JAKARTA, KOMPAS - Polemik belum ditandatanganinya Naskah Perjanjian Hibah Daerah di sebagian provinsi dan kabupaten/kota sebagai dasar pengucuran anggaran untuk pelaksanaan Pilkada serentak 2020 memasuki babak baru. Gubernur setempat telah diminta oleh Kementerian Dalam Negeri untuk turut membantu dan memfasilitasi penyelesaian sebagian permasalahan tersebut.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syarifuddin saat dihubungi pada Selasa (22/10/2019) mengatakan, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan surat keputusan mengenai hal tersebut. Surat keputusan itu berisi antara lain meminta gubernur setempat selaku wakil pemerintah pusat di daerah agar dapat memfasilitasi serta memberikan bantuan yang dibutuhkan.
“(Sehingga) Kalaupun (sejumlah pemerintah daerah) kami panggil ke Jakarta, tidak banyak lagi (yang harus diselesaikan), kalau memang tidak selesai di provinsi,” kata Syarifuddin.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi dalam keterangan tertulis pada Selasa (22/10/2019) menyampaikan, hingga saat ini masih ada 18 daerah yang belum memiliki NPHD dengan KPU. Adapun NPHD bagi Bawaslu, tercatat belum ada di 42 daerah.
Adapun 18 daerah itu terbagi menjadi dua wilayah provinsi yakni Sumatera Barat dan Sulawesi Utara dan 16 kabupaten/kota. Masing-masing kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Serdang Bedagai, Simalungun, Solok, Solok Selatan, Tanahdatar, Indragiri Hulu, Bengkulu Selatan, Lebong, Manggarai, Kepulauan Selayar, Pengkejene Kepulauan, Kepulauan Aru, Buru Selatan, dan Manokwari Selatan. Selain itu, ada pula Kota Solok dan Manado.
Syarifuddin menambahkan, berdasarkan pengalaman tiga kali penyelenggaraan pilkada serentak, sejumlah daerah yang sebelumnya berproses sangat alot, pada akhirnya menyepakati juga anggaran bagi penyelenggara pemilu. Ia menambahkan, tarik menarik kepentingan yang membuat pembahasan NPHD di sejumlah daerah menjadi alot. Hal itu juga disebabkan oleh ketidakpahaman masing-masing pihak. Ia menjelaskan, sebagian dari 18 daerah yang belum menyepakati NPHD dengan KPU telah dipanggil ke Jakarta.
Kesepahaman, imbuh Syarifuddin, sudah dicapai. Dalam beberapa hari ke depan, NPHD dari masing-masing daerah tersebut akan ditunggu.
Pada intinya, imbuh Syarifuddin, sebagian daerah yang belum memiliki NPHD dikarenakan posisi kepala daerah yang masih di luar negeri. Selain itu masih adanya sebagian daerah yang mengalami kendala tertentu dalam mencapai kesepakatan penandatanganan nilai NPHD.
Sebelumnya, tenggat waktu penandatanganan NPHD sudah dilewati dua kali. Pertama pada 1 Oktober 2019. Lantas diperpanjang menjadi 14 Oktober 2019. Hingga 16 Oktober atau dua hari setelah tenggat waktu kedua, tercatat masih ada 34 daerah belum menandatangani NPHD dengan KPU.
Anggaran Pusat
Lebih jauh Syarifuddin mengatakan, sementara ini memang muncul wacana dari sejumlah pihak dan termasuk juga dari dirinya, untuk mengalokasikan APBN bagi pelaksanaan pilkada serentak. Akan tetapi ia menyebutkan bahwa untuk pelaksanaan Pilkada serentak 2020 masih harus tunduk pada regulasi yang ada yakni UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.
“Regulasi yang ada (menyebutkan) pilkada didanai APBD,” sebut Syarifuddin.
Ia menambahkan, sekalipun akan dilakukan revisi UU Pilkada terkait dengan sumber anggaran yang dibutuhkan, ia menyebutkan bahwa hal itu belum akan bisa diterapkan segera. Proses panjang dalam pembahasan revisi undang-undang terkait menjadi latar belakangnya sebelum pada akhirnya regulasi tersebut bisa diimplementasikan. Saat ini, yang perlu dilakukan ialah mengoptimalkan APBD untuk mendanai Pilkada serentak 2020.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif,Muhammad Ihsan Maulana mengatakan bahwa saat ini penyelenggara pemilu harus dapat mendorong solusi persoalan anggaran tersebut dalam revisi UU Pilkada. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemilu serentak di tahun 2024 mendatang.
“Akan sangat mungkin sekali penganggaran dijadikan terpusat untuk memudahkan proses pemilu dan pilkada yang serentak itu,” ujar Ihsan.