Oknum Jaksa Sering Tekan Pejabat, APIP Harus Menjadi ”Macan”
›
Oknum Jaksa Sering Tekan...
Iklan
Oknum Jaksa Sering Tekan Pejabat, APIP Harus Menjadi ”Macan”
Korupsi oleh anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Pusat dan Daerah diduga jamak terjadi. Ombudsman menilai, perlu ada perbaikan mekanisme kerja antara TP4 Pusat dan Daerah dengan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP).
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi oleh anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Pusat dan Daerah diduga jamak terjadi. Ombudsman menilai, perlu ada perbaikan mekanisme kerja antara TP4 Pusat dan Daerah dengan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP).
Perbaikan mekanisme kerja tersebut memungkinkan adanya fungsi saling kontrol antarkedua badan tersebut untuk mencegah terjadinya korupsi.
”Saya mendukung program TP4 Pusat dan Daerah. Namun, harus ada perbaikan sistem yang membuat APIP dapat menjadi ’macan’ dalam pemerintah daerah ketika ada anggota TP4 yang meminta uang,” kata anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, Kamis (22/8/2019), di Jakarta.
Ia berpandangan, dengan sistem bersifat ad hoc, peran pengawalan oleh jaksa dalam program TP4 memang memungkinkan adanya interaksi intens antara jaksa dan pemilik proyek. Kewenangan jaksa dalam menyidik dan menuntut pun terindikasi dapat menekan pejabat daerah.
Dalam kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini, ada dua jaksa sebagai tersangka penerima suap terkait lelang proyek Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta tahun anggaran 2019. Proyek tersebut adalah lelang pekerjaan rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo, Yogyakarta, dengan pagu anggaran Rp 10,89 miliar.
Kedua jaksa yang ditetapkan sebagai tersangka ialah Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta sekaligus anggota TP4D, dan Satriawan Sulaksono, jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta.
Eka menerima suap Rp 221,74 juta dari Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri (Mataram) Gabriella Yuan Ana. Perusahaan itu akan ”dimenangkan” dalam lelang proyek di Dinas PUPKP Kota Yogyakarta 2019.
Preman berseragam
Adrianus menilai, kasus ini dapat menjadi satu koreksi bagi Kejaksaan Agung untuk membuat mekanisme baru. Harus ada pelapis atau supervisor dalam interaksi antara jaksa dan pemilik proyek untuk mencegah terjadinya korupsi.
”Kami menduga, dengan metode pengawalan, jaksa bisa melihat proyek ini sebagai proyek perahan. Bayangkan, saya sudah mengawal, mana dong tanda terima kasihnya? Begitu pula dengan pemda yang karena sudah merasa dikawal oleh ’preman berseragam’ (oknum jaksa), kemudian dia cenderung tidak hati-hati dan bersedia memberi jatah preman tadi,” tutur Adrianus.
Ombudsman pun telah menyurati Jaksa Agung untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi antara TP4 dan APIP. Dengan begitu, kedua badan ini akan saling mengunci dan mengontrol ketika ada oknum yang nakal.
”Kalau ini berjalan, ketika jaksa minta duit, APIP akan menegur. Memang tetap ada kemungkinan di lapangan bahwa APIP juga terlibat korupsi. Untuk itu, sosialisasi mengenai fungsi dan peranan TP4 kepada APIP harus lebih digalakkan,” ujar Adrianus.
Dalam ruang lingkup fungsi TP4 sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 14 Tahun 2016, disebutkan bahwa salah satu fungsinya adalah melakukan koordinasi dengan APIP dan atau instansi terkait. Koordinasi dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan, dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha, menyampaikan, pembentukan TP4 memang sudah sedari awal menimbulkan celah korupsi baru. Sebab, peran jaksa sebagai pengawal proyek dari awal tidak akan menindak ketika terjadi penyimpangan.
Akibatnya, dapat tercipta ruang interaksi antarpihak berkepentingan dengan TP4. Tentu TP4 sangat ditakuti karena memiliki jaksa, juga memiliki kewenangan penindakan. Ruang inilah yang dimainkan oleh oknum jaksa dalam kasus proyek gorong-gorong Pemerintah Kota Yogyakarta.
Yuris menegaskan, Kejaksaan Agung harus melakukan evaluasi secara terbuka dalam menilai program TP4 yang ada sejak 2015. ”Kalau memang ada yang positif, itu bagus, tetapi harus adil juga ketika ada banyak yang justru menjadi masalah. Ini yang menjadi bahan, apakah perlu dilanjutkan atau tidak,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani juga menyayangkan adanya pengusaha yang terlibat dalam kasus ini. Dia menilai, jaksa dan pengusaha saling memiliki kepentingan yang pada akhirnya membuka peluang korupsi.
Menurut Hariyadi, kebanyakan pengusaha yang tergabung dalam Apindo menghindari proyek-proyek pembangunan yang melibatkan unsur pejabat negara ataupun aparat penegak hukum. Hal ini untuk menghindari terlibatnya pengusaha dalam korupsi.
”Anggota saya (para pengusaha profesional) kebanyakan enggak main di situ (proyek-proyek pembangunan). Kami sudah malas yang kaya gitu, apa-apa ujungnya malah kena korupsi,” ujar Hariyadi.