Dalam 20 tahun terakhir, banjir di Samarinda, Kalimantan Timur semakin meluas dengan rentang waktu genangan kian lama. Hal ini mesti diselesaikan melalui pembuatan regulasi serta pelaksanaan rencana tata ruang dan wilayah yang sesuai kaidah konservasi, termasuk pengendalian izin tambang.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS - Dalam 20 tahun terakhir, banjir di Samarinda, Kalimantan Timur semakin meluas dengan rentang waktu genangan kian lama. Hal ini mesti diselesaikan melalui pembuatan regulasi serta pelaksanaan rencana tata ruang dan wilayah yang sesuai kaidah konservasi, termasuk pengendalian izin tambang.
Kota Samarinda pernah diterjang banjir besar akibat jebolnya Bendungan Benanga di Dusun Joyomulyo. Ribuan rumah terendam air berkisar satu sampai dua meter (Kompas, 1/8/1998). Setelah itu, banjir kerap terjadi di Samarinda akibat hujan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda Sulaiman Sade saat dihubungi Minggu (23/6/2019) mengatakan, banjir yang mulai meluas sejak 7 Juni lalu merupakan banjir terbesar setelah banjir 2008 yang diakibatkan hujan lebat di kota tersebut.
Pada 2008, banjir setidaknya menggenangi 7.100 rumah di Samarinda (Kompas, 30/12/2008). Setelah itu, banjir terus terjadi tetapi tidak menggenang dalam waktu lama. Pada 2016, misalnya, banjir melanda dengan ketinggian air 30-50 sentimeter. Air mulai surut keesokan harinya. Adapun ruas penghubung Samarinda- Bontang, yakni Jalan DI Panjaitan, tergenang 2-3 jam, dan memacetkan arus lalu lintas (Kompas, Jumat, 15/4/2016).
Namun, banjir tahun ini semakin meluas. Sebanyak 56.123 jiwa atau 17.485 keluarga di tiga kecamatan terdampak. Banjir menggenang hingga dua pekan. Listrik dan air bersih sulit didapat warga karena ketinggian air mencapai 1,5 meter.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, mengatakan, pemerintah perlu konsisten dan mengambil sikap untuk mengatasi banjir dari hulu. Menurut pengamatannya, penanganan banjir selama ini berorientasi proyek, tidak melihat aspek-aspek pendukung banjir yang kian parah.
“Pendekatan penanggulangan banjir orientasinya dominan proyek. Pengerukan sungai dan bendungan hanya sebatas penanganan di hilir. Banyak permasalahan di hulu, seperti konsesi tambang di dekat sempadan sungai dan yang dekat permukiman,” kata Rupang.
Penanganan banjir selama ini berorientasi proyek, tidak melihat aspek-aspek pendukung banjir yang kian parah.
Menurut catatan Jatam, setidaknya terdapat 349 lubang tambang di Kota Samarinda. Menurut Rupang, banjir semakin parah karena daerah resapan air berkurang akibat aktivitas tambang. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan tambang yang tidak mereklamasi lubang tambang setelah aktivitas tambang selesai. Rupang khawatir, hal ini terus berulang terus meski pemimpin daerah berganti.
Pembangunan permukiman yang tak terkendali di sempadan sungai juga menjadi salah satu faktor pemicu betambahnya korban terdampak banjir. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang tidak ditaati membuat permukiman semi permanen hingga permanen memadati wilayah sempadan Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda.
Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Samarinda Tahun 2014-2034 sudah mengatur kawasan sempadan sungai. Pasal 34 menyebutkan, kawasan sempadan Sungai Karang Mumus dengan lebar 10 meter dari kaki tanggul terluar terdapat di Kecamatan Samarinda Kota dan Samarinda Ilir.
Namun, saat ini permukiman padat berjejer di bantaran Sungai Karang Mumus. Wilayah itu terdampak banjir cukup parah, mencapai 1,5 meter. Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Kalimantan Timur, Mislan, tahun 2018 mengkaji restorasi subdaerah aliran sungai (DAS) Karang Mumus dalam perspektif Ketahanan air.
Ia mengatakan, perubahan tutupan lahan di sekitar Sungai Karang Mumus tinggi. “Penutupan hutan lahan kering sekunder berkurang 46,58 persen atau seluas 17.710,78 hektare. Sungai, rawa, dan sempadan berubah menjadi belukar, lahan terbuka, dan pemukiman seluas 298,49 hektare,” kata Mislan.
Hal itu ia bandingkan dengan bentang alam Samarinda tahun 1941 berdasarkan Peta DAS Karang Mumus tahun yang diterbitkan Samarinda Netherlands Borneo Map. Peta itu menunjukkan, hampir 80 persen kondisi awal di DAS Karang Mumus adalah dataran rendah dan daerah rawa.
Mislan mengatakan, saat hujan lebat, air sungai secara alami akan meluap ke daerah rawa di sekitarnya. Ketika permukiman dibangun di daerah rawa, wajar saja jika akhirnya terendam banjir. Hal itu diperparah dengan drainase yang tidak baik, sehingga air tidak bergerak dan menggenang berhari-hari.
Pada Senin (17/6/2019), pemerintah berkoordinasi terkait banjir di Samarinda yang meluas. Rapat dihadiri Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kaltim Zairin Zain, Sekda Kota Samarinda Sugeng Chairuddin, dan Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III Anang Muchlis.
Pemerintah pusat dan Pemprov Kaltim menganggarkan total biaya Rp 25,7 miliar untuk pengendalian banjir Kota Samarinda.
Pada pertemuan itu disampaikan, pemerintah pusat dan Pemprov Kaltim menganggarkan total biaya Rp 25,7 miliar untuk pengendalian banjir Kota Samarinda. Anggaran itu akan digunakan membangun embung serbaguna, normalisasi Sungai Karang Mumus, dan peningkatan fungsi Bendungan Benanga.
Sekretaris Daerah Kota Samarinda Sugeng Chairuddin mengatakan, pemerintah kota akan bergerak mulai Senin (24/6) untuk menyurati warga di sekitar DAS Karang Mumus. Persoalan relokasi dan ganti rugi masih dibahas.
Rupang mengatakan, pengerukan sedimentasi menjadi salah satu bentuk penanganan banjir di hilir. Ia berpendapat, jika permasalahan daerah resapan air yang sudah berubah menjadi lubang tambang tidak segera diatasi, banjir masih akan mengancam Samarinda.