Percepat Perhutanan Sosial, Dana dan Pendampingan Warga Dioptimalkan
›
Percepat Perhutanan Sosial,...
Iklan
Percepat Perhutanan Sosial, Dana dan Pendampingan Warga Dioptimalkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan melibatkan petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk mempercepat realisasi perhutanan sosial di sejumlah daerah. Penyaluran dana operasional akan didekonsentrasikan ke daerah sehingga kerja petugas penyuluh dan pendamping di lapangan lebih optimal.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KAYU AGUNG, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan melibatkan petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk mempercepat realisasi perhutanan sosial di sejumlah daerah. Penyaluran dana operasional akan didekonsentrasikan ke daerah sehingga kerja petugas penyuluh dan pendamping di lapangan lebih optimal.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto saat mengunjungi Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (29/6/2019). Desa ini merupakan satu dari 104 kawasan yang mendapatkan izin perhutanan sosial di Sumsel.
Bambang menuturkan, berdasarkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial, target kawasan perhutanan sosial di Indonesia mencapai 13,8 juta hektar. Dari jumlah tersebut, izin yang terealisasi sekitar 3,1 juta hektar dan tersebar di 5.856 lokasi. ”Untuk itu, upaya percepatan perlu dilakukan,” katanya.
Bambang mengakui, selama ini, lambannya proses pemberian izin disebabkan keterbatasan dana dan pendampingan kepada masyarakat di kawasan hutan yang belum optimal. Untuk itu, upaya jemput bola melalui penyuluhan dan pendampingan akan terus digiatkan.
Salah satunya, dengan melibatkan petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di daerah untuk menjadi pendamping. ”Karena petugas KPH yang paling mengerti kondisi dan memiliki akses hutan di daerahnya,” ucap Bambang.
Selama ini, pendampingan dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial dan sejumlah penyuluh. ”Dengan keterlibatan petugas KPH, tentu hasilnya akan lebih optimal,” kata Bambang.
Nantinya, penyuluh dan pendamping dari Pokja Percepatan Perhutanan Sosial serta petugas KPH akan melakukan pendampingan mulai dari pembuatan pengajuan izin perhutanan sosial hingga pembuatan rencana kerja umum (RKU). Dengan begitu, diharapkan masyarakat dapat mengelola kawasan perhutanan sosial secara optimal. ”Keberadaan RKU juga untuk mempermudah penerima izin mendapatkan bantuan modal,” ujarnya.
Lambannya proses pemberian izin disebabkan keterbatasan dana dan pendampingan kepada masyarakat di kawasan hutan yang belum optimal. Untuk itu, upaya jemput bola melalui penyuluhan dan pendampingan akan terus digiatkan.
Dengan konsep ini, lanjut Bambang, diharapkan realisasi pemberian izin perhutanan sosial dapat dipercepat. ”Tahun ini, kami menargetkan penerbitan izin pada 50.000 hektar lahan di kawasan yang masuk program perhutanan sosial,” katanya.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya mengungkapkan, konsep perhutanan sosial berperan penting menurunkan angka kemiskinan terutama warga di kawasan hutan. Hal ini sejalan dengan visi Pemerintah Provinsi Sumsel untuk menurunkan angka kemiskinan dari 12,82 persen pada September 2018 menjadi satu digit pada lima tahun pemerintahan.
Hanya saja, diperlukan petunjuk teknis yang jelas terkait metode pendampingan kepada masyarakat sehingga tujuan pemerintah pusat tepat sasaran. Petunjuk teknis juga diperlukan agar Pokja dan KPH mengetahui tugas mereka secara rinci dan lebih bertanggung jawab di lapangan.
”Kalau tidak ada aturan teknis yang jelas, saya khawatir, petugas lapangan akan bekerja setengah hati,” kata Mawardi.
Petunjuk teknis penugasan di lapangan, menurut Bambang, saat ini sedang diusulkan. Beberapa hal yang ditekankan, semua petugas pendamping dan penyuluh akan mendapatkan dana operasional dan juga insentif. ”Nantinya, pengelolaan dana operasional tidak lagi tersentralisasi, tetapi akan didekonsentrasikan (dilimpahkan) ke daerah,” ucapnya.
Apalagi, Sumsel sudah memiliki peraturan daerah yang memungkinkan APBD digunakan untuk pengembangan perhutanan sosial, yakni Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2018. ”Skema ini baru dilakukan di tiga provinsi, yakni Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tengah,” ujarnya.
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Tjahjanto mengatakan, di Sumsel, dari 361.897 hektar lahan yang ditargetkan masuk program perhutanan sosial, baru keluar 104 izin yang meliputi lahan 101.821 hektar. Untuk itu, diperlukan proses percepatan dengan melibatkan 14 KPH di Sumsel. ”Tidak hanya percepatan, tetapi juga untuk kegiatan pascaizin,” ucapnya.
Tidak hanya petugas KPH, mahasiswa pun akan dilibatkan untuk melakukan pendampingan kepada penerima izin di kawasan hutan. Salah satunya, dengan melibatkan mahasiswa kehutanan turut serta mendampingi masyarakat penerima izin perhutanan sosial.
”Pendampingan ini akan mulai dilakukan pada 2020 dengan skema KKN (Kuliah Kerja Nyata) tematik,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Rinekso Soekmadi.
Peran mahasiswa ini diharapkan juga akan membantu masyarakat untuk mengelola komoditas hasil hutannya dalam pemikiran milenial.
Menurut dia, peran mahasiswa ini diharapkan juga akan membantu masyarakat untuk mengelola komoditas hasil hutannya dalam pemikiran milenial. Saat ini ada 68 perguruan tinggi dengan program studi dan fakultas kehutanan, dengan 45 cukup aktif.
Perguruan tinggi diharapkan dapat menerjunkan mahasiswanya untuk turut membantu pelaksanaan perhutanan sosial yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat. ”Dengan pendampingan ini, diharapkan masyarakat dapat menerima nilai ekonomi serta pasar yang memadai,” kata Rinekso.