Peredaran ponsel ilegal terus marak di kalangan penjual meski ada upaya pengendalian. Uji coba pemblokiran pun tak menyurutkan bisnis ini. Sebagian warga masih memandang ponsel ini menguntungkan konsumen.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Iswanuddin (55) kerap terlihat mondar-mandir di kawasan ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020). Ia tengah menunggu telepon selulernya yang diperbaiki di salah satu toko servis ponsel di lantai tiga.
Ponsel milik warga Kelurahan Kalianyar, Tambora, Jakarta Barat, ini mengalami gangguan sejak pekan lalu. Padahal, ponsel merek buatan China tersebut baru dia beli di gerai barang seken atas rekomendasi anaknya.
Ponsel seharga Rp 1,3 juta itu lebih murah dari harga pasaran, yaitu sekitar Rp 1,9 juta. Sebelumnya, dia telah memeriksa fitur kamera dan performa. Semua bagus dan lancar menurut dia. Anehnya, ponsel melambat setelah empat hari digunakan.
”Saya sebenarnya enggak terlalu mengoprek bagian dalam ponsel. Ini pun dipilih oleh anak saya. Setelah dibongkar orang servis, ponsel saya ini diduga cuma casing-nya saja yang serupa ponsel asli. Bagian dalamnya replika,” kata Iswanuddin.
Kompas pun mencoba melihat kode identitas perangkat telekomunikasi atau IMEI pada ponsel milik Iswanuddin. Namun, kode IMEI ponsel itu tidak terdaftar pada situs imei.kemenperin.go.id, sebuah situs daftar IMEI milik Kementerian Perindustrian. Ponsel tersebut kemungkinan besar adalah barang ilegal.
Pengalaman Iswanuddin menandai masih maraknya penjualan ponsel ilegal di sekitar kita. Ponsel semacam ini pun masih banyak dibeli di tengah wacana pemblokiran ponsel ilegal melalui kode IMEI yang berlaku mulai 17 Februari.
Menurut Kepala Subdirektorat Kualitas Pelayanan dan Harmonisasi Standar Kementerian Komunikasi dan Informatika Nur Akbar Said, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, uji coba pemblokiran dilakukan untuk merespons maraknya ponsel ilegal. Pengendalian tersebut dilakukan melalui Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (Sibina).
Cara kerja Sibina adalah dengan memadankan angka 15 digit IMEI di perangkat ponsel konsumen dengan IMEI pada basis data milik pemerintah. Kumpulan data berasal dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Perdagangan. Jika tidak tercatat dalam database, ponsel tidak bisa lagi digunakan untuk telepon atau berkirim pesan.
Penertiban segera dilakukan lantaran negara diperkirakan merugi sekitar Rp 2,8 triliun tiap tahun akibat peredaran ponsel ilegal. Meski begitu, setelah uji coba pemblokiran pada 17 Februari, ponsel ilegal masih terus beredar di sejumlah toko.
Sepanjang Selasa (18/2/2020), Kompas menyusuri sejumlah toko ponsel di ITC Roxy Mas. Kompas menemui sedikitnya lima toko yang menjual ponsel ilegal di lantai satu dan tiga.
Taufik (34), salah seorang penjual, mengatakan, semestinya ada banyak lagi toko yang menjual ponsel ilegal di sana. Ia menyebut ada beberapa pihak yang menjadi pemasok dan menjual secara grosir. Saat ada pembeli yang memesan di salah satu toko, mereka mengontak si pemasok barang untuk mengecek ketersediaan.
”Orang umumnya mencari iPhone ilegal, yang mana produknya adalah selundupan. Di sini ada pihak yang menjual secara grosir dan lebih murah daripada toko resmi,” ujarnya.
Di salah satu toko di lantai tiga, seorang penjual menawarkan ponsel merek terkenal selundupan dari Singapura seharga Rp 4,5 juta. Barang ini lebih murah dari harga resmi yang berkisar Rp 6 juta. Saat diperiksa Kompas, kode IMEI ponsel tersebut tidak terdaftar dalam situs Kementerian Perindustrian.
Roni (22), warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengakui keberadaan ponsel ilegal kerap menggiurkan. Untuk sejumlah tipe ponsel populer, dia mengaku tertarik dengan penawaran harga murah. ”Fitur sama, performa juga sama, kalau lebih murah, kenapa enggak?” ucapnya.
Meski tampak menguntungkan, Roni juga mengakui ponsel ilegal menyulitkan dari faktor layanan purnajual. Jika ponsel bermasalah, sulit untuk proses servis di Indonesia.
Terkait hal itu, Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, konsumen kerap mengesampingkan faktor layanan purnajual ponsel. Mereka tergiur dengan harga murah dari ponsel ilegal atau black market dan merasa untung saat pertama membeli. ”Atas nama harga murah, mereka membeli karena tampak menguntungkan. Saat HPrusak, ya sudah, tidak bisa dipakai lagi,” ujar Tulus.
Mantan pebisnis telekomunikasi, Sutikno Teguh, menegaskan agar regulasi yang ada saat ini benar-benar berpihak kepada konsumen. Sebab, ia menilai kebijakan pemblokiran ponsel akan merugikan konsumen saat baru membeli ponsel.
”Di sini konsumen yang paling dirugikan. Sebab, ponsel baru terblokir setelah diaktifkan dari kotak pembelian. Bayangkan, ada orang baru beli ponsel, kemudian rusak setelah beberapa pekan dipakai, rugi, kan?” jelas Sutikno.
Selagi berharap regulasi pemblokiran dapat dibenahi, Sutikno menyarankan agar konsumen berhati-hati saat membeli ponsel. Sebagian ponsel, seperti merek Xiaomi, dapat dilihat keasliannya melalui stiker identitas distributor resmi. Jika penjual menawarkan garansi toko atau internasional, kemungkinan ponsel itu ilegal atau black market.
Cara mudah lainnya, memeriksa nomor IMEI yang tertera pada ponsel. IMEI tersebut dapat dicocokkan pada situs https://imei.kemenperin.go.id. Sutikno menyarankan konsumen sebaiknya tidak langsung percaya apabila ditawari ponsel harga murah. ”Cek lagi keaslian barangnya, jangan sampai Anda rugi nantinya,” ujarnya.