Trotoar, yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, kini seolah beralih fungsi menjadi lokasi dagang.
Oleh
Antonius Purwanto/Litbang Kompas
·4 menit baca
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di Ibu Kota ibarat dua sisi koin yang saling berlawanan. Di satu sisi dibutuhkan masyarakat. Di sisi lain bisa menimbulkan persoalan bagi pejalan kaki, kelancaran lalu lintas, hingga estetika kota. Penataan pedagang sektor informal itu penting dilakukan guna menjawab kedua hal tersebut.
Trotoar, yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, kini seolah beralih fungsi menjadi lokasi dagang. Pedagang kaki lima (PKL) tampak memadati trotoar di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, kawasan Kota Tua, Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, dan Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang. PKL mengais rezeki di atas jalur pejalan kaki, menawarkan makanan-minuman, sayur, buah, pakaian, hewan peliharaan, hingga alat elektronik.
Padahal, kegiatan berdagang dilarang dilakukan di trotoar, jembatan penyeberangan orang, halte, dan badan jalan berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Penguasaan trotoar yang menyebabkan gangguan ini terancam pidana penjara paling lama satu tahun dan denda hingga Rp 24 juta. Selain itu, menurut Perda DKI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, fasilitas pejalan kaki tidak digunakan sebagai aktivitas ekonomi.
Hasil jajak pendapat Kompas akhir Juni lalu mencatat beberapa penilaian responden terkait dengan sejumlah faktor penyebab menjamurnya kembali PKL di Ibu Kota. Harga sewa lapak resmi yang mahal bagi kantong PKL adalah salah satu sebabnya. Hal itu dinyatakan oleh mayoritas responden (37 persen).
Sebagai perbandingan, harga kios resmi dengan luas 6 x 8 di Pasar Tanah Abang Blok G mencapai Rp 75 juta per tahun. Sementara lahan pinggiran jalan di kawasan yang sama disewakan dengan harga Rp 550.000 hingga Rp 1 juta per bulan (Kompas, 22/1/2019).
Ketersediaan ruang berjualan yang terbatas menjadi faktor lain, seperti dinyatakan oleh hampir 27 persen responden. Saat ini, PKL yang terdata dan dibina oleh Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan DKI Jakarta baru sekitar 21.000 dari 80.000 PKL. Itu berarti selebihnya menjadi PKL ”liar”.
Di sisi lain, jumlah PKL diperkirakan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Lemahnya pengawasan aparat terhadap PKL dipandang oleh hampir seperempat bagian responden sebagai faktor lain menjamurnya jumlah PKL liar.
Dalam banyak kasus, petugas giat melakukan pengawasan hanya di awal penertiban. Alhasil, PKL akan kembali berjualan saat petugas pergi. Petugas tidak bisa selamanya berjaga karena keterbatasan anggaran.
Keberadaan PKL yang berjualan di trotoar, badan jalan, hingga jembatan penyeberangan dipandang negatif oleh warga Jabodetabek. Sebanyak 42 persen responden menyebut okupasi PKL kerap mengakibatkan ruas jalan menyempit dan memicu kemacetan lalu lintas.
Sementara 35 persen responden lainnya menyebutkan, PKL yang menggelar dagangannya di trotoar menghalangi pejalan kaki. Pejalan kaki sering kali memilih untuk berjalan di badan jalan dengan risiko tertabrak kendaraan karena jalurnya dipenuhi PKL.
Sebagian kecil responden lain mengungkapkan, banyaknya PKL akan berdampak pada wajah kota yang kurang enak dipandang mata. PKL cenderung untuk tidak membersihkan kembali lokasi berdagang setelah aktivitasnya selesai. Tatanan kota akan tampak terkesan tidak rapi dan kotor dengan kehadiran PKL ”liar”.
Penataan kembali
Keberadaan PKL yang banyak berjualan di trotoar dan badan jalan tersebut membuat mayoritas responden (93 persen) sepakat jika pemerintah menata kembali pedagang informal tersebut. Ada sejumlah saran pengaturan PKL yang diungkapkan. Sebanyak 85 persen responden menyarankan pemerintah untuk merelokasi PKL dengan menyediakan tempat legal dengan harga terjangkau.
Persoalan PKL di trotoar akan sulit diatasi kalau belum ada solusi yang jelas terkait dengan lokasi baru berjualan.
Lokasi resmi semestinya berada di tempat yang strategis sehingga konsumen mudah untuk berbelanja dan dekat dengan lokasi lama. PKL pada dasarnya membutuhkan tempat berjualan legal sehingga mereka tenang berjualan.
Pemerintah juga bisa memperbanyak zona khusus bagi PKL di tempat-tempat keramaian. Zona khusus ini bisa diberlakukan sepanjang hari atau pada jam-jam tertentu. Namun, zona khusus PKL ini tidak sampai memicu kemacetan atau merampas hak pejalan kaki.
Pemerintah juga bisa memperbanyak zona khusus bagi PKL di tempat-tempat keramaian. Zona khusus ini bisa diberlakukan sepanjang hari atau pada jam-jam tertentu. Namun, zona khusus PKL ini tidak sampai memicu kemacetan atau merampas hak pejalan kaki.
Tak kalah penting, 8 persen responden menekankan ketegasan pemerintah menetapkan larangan bagi PKL berdagang di tempat ilegal serta memberi pengawasan berkesinambungan. Ketegasan bisa berupa pemberian sanksi bagi PKL liar. Menggusur PKL dengan ganti rugi juga diusulkan mencari cara lain penataan oleh sebagian kecil responden.
Masyarakat banyak berharap pola pembenahan PKL tersebut bisa direalisasikan oleh pemerintah DKI. Harapan tersebut ditunjukkan dengan optimisme hampir 65 persen warga pada upaya pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penindakan tegas PKL liar.
Pemerintah pada 2013 telah menata PKL Tanah Abang, Pasar Minggu, dan Jatinegara dengan menempatkannya kembali di sejumlah Lokasi Binaan. Selain itu, PKL yang berjualan di tempat ilegal kena denda Rp 100.000.
PKL berhak mendapat tempat untuk terus menjaring rezeki. PKL sebagai kekuatan ekonomi informal berperan dalam menyediakan lapangan kerja mandiri. Kini tugas pemerintah untuk memastikan hak itu dilindungi tanpa merugikan pihak lain.