Bandara Kediri dan Harapan Menghapus Dikotomi Utara-Selatan Jawa Timur
Setelah dinantikan, Bandara Kediri akhirnya dibangun. Bandara ini diharapkan bisa meningkatkan ekonomi kawasan barat daya Jawa Timur dan menghapus dikotomi utara-selatan.
Pandemi Covid-19 tidak mengubah rencana pembangunan Bandara Kediri atau Bandara Dhoho di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sesuai jadwal semula, kegiatan itu dilakukan 15 April lalu. Jika tidak ada aral, tahun 2022 bandara yang berada di sisi timur laut Gunung Wilis itu sudah bisa digunakan.
Menyesuaikan dengan protokol keamanan selama pandemi, groundbreaking atau peletakan batu pertama pembangunan bandara dilakukan secara virtual melalui konferensi video yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang sekaligus menjabat Pelaksana Tugas Menteri Perhubungan (Menhub).
Adapun Menhub Budi Karya Sumadi—yang pada bulan Februari lalu datang ke Kediri dan ikut membahas pembangunan bandara tersebut bersama beberapa menteri, pemerintah daerah, dan pihak swasta—berhalangan hadir karena saat itu tengah menjalani perawatan akibat Covid-19.
Ikut dalam konferensi video pencanangan antara lain Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono serta Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil. Ada juga Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto Rahadrjo, dan Direktur Utama Angkasa Pura I Faik Fahmi.
Di luar pejabat teras pusat, ada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Bupati Kediri Haryanti. Adapun pihak lain yang tidak bisa ditinggalkan adalah PT Gudang Garam Tbk selaku investor, yang dalam hal ini dihadiri oleh Direktur PT Gudang Garam Tbk Istata Taswin Siddharta.
Gudang Garam menggelontorkan dana Rp 9 triliun untuk Bandara Kediri dengan skema pembangun dilakukan oleh PT Surya Dhoho Investama (anak perusahaan PT Gudang Garam Tbk) bekerja sama dengan PT Angkasa Pura I sebagai pemegang Badan Usaha Bandar Udara (operator).
Baca juga : Pencanangan Pembangunan Bandara Kediri Dilakukan secara Virtual
Kehadiran Bandara Kediri membawa angin segar dan harapan baru, tidak saja bagi masyarakat Kabupaten/Kota Kediri, tetapi juga daerah-daerah lain di sekitarnya, seperti Kabupaten Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Pacitan.
Setelah lama dinantikan, akhirnya terwujud bandara di wilayah mereka. Sejak beberapa tahun silam, sejumlah kepala daerah di kawasan itu sudah santer membahas masalah ini, mulai dari bagaimana bisa membebaskan wilayah udara latihan perang di kawasan itu sampai penentuan lokasi bandara baru.
Bahkan, sebelumnya mengemuka bahwa lokasi bandara diputuskan di Tulungagung. Penelitian soal itu pun sudah dilakukan. Sampai kemudian muncul niat dari direksi Gudang Garam yang ingin membangun bandara di Kediri. Upaya itu makin menguat saat pemerintah pusat menjadikannya sebagai Proyek Strategis Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018.
Baca juga : Situs Masa Lalu di Lahan Bandara Kediri Akan Dikaji
Bandara Kediri dirancang modern sehingga bisa digunakan oleh pesawat berbadan besar. Ukuran landas pacu 3.300 meter x 45 meter dan luas lahan 450 hektar membuatnya menjadi bandara komersial pertama di wilayah Mataraman. Selama ini sudah ada bandara milik Pangkalan TNI AU Iswahyudi di Madiun, tetapi diperuntukkan bagi pesawat tempur.
Infrastruktur baru ini tentu makin mempermudah mobilitas warga Jawa Timur bagian barat daya yang selama ini mengandalkan Bandara Juanda di Sidoarjo dan sebagian kecil di Bandara Abdulrachman Saleh, Malang.
Untuk mencapai kedua bandara itu dibutuhkan waktu tempuh lebih lama (dari Kediri rata-rata dua jam perjalanan ke Juanda, jarak tempuh dari kabupaten lain pasti lebih lama). Sementara populasi warga di kawasan Jawa Timur barat daya itu cukup besar, mencapai 10 juta jiwa. Untuk pembangunan tahap awal, bandara ini diperkirakan bisa mengangkut 1,5 juta penumpang dalam setahun.
Meningkatkan perekonomian
Dampak lainnya, bandara ini diharapkan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, sekaligus sumber daya manusia. Hal ini pada akhirnya akan mampu menghilangkan ”kesenjangan” antara wilayah selatan dan utara di Provinsi Jawa Timur yang berpenduduk hampir 40 juta jiwa itu.
Selama ini memang ada anggapan terjadi disparitas cukup mencolok di antara kedua wilayah tersebut. Jawa Timur bagian utara yang infrastruktur jalannya lebih mendukung dianggap lebih cepat berkembang. Investor lebih mudah masuk sehingga banyak industri berkembang di kawasan itu, mulai dari Gresik, Lamongan, hingga Tuban.
Sebaliknya, sebagian daerah di kawasan selatan Jawa Timur cenderung lambat dan sulit berkembang. Salah satunya lantaran kondisi alam yang didominasi pegunungan. Sejumlah kabupaten, seperti Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan, lebih banyak mengandalkan hasil alam daripada industri.
Baca juga : Mantan Bupati Trenggalek dan Wartawan Korupsi Rp 7,4 Miliar
Jawa Timur tahun 2019 sebenarnya telah dinyatakan bebas dari daerah tertinggal setelah empat kabupaten berhasil keluar dari jerat itu. Keempatnya adalah Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, dan Sampang. Dari keempat kabupaten tersebut, dua kabupaten berada di Pulau Madura dan dua lainnya di pesisir timur Jawa Timur, yang artinya tidak membutuhkan Bandara Kediri untuk mobilitas.
Penentuan daerah tertinggal sendiri, menurut Peraturan Presiden Nomor 131/2015, mengacu pada enam kriteria, yakni perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibitas, dan karakteristik daerah.
Sekarang, dari mana munculnya anggapan kawasan selatan masih kalah dari utara? Coba kita lihat, misalnya, dari sisi indeks pembangunan manusia (IPM), angka kemiskinan dan produk domestik regional bruto (PDRB), serta infrastruktur.
Soal IPM, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, beberapa daerah di kawasan selatan, yakni Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, dan Tulungagung (tahun 2018), memiliki IPM 64,92-71,99. Adapun di sisi utara, yakni Tuban, Lamongan, dan Gresik, memiliki IPM 67,43-75,28. Angka ini meningkat dari tahun 2013 yang mencapai 63,38-69,30 untuk wilayah selatan dan 64,14-72,47 untuk wilayah utara.
Adapun menyangkut persentase penduduk miskin, masih ada beberapa daerah (2018) yang angka kemiskinanya di atas 12 persen, baik di kawasan selatan maupun utara. Di Pacitan, misalnya, persentase kemiskinannya 14,19 persen dan Trenggalek (12,02), sedangkan Tuban (15,3) dan Lamongan (13,8).
Dari sisi PDRB, pada tahun 2017, misalnya, beberapa daerah di kawasan selatan memiliki PDRB (atas dasar harga berlaku) sebagai berikut: Pacitan Rp 15 triliun, Ponorogo Rp 19,2 triliun, Trenggalek Rp 17,3 triliun, dan Tulungagung Rp 36,6 triliun. Adapun di disi utara, Tuban Rp 60,8 triliun, Lamongan Rp 37,3 triliun, dan Gresik Rp 130,6 triliun.
Dari sisi infrastruktur, kehadiran Tol Trans-Jawa kian menambah kemudahan transportasi di wilayah utara yang sudah relatif bagus. Sementara jalan lintas selatan (JLS) yang dibangun sejak 18 tahun lalu—guna membuka keterisolasian kawasan selatan—hingga kini belum juga rampung. Dari panjang 685 kilometer (km), baru terwujud 404 km atau sekitar 59 persen lantaran terkendala pembebasan lahan dan skema pembiayaan.
Baca juga : Peluang-peluang yang Terbuka oleh Jalan Tol
Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Malang, Lutfi J Kurniawan, mengatakan, penyebab dikotomi utara-selatan di Jawa Timur ada beberapa hal, antara lain aksesibilitas kawasan selatan yang lebih lambat, terutama untuk menjangkau industri dan bahan baku konsumsi.
Adapun kawasan utara lebih mudah sebagai jalur perdagangan. Sebaliknya, sisi selatan lebih agraris dengan kesan tradisional. ”Banyak rekomendasi hasil riset dinamika politik daerah lebih dinamis utara karena dipengaruhi budaya ’pantura’. Lebih pada sosial budaya,” ujarnya.
Potensi besar kawasan selatan
Jika dilihat secara umum, sebenarnya kawasan selatan Jawa Timur punya potensi dan sumber daya alam yang besar. Mulai dari bidang perikanan, perkebunan, sampai pariwisata. Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi di Trenggalek, misalnya, menjadi salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Jawa Timur.
Tahun 2017, volume ikan yang didaratkan di pelabuhan ini mencapai 18.201 ton dengan nilai Rp 163,3 miliar. Sementara tahun 2018 jumlahnya meningkat 56,42 persen menjadi 28.472 ton dengan nilai Rp 233,3 miliar (data Laporan Statistik 5 Tahunan Direktorat Jenderal Perikanan).
Selain produksi ikannya besar, pesona alam di sekitar Prigi juga memesona, baik berupa pantau maupun obyek wisata lain, seperti goa. Potensi yang sama juga terhampar di wilayah lain, termasuk Pacitan. Bahkan, jika ditarik ke timur sampai Banyuwangi, pesisir selatan Jawa Timur merupakan deretan obyek wisata menarik.
Begitu pula potensi di bidang lain. Blitar, misalnya, punya potensi peternakan besar. Setiap hari setidaknya 1.000 ton telur ayam dihasilkan dari Blitar. Malang dan sekitarnya juga punya potensi kopi dan komoditas lain.
Baca juga : Mengangkat Kopi Blitar Melalui Festival
Belum lagi ditambah dengan potensi budaya. Ponorogo memiliki atraksi budaya unggul berupa reog yang tak terbantahkan. Jika akases menuju wilayah-wilayah tersebut makin mudah, tentu kreativitas yang dilakukan pemerintah daerah akan berbanding lurus dengan jumlah wisatawan yang datang.
Oleh karena itu, tidak heran jika—saat pencanangan bandara ini—Khofifah Indar Parawansa mengatakan, keberadaan Bandara Kediri diharapkan mampu menghapus dikotomi utara-selatan di wilayahnya. Pihaknya berharap semua sektor, mulai dari pertanian, perkebunan, hingga maritim, di kawasan selatan dapat berkembang.
Harapan itu akan menjadi keniscayaan karena bersamaan dengan pembangunan bandara, bakal dibangun juga Tol Kertosono-Kediri-Tulungagung. Dua pembangunan infrastruktur ini akan simultan dengan program Selingkar Wilis lainnya, yakni pembenahan jalan di sekeliling Gunung Wilis sepanjang 235 km dan penuntasan JLS.
Semoga, setelah Bandara Kediri beroperasi, tidak lagi hanya suara bising pesawat tempur yang memekakkan telinga selama puluhan tahun, tetapi juga deru pesawat komersial yang melintasi langit Kediri dan sekitarnya. Dan, yang pasti, dinantikan peningkatan pendapatan ekonomi warga sisi barat daya Jawa Timur.