Pengikut Keraton Agung Sejagat Dijanjikan Dana dari Bank Swiss
Para pengikut Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, dijanjikan pemimpinnya mendapat imbalan dana yang bersumber dari sebuah bank di Swiss. Hal itu yang membuat mereka terpikat dan mau membayar biaya anggota.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
PURWOREJO, KOMPAS — Para pengikut Keraton Agung Sejagat di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sempat dijanjikan oleh pemimpinnya mendapat imbalan dana bersumber dari sebuah bank di Swiss. Hal itu yang membuat mereka terpikat dan mau membayar biaya keanggotaan.
Sumarni, warga Desa Pogung Jurutengah, mengatakan, dirinya bertanya ke sejumlah anggota Keraton Agung Sejagat (KAS) tentang kegiatan mereka dan tujuannya. Namun, para anggota tersebut hanya mengatakan, saat ini sedang melalui masa perjuangan untuk menjadi lebih sejahtera.
”Dalam masa perjuangan ini, mereka mengaku harus membayar sejumlah dana sukarela untuk KAS,” ujarnya, Rabu (15/1/2019).
Kendati tidak menyebutkan secara jelas nominal dana yang telah disumbangkan, mereka menyatakan, besaran setiap orang bervariasi. Yang pasti, ada anggota yang membayar hingga Rp 10 juta.
Di masa perjuangan ini, menurut Sumarni, para anggota KAS meyakini bahwa dalam lima tahun mendatang, mereka bisa mencapai target yang diinginkan. ”Lima tahun lagi, mereka yakin bisa mendapatkan pencairan dana dari bank di Swiss,” ujarnya.
Adapun Kepolisian Daerah Jawa Tengah telah menetapkan Toto Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41) sebagai tersangka dalam kasus dugaan penipuan lewat KAS di Kabupaten Purworejo. Ratusan pengikutnya diketahui dimintai iuran Rp 3 juta-Rp 30 juta.
Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Rycko Amelza Dahniel, dalam pengungkapan kasus itu di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Rabu (15/1/2020), mengatakan, Toto mengaku menerima wangsit dari leluhur untuk melanjutkan Kerajaan Mataram. Ia lalu berusaha membuat masyarakat percaya (Kompas.id, 15/1/2020).
Saat ini, Toto dan Fanni ditahan sementara di Mapolda Jateng. ”Dalam 1 × 24 jam kami akan tentukan apakah akan ditahan atau tidak. Namun, dari bukti yang kami temukan, adanya motif untuk menarik dana dari masyarakat. Mereka menawarkan harapan, sebuah ideologi, sehingga orang tertarik dengan membayar iuran,” kata Rycko.
Selama ini, aktivitas KAS cenderung tertutup. Selain tidak terbuka tentang tujuan dari kelompok atau keraton, mereka hanya melibatkan sedikit orang dari lingkungan sekitar.
Jumeri (83), warga Desa Pogung Jurutengah, yang bertempat tinggal persis bersebelahan dengan kawasan KAS, mengaku tidak tahu perihal kegiatan KAS. ”Kegiatan KAS, ya, hanya diketahui anggotanya sendiri, dan hanya dikerjakan oleh internal mereka sendiri,” ujarnya.
Karena demikian tertutupnya, kolam, rancangan pendopo, dan gedung yang sudah dipakai sebagai ruang sidang kerajaan pada Minggu (12/1/2020), dibangun oleh anggotanya sendiri, tanpa melibatkan warga sekitar sebagai buruh bangunan.
Sekelompok orang yang menamakan sebagai bagian dari KAS tersebut mulai terlihat sering berkumpul sejak dua tahun lalu. Namun, dia sendiri tidak hafal jadwal pertemuan mereka.
Jumeri memang tidak mengetahui kegiatan KAS. Namun, dia merasakan dampak merugikan karena kelompok tersebut sering kali melakukan aktivitas di malam hari hingga tengah malam atau bahkan dini hari. ”Mereka sering kali bertepuk tangan, menari, menyanyi-nyanyi keras, bahkan beberapa kali pernah menggunakan pengeras suara,” ujarnya.
Jumeri menyatakan sudah tiga kali menegur para anggota KAS. Namun, teguran itu hanya diperhatikan sesaat kemudian cenderung diabaikan.
Salah satu pengikut KAS, yang juga Kepala Seksi Pemerintahan Desa Pogung Jurutengah, Setyono Eko Pratolo, mengaku, dirinya terpikat masuk sebagai anggota KAS karena mengira KAS adalah semacam kelompok yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Dia makin terpukau setelah mendengar penjelasan sang raja, Toto Santoso, yang dalam sidang pertama banyak menjelaskan perihal sejarah Kerajaan Majapahit.
”Entah mengapa, saat mendengar itu, saya tiba-tiba merasa dan meyakini bahwa semua yang dikatakannya adalah kisah sejarah sesungguhnya,” ujarnya.
Dia mengaku merasa sangsi saat Toto menyebut bahwa dahulu di Kabupaten Purworejo sempat berdiri kerajaan. Namun, dia mengabaikan keraguannya sendiri karena merasa bahwa dirinya bukan ahli sejarah.
Untuk KAS, Eko mengaku juga sudah menyetorkan sejumlah dana. Kendati demikian, dia mengaku enggan menyebutkan besaran nominalnya. Namun, khusus untuk membayar seragam keprajuritan, dia membayar Rp 2,3 juta.