Pangkalan Ojek Daring Menjadi Kebutuhan dan Masalah
›
Pangkalan Ojek Daring Menjadi ...
Iklan
Pangkalan Ojek Daring Menjadi Kebutuhan dan Masalah
Tempat perhentian sementara sangat diperlukan oleh pengendara ojek daring untuk beristirahat sejenak dan menunggu penumpang. Namun, lokasi perhentian sementara yang tidak tertata sering menimbulkan kemacetan. Pihak perusahaan alpikasi harus menyediakan tempat perhentian bagi para mitranya.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
Pada suatu sudut di Jalan Raya Daan Mogot, Jakarta Barat, seorang pengemudi ojek daring tiba-tiba menepi. Ia menuju ke deretan sepeda motor yang terparkir di pinggir jalan. Ia tampak bergegas turun dari motornya, kemudian merebahkan tubuh pada tikar yang tergelar di trotoar.
Ridwan (30), nama panggilan pengemudi itu tertera di jaketnya. Ia kelelahan karena telah mengemudi sejak pukul 06.00. Setelah berjam-jam berada di jalan hingga pukul 15.00, menepi ke pinggir jalan menjadi pilihannya untuk beristirahat.
"Seringkali kalau sudah capek, nggak kepikiran tempat lain selain di pinggir jalan. Pokoknya kalau lihat ada ojek daring yang lagi minggir ramai-ramai, saya langsung merapat ke sana," tuturnya.
"Mangkal" di pinggir jalan, menurut Ridwan, adalah tempat yang paling praktis untuk beristirahat. Saat mendapat penumpang, ia bisa langsung jalan lagi untuk mengejar setoran.
Dengan "mangkal" di pinggir jalan, ia dapat mengejar jumlah perjalanan sebanyak 18 kali. Dalam sehari, ia mengejar target perjalanan sebanyak 18 hingga 20 kali agar mendapat uang sekitar Rp 300.000 hingga Rp 350.000. Pendapatannya belum dipotong dari pihak aplikator sebesar 20 persen.
Naryo (50), pengemudi ojek daring di Stasiun Pesing, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, juga mengandalkan “mangkal” untuk kejar setoran. Dengan “mangkal” di stasiun Pesing, ia dapat memenuhi jumlah perjalanan sebanyak 20 hingga 23 kali.
Kebiasaan “mangkal” Naryo dan Ridwan ini mewakili perilaku pengemudi ojek daring yang sering ditemui di jalan. Bila melihat kembali di sekeliling kita, di tepi jalan, di taman kota, bahkan di stasiun, pengemudi ojek daring seenaknya “mangkal” kapan pun, di mana pun.
Tahun ini, Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat. Dalam aturan itu, terutama dalam Pasal 8 huruf c, disebutkan bahwa perusahaan aplikasi harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap mitra pengemudi terkait kepatuhan dan keselamatan berlalu lintas.
Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Massdes Arouffy mengatakan, dengan adanya peraturan tersebut, sudah semestinya disediakan tempat pemberhentian khusus di titik lokasi rawan kemacetan. Bila mengacu pada peraturan yang berlaku, Massdes mengatakan bahwa fasilitas tersebut semestinya disediakan oleh pihak perusahaan aplikasi.
Jumat (3/5/2019) lalu, Massdes mengatakan, Dishub DKI Jakarta akan menyurati dan memanggil pihak perusahaan aplikasi untuk segera memenuhi kewajiban mereka. Ia berharap, kawasan seperti stasiun didukung adanya lahan untuk pemberhentian ojek daring.
Titik pemberhentian
Vice President Corporate Affairs Go-jek, Michael Reza Say, dalam keterangan tertulis mengatakan, pihak Go-jek telah menyediakan shelter di sejumlah pusat perbelanjaan, area perkantoran, area residensial, universitas, dan juga stasiun KRL. Hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan pihak pengelola bangunan.
Selain itu, pihak perusahaan aplikasi Grab juga membuat titik peristirahatan bagi pengemudi mitra Grab. Fasilitas yang bernama Grab Lounge itu menyediakan akses internet gratis, gerai makanan murah, serta tempat ibadah. Managing Director Grab Ridzki Kramadibrata mengatakan, fasilitas tersebut bertujuan untuk memberikan relaksasi kepada mitra pengemudi.
Walau tersedia sejumlah fasilitas untuk mitra pengemudi, Ridwan yang merupakan pengemudi mitra Grab, merasa bahwa fasilitas ini membuat produktivitasnya berkurang. Fasilitas semacam titik peristirahatan, menurut dia, mengurangi jumlah perjalanan yang ditempuh dalam sehari.
“Saya akhirnya jarang lagi datang ke sana, karena kalau sudah istirahat bawaannya jadi malas. Susah untuk ngejar jumlah perjalanan sampai 20 kali kalau mangkal di sana,” ungkapnya.
Kepala Bidang Angkutan Jalan Suku Dinas Perhubungan Jakarta Barat Muhammad Husen mengatakan, kebiasaan “mangkal” pengemudi ojek daring perlu segera ditertibkan. Hal ini karena kehadiran mereka menimbulkan simpul kemacetan pada pagi dan sore hari.
“Bila mengacu pada peraturan, ojek daring sebenarnya bukan angkutan umum. Keberadaan mereka hanya menjadi transportasi yang sekadar mampir di lokasi, lalu menjemput penumpang. Jadi, setiap ada kemacetan yang ditimbulkan oleh kepadatan ojek daring, sudah semestinya ditertibkan,” ucap Husen.