kurang dari setelapak tangan orang dewasa. Perlu dicatat juga, kartu akreditasi ini masih belum cukup untuk mengikuti sejumlah sidang atau pertemuan di PBB. Untuk meliput langsung sidang-sidang dan pertemuan, dibutuhkan kartu tambahan yang diperoleh dari petugas bidang media PBB.
Kesibukan sejak di bandara
Kesibukan sudah terlihat saat kami tiba di Bandar Udara Internasional John F Kennedy (JFK), New York, Minggu (17/9) sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Saat itu, sedang berlangsung gelombang kedatangan tamu dari penjuru dunia. Demam adanya pertemuan besar di New York sudah terasa sejak di Bandara JFK. Untuk memperlancar masuknya orang, pengelola bandara membuat jalur khusus bagi delegasi sidang umum dengan warga biasa.
Di luar bandara, puluhan orang berdemonstrasi membentangkan poster memprotes kehadiran Perdana Menteri Banglades terkait penanganan krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar. Kedatangan ribuan tamu dalam waktu yang bersamaan berdampak pada meningkatnya kepadatan kendaraan dari arah Bandara JFK ke pusat kota. Tersebar papan pengumumam elektronik di tepi jalan utama, berisi imbauan agar warga menggunakan kendaraan umum: ”UN Week. Use Public Transportation”.
Selamat datang di ”Big Apple”, salah satu kota tersibuk di dunia....
Bagi delegasi Indonesia, masa persidangan di Markas Besar PBB merupakan masa perjuangan politik luar negeri Indonesia di panggung dunia. Setiap delegasi yang hadir membawa kepentingan negaranya masing-masing. Delegasi Indonesia pada sidang umum kali ini–untuk ketiga kalinya pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo–kembali dipimpin Wapres Jusuf Kalla. Wapres menginap di kawasan Third Avenue dan 42nd Street, sekitar 700 meter dari Markas PBB.
Delegasi Indonesia lainnya, di bawah Kemlu, bermarkas di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB di 325 East 38th Street. Dari Markas Besar PBB, kira-kira hanya 500 meter. Menlu Retno, Kepala PTRI Dian Triansyah Djani, dan diplomat lain yang datang dari Jakarta menginap di kantor itu. Di lantai 6 kantor itu tersedia beberapa ruangan yang dijadikan tempat bekerja sekaligus tempat menginap para diplomat.
Selama mengikuti agenda sidang, Kalla memilih berjalan kaki menyusuri trotoar yang terpelihara baik. Hal serupa dilakukan delegasi lain yang menginap tidak jauh dari Markas Besar PBB. ”Lebih efektif dan lebih cepat jalan kaki. Saat sidang umum berlangsung, banyak ruas jalan menuju kantor PBB ditutup,” ujar salah seorang diplomat yang bertugas di kantor PTRI untuk PBB.
Berangkat subuh
Kesibukan di Markas Besar PBB memuncak pada Selasa (19/9) hingga Kamis. Hari Selasa itu merupakan pembukaan sesi debat sidang umum. Banyak orang penasaran, bagaimana Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato dalam debutnya di sesi debat umum sidang PBB. Sehari sebelumnya, Erma Rheindrayani Siswowaluyo–diplomat di PTRI New York yang menangani wartawan–berkata, ”Besok, kita berangkat pukul 05.30.”
Hahh! Mendengar itu, kami semua melongo. Di New York, jam itu masih subuh.
Namun, suka atau tidak suka, kami memang harus berangkat subuh. Hal ini memang tak lepas dari faktor Trump yang menjadi magnet pada sidang umum tahun ini. Sebagai pemimpin AS, ia bisa diibaratkan juga menjadi semacam tuan rumah meski Markas Besar PBB dalam dunia diplomasi dikenal sebagai area ekstrateritorial (hukum nasional AS tidak berlaku khusus di area PBB). Hal ini berdampak pada penjagaan keamanan yang lebih ketat dari biasanya.
Sesuai jadwal, acara sesi debat umum dibuka pada pukul 09.00. Meski tempat penginapan kami hanya berjarak kurang dari 1 kilometer, kami harus berangkat subuh sekitar pukul 05.30. Hari masih belum terang benar. Ternyata, pada jam sepagi buta itu, orang sudah berduyun-duyun menuju Markas Besar PBB. Kehidupan kota New York, terutama di sekitar Markas PBB, sudah berdenyut dan bahkan sudah ”Siaga I”.
Perjalanan menuju Markas Besar PBB, meskipun dekat, harus melewati berlapis-lapis barikade petugas keamanan. Lapis pertama kami lewati di Second Avenue dan 46th Street. Antrean sudah memanjang sekitar 100 meter, terdiri dari jurnalis dan delegasi. Mereka tertahan masuk karena kartu identitas sebagian mereka belum lengkap atau tidak ada pemandu yang mendampingi. Peranan pemandu sangat penting untuk memperlancar pergerakan selama persidangan berlangsung. Tanpa mereka, petugas gabungan dari Secret Service dan Kepolisian New York (NYPD) tak akan mengizinkan masuk.
Lolos dari barikade pertama merupakan awal dari perjalanan melewati berlapis-lapis penjagaan berikutnya. Perjalanan masih ”jauh” karena banyak pintu penjagaan yang harus dilewati, tergantung seberapa luas pergerakan jurnalis. Masih ada dua lapis penjagaan di luar gedung, yang pada lapis kedua kami harus melepas sabuk, jam tangan, jas atau jaket, serta mengeluarkan barang-barang elektronik. Kami melihat rekan jurnalis dari negara lain hanya mengenakan kaus dan sepatu olahraga. Datang dengan pakaian seperti itu tidak dipersoalkan petugas selama memiliki kartu akreditasi.
Setelah masuk gedung Markas Besar PBB, pergerakan orang tidak bisa leluasa. Kami bisa memahami karena, pada hari itu, seluruh pemimpin dunia, baik setingkat kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, atau pimpinan delegasi sedang bertemu di tempat yang sama. Jika harus buang air kecil ke toilet pun, kami wajib melalui pemeriksaan standar. Tidak bisa ditolak.
”Ini konsekuensi yang harus kami terapkan. Kami bertanggung jawab menjaga keamanan selama agenda sidang berlangsung,” kata Anak Agung Permana, polisi senior PBB asal Indonesia.
Saking seringnya melewati penjagaan, seorang anggota rombongan Sekretariat Wapres mengalami putus kulit sabuknya. Untuk sementara, pria yang bertugas memotret kegiatan Wapres Jusuf Kalla itu bekerja tanpa sabuk. Namun, hikmah dari kejadian itu, dia tidak terlalu repot melepas ikat pinggang saat melewati pintu penjagaan yang berlapis-lapis. Sebab, tak ada lagi sabuk yang melingkar di pinggangnya.
Dari ruangan ke ruangan
Selama persidangan berlangsung, kegiatan di kompleks Markas Besar PBB berada dari ruangan ke ruangan, seperti ruang sidang Majelis Umum, ruang sidang Dewan Keamanan, ruang pertemuan Dewan Ekonomi dan Sosial, ruang pertemuan bilateral, ruang Trusteeship Chamber, Qatar Lounge, Indonesia Lounge, dan lain-lain.
Ruang sidang umum Majelis Umum adalah ruangan tempat pertemuan multilateral tahunan. Di sanalah kepala negara, kepala pemerintahan, pimpinan delegasi, pejabat setingkat kementerian bertemu. Di ruang itu pula mereka mendapat kesempatan berpidato. Perdebatan antardelegasi biasa terjadi di ruangan ini. Pernyataan kontroversial, kritik pedas, atau retorika sengit dalam pidato bisa ditanggapi delegasi negara lain, yang diistilahkan dengan right of reply (hak memberikan tanggapan).
Wartawan bisa mengikuti jalannya debat umum setelah mendapatkan tiket, semacam kartu pas yang fotonya terpajang pada bagian atas tulisan ini. Wartawan mendapat tempat duduk di balkon lantai 4, menghadap ke podium dan tempat duduk pimpinan sidang. Pada dinding sisi kiri-kanan ruangan itu terdapat ruangan kaca. Di situlah terdapat bilik-bilik tempat tim penerjemah dan fotografer bekerja. Dalam sidang-sidang PBB, tersedia penerjemahan ke dalam enam bahasa: Inggris, Arab, China, Perancis, Rusia, dan Spanyol.
Oiya, ada ruangan Indonesia Lounge di PBB. Bagaimana bisa ada ruangan itu. Ceritanya, ruangan khusus ini dikenal sebagai salah satu ruangan favorit untuk pertemuan. Selama masa persidangan berlangsung, ruangan ini dipakai sebagai tempat jamuan makan pagi oleh Sekjen PBB kepada kepala negara atau kepala pemerintahan. Nama Indonesia disematkan untuk ruangan itu sejak Presiden Soekarno memberikan hadiah untuk PBB berupa patung dari Bali. Karena patung itu perlambang kedamaian dan kesejahteraan, ruangan itu kemudian dikenal sebagai Indonesia Lounge.
Ruangan yang tidak kalah penting adalah ruang sidang Dewan Keamanan PBB. Di ruangan ini pengamanan sama ketatnya. Setiap kursi yang duduki hadirin harus jelas dari mana dan dalam kompetensi apa dia duduk di sana. Kompas mendapat kesempatan melihat suasana sidang di Dewan Keamanan PBB itu dari bilik pemotretan, Rabu (20/9).
Saat itu, Indonesia mendapat kesempatan menyampaikan pandangannya tentang reformasi pasukan perdamaian PBB. Sebelum menyampaikan pandangan, Jusuf Kalla duduk di kursi tunggu di ruangan itu juga. Hal ini karena kursi yang akan diduduki delegasi Indonesia masih digunakan delegasi dari Afrika Selatan yang dipimpin Presiden Jacob Zuma. Kalla baru menduduki kursi untuk Indonesia setelah Jacob meninggalkan ruangan.
Lantaran pentingnya dokumentasi peristiwa, sama seperti di ruangan sidang Majelis Umum PBB, di kiri kanan ruang sidang Dewan Keamanan, disediakan bilik-bilik berdinding kaca. Selain untuk juru foto, bilik-bilik itu disediakan untuk juru kamera video dan penerjemah ke dalam bahasa Inggris, Arab, China, Perancis, Rusia, dan Spanyol. Mereka biasanya sudah siap lebih dahulu sebelum persidangan dimulai.
Di luar ruangan sidang badan-badan utama PBB terdapat ruangan-ruangan khusus tempat pejabat teras PBB berkantor, seperti ruangan kerja Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres (asal Portugal), ruangan kerja Presiden Majelis Umum PBB Miroslav Lajčák (asal Slowakia). Di sela-sela sidang umum tahun ini, Menlu Retno berkesempatan bertemu secara khusus dengan dua pejabat teras PBB itu. Lobi-lobi seperti ini penting, terutama Indonesia saat ini tengah berjuang mencalonkan diri menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020.
Bilik diplomasi
Selama berlangsung sidang umum lalu, ada salah satu tempat tersibuk di Markas PBB, yakni ruang pertemuan bilateral. Ruangan ini sebenarnya ruangan sementara. Ruangan itu berupa bilik-bilik persegi empat setinggi sekitar 2 meter. Luas setiap bilik sekitar 4 meter x 4 meter dengan lampu yang temaram. Ada 28 bilik ruang bilateral yang disediakan di lantai dasar Markas PBB.
Di ruangan bilik itulah isu-isu penting menyangkut hubungan antarnegara dibicarakan. Saat berlangsung pertemuan bilateral, area itu terlihat sangat sibuk. Pejabat negara-negara anggota PBB berseliweran dan lalu lalang dari satu bilik ke bilik lainnya. Karena hanya berupa bilik dengan sekat, suara pembicaraan dalam pertemuan di bilik sebelah kadang terdengar.
Setiap delegasi boleh memesan ruangan itu untuk pertemuan bilateral, baik setingkat kementerian maupun tingkat kepala negara atau kepala pemerintahan. Wapres Jusuf Kalla juga memanfaatkan ruangan ini untuk bertemu dengan Ratu Maxima dari Belanda yang juga sebagai Penasihat Khusus Sekjen PBB Bidang Keuangan Inklusif. Di bilik-bilik itu pula, Menlu Retno membicarakan isu-isu bilateral dengan mitranya dari negara lain, termasuk meyakinkan agar negara mitra itu mendukung pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Jangan bandingkan bilik-bilik itu dengan ruangan-ruangan tempat pertemuan bilateral di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta. Dalam hal itu, fasilitas yang disediakan Indonesia untuk pertemuan bilateral saat menggelar konferensi internasional jauh lebih unggul. ”Jika di Jakarta, pasti penyelenggara acara dimarahi pemerintah yang menggunakan ruangan. Namun, di sini, orang sudah biasa memakai ruang sederhana untuk pertemuan bilateral,” kata Fiki, pegawai Kemlu yang mendampingi Wapres Jusuf Kalla.
Gedung PBB memang tergolong ”sempit” untuk pertemuan sekelas sidang umum yang dihadiri delegasi dari 193 negara anggota PBB. Tidak ada ruang yang bisa dimanfaatkan, kecuali membuat ruangan sementara untuk bilateral. Hiruk-pikuk kesibukan ini memungkinkan siapa saja yang hadir di gedung itu bertemu sosok-sosok penting. Pertemuan bisa terjadi di kantin, di ruang sidang, di lorong, di lift, di perpustakan, atau di ruang lain.
Kompas sempat kaget saat bertemu Malala Yousafzai, perempuan muda Pakistan peraih Nobel Perdamaian tahun 2014. Pertemuan itu terjadi di antara Third-Second Avenue dan 46th Street di tepi jalan raya, di depan sebuah hotel, Kamis (20/9) pagi. Saat itu, Malala berjalan cepat menuju Markas PBB didampingi dua lelaki.
”Malala!” seru Kompas. Dia pun menoleh dan menghentikan langkahnya. Kami bersalaman dan mengenalkan diri. Kompas berniat ingin foto bersama, tetapi sayang pengawal Malala tidak mengizinkan karena harus memburu waktu.
Tidak hanya Malala, selain pemimpin dunia, selama Sidang Umum PBB ke-72 juga hadir pesohor lain, seperti pemain film dan Miss World tahun 2000 asal India Priyanka Chopra. Dinamika kegiatan di Markas PBB telah memberi arti penting bagi ”Big Apple”, julukan kota New York. Karena keberadaannya, New York semakin sah disebut sebagai kota global, tempat berkumpulnya orang dari sejumlah negara.