Secara perlahan, citra Kali Pepe di Solo, Jawa Tengah, mulai berubah seiring munculnya ruang publik baru dan berkembangnya aktivitas wisata sungai. Namun, kesadaran warga untuk merawat sungai masih harus ditingkatkan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Normalisasi Kali Pepe di Kota Solo, Jawa Tengah, tak saja diharapkan mengatasi banjir, tetapi juga memutar roda sosial-ekonomi warga. Aktivitas wisata dan ruang publik baru bertahap memoles wajah sungai yang dulu identik dengan banjir dan pencemaran itu.
Henny Dewi (48) dan belasan temannya asyik berfoto di sekitar Bendung Tirtonadi, Solo, Selasa (4/8/2020) pagi. Salah satu hasil jepretan yang diincar ialah pose dengan latar belakang jembatan kaca. Jembatan itu memang menarik dijadikan latar belakang foto karena bentuk atapnya melengkung-lengkung menyerupai gelombang air.
”Pemandangannya bagus dan keren untuk foto-foto,” kata Henny, warga Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Pagi itu, Henny dan 13 temannya bersepeda dari rumah masing-masing, lalu janjian bertemu di bendung yang berada di aliran Kali Pepe tersebut. Beberapa waktu terakhir, kawasan Bendung Tirtonadi memang menjadi ruang publik baru bagi masyarakat Solo dan sekitarnya.
Di kawasan tersebut, tidak hanya terdapat bendung yang berfungsi mengatur aliran Kali Pepe, salah satu anak Sungai Bengawan Solo. Namun, di sekitar Bendung Tirtonadi juga terdapat taman dengan rumput dan pohon-pohon rindang, jalan setapak yang bisa dimanfaatkan untuk olahraga, hingga deretan bangku untuk bersantai. Ada pula sebuah bangunan yang dinamai Papan Kawruh Tirta yang berfungsi sebagai tempat untuk edukasi mengenai sungai dan drainase di Solo.
Metamorfosis kawasan Bendung Tirtonadi menjadi ruang publik bermula dari proyek rehabilitasi senilai Rp 182,3 miliar oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2016-2018. Rehabilitasi bendung yang terbuat dari kantong karet itu dilakukan agar fungsinya lebih maksimal sebagai pengendali banjir.
Selain rehabilitasi bendung, pemerintah juga membangun taman dan berbagai fasilitas lain di sekitar Bendung Tirtonadi. Untuk membangun taman itu, pemerintah merelokasi ratusan warga yang dulu tinggal di bantaran Kali Pepe dekat bendung yang masuk wilayah Kecamatan Banjarsari tersebut.
Salah seorang warga Banjarsari, Gino (54), mengatakan, dulu, di kawasan sekitar Bendung Tirtonadi terdapat banyak hunian liar yang dibangun di bantaran sungai. Sebelum diubah menjadi taman dan ruang publik, kawasan tersebut kumuh dan tak terawat. ”Kalau sekarang sudah bagus, enggak kumuh lagi,” ujar warga yang tinggal tak jauh dari Bendung Tirtonadi itu.
Pariwisata
Selain merehabilitasi Bendung Tirtonadi, Kementerian PUPR juga melakukan normalisasi dan penguatan tebing Kali Pepe di Solo sepanjang 9,8 kilometer (km). Berdasar data Kementerian PUPR, normalisasi yang dilakukan pada 2016-2018 itu untuk meningkatkan kapasitas tampungan sungai sehingga bisa mengurangi risiko banjir di wilayah seluas 80 hektar di tiga kecamatan di Solo, yakni Banjarsari, Laweyan, dan Pasar Kliwon.
Di sisi lain, normalisasi itu juga turut mendukung aktivitas perahu wisata menyusuri Kali Pepe yang dikembangkan warga Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo. Aktivitas perahu wisata itu dimulai sejak 2015 dan menjadi rangkaian acara Grebeg Sudiro yang digelar menjelang Imlek di kawasan Sudiroprajan.
Saat naik perahu wisata itu, wisatawan bisa menikmati deretan lampion yang dipasang di sepanjang tepian Kali Pepe. Di tebing Kali Pepe di wilayah Sudiroprajan, juga terdapat sejumlah mural yang ikut menyemarakkan pemandangan. Pada Grebeg Sudiro 2020, perahu wisata di Sudiroprajan itu mendapat sambutan antusias dari masyarakat.
Koordinator Perahu Wisata Kelurahan Sudiroprajan Yohana Fransiska Lily (35) mengatakan, pada Grebeg Sudiro tahun ini, perahu wisata itu beroperasi selama 19 hari pada Januari-Februari 2020. Selama 19 hari beroperasi itu, pendapatan dari perahu wisata mencapai Rp 87 juta. ”Harga tiket kami Rp 10.000 sehingga total tiket yang terjual sekitar 8.700 tiket,” ucapnya.
Yohana menuturkan, perahu wisata itu hanya beroperasi pada malam hari, mulai pukul 18.30 sampai 22.30. Saat pengunjung melimpah, jumlah penumpang perahu wisata bisa 500-600 orang per hari. Padahal, jumlah perahu motor yang tersedia untuk mengangkut penumpang hanya tiga unit sehingga penumpang kadang harus menunggu lama. ”Naik perahunya hanya 10 menit, tapi antrenya bisa sampai dua jam,” lanjutnya.
Keberadaan perahu wisata tak hanya memberi pemasukan untuk warga, tetapi juga turut mengubah citra Kali Pepe. Apalagi, foto-foto aktivitas perahu wisata itu juga viral di media sosial. Bahkan, ada yang membandingkan aktivitas wisata itu dengan wisata air di kota Venesia, Italia.
Namun, perbandingan itu sejujurnya masih berlebihan karena kondisi Kali Pepe secara umum masih jauh dari harapan. Hal ini karena di sebagian aliran Kali Pepe masih kerap dijumpai beragam sampah yang dibuang oleh masyarakat. Pada musim kemarau seperti sekarang, sampah itu terlihat jelas mengambang di sungai.
Meski demikian, menurut Yohana, kesadaran warga sekitar Kali Pepe, termasuk Sudiroprajan, untuk tak membuang sampah di sungai sudah meningkat dibanding beberapa tahun lalu. Dia juga menyebut, wilayah Sudiroprajan yang merupakan bagian hilir Kali Pepe kerap menerima kiriman sampah dari daerah hulu dan juga tengah. Oleh karena itu, sebelum menggelar aktivitas perahu wisata, warga terkadang bergotong royong membersihkan sungai dari sampah terlebih dulu.
Untuk membersihkan sungai dari sampah, warga Sudiroprajan mendapat dukungan dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo serta Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Dukungan itu penting karena pembersihan di wilayah Sudiroprajan itu butuh pengaturan tertentu di Bendung Tirtonadi agar ada aliran air yang cukup banyak ke wilayah hilir.
”Seminggu sebelum Grebeg Sudiro, kami biasanya kerja bakti massal. Kami juga kerja sama dengan Pemkot Solo dan BBWS. Jadi, kalau pas Grebeg Sudiro, airnya bisa bersih,” ungkap Yohana.
Kebersihan sungai yang belum terjamin sepanjang waktu itulah yang membuat aktivitas perahu wisata Sudiroprajan belum bisa digelar secara rutin. Hingga kini, perahu wisata hanya beroperasi saat pelaksanaan Grebeg Sudiro.
Kepala Dinas Pariwisata Solo Hasta Gunawan mengatakan, debit air Kali Pepe yang menyusut saat musim kemarau juga membuat perahu wisata Sudiroprajan belum bisa beroperasi secara rutin. Oleh karena itu, sampai saat ini, Pemkot Solo belum berencana menjadikan perahu wisata tersebut sebagai atraksi rutin sepanjang tahun.
”Rencananya masih seperti kemarin, digelar bersamaan dengan Grebeg Sudiro. Paling-paling nanti waktu operasional perahu wisatanya yang ditambah sehingga menjadi lebih lama,” kata Hasta.
Aktivitas warga yang kian semarak di tepian Kali Pepe niscaya akan menumbuhkan simpul ekonomi baru di sekitarnya. Dengan begitu, warga sekitar diharapkan semakin bersemangat menjaga kebersihan sungai agar semakin layak dinikmati.