Dilema Besar Penanganan Pandemi Covid-19 di Yogyakarta
Penanganan pandemi Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta menghadapi dilema besar. Di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali, sejumlah obyek wisata justru dibuka kembali untuk menggerakkan perekonomian.
Penanganan pandemi Covid-19 di mana pun selalu dihadapkan pada dilema antara aspek kesehatan dan ekonomi. Namun, di Daerah Istimewa Yogyakarta, dilema tersebut bertambah besar karena perekonomian provinsi itu sangat mengandalkan aktivitas pariwisata yang berkaitan dengan mobilitas orang.
Meski pernah disebut Presiden Joko Widodo sebagai provinsi terbaik dalam penanganan Covid-19, DIY sebenarnya masih menghadapi sejumlah persoalan dalam penanggulangan pandemi. Bahkan, selama beberapa waktu terakhir, DIY tengah mengalami lonjakan kasus positif Covid-19 yang signifikan.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, hingga Selasa (25/8/2020), jumlah pasien positif Covid-19 di provinsi itu sebanyak 1.248 orang. Dari jumlah tersebut, 857 orang di antaranya telah sembuh dan 34 orang meninggal.
Sebagai catatan, kasus positif Covid-19 di DIY pertama kali diumumkan pada 15 Maret 2020. Pada periode 15 Maret-30 Juni 2020, jumlah kasus positif Covid-19 di DIY sebanyak 313 kasus. Oleh karena itu, jika dirata-rata, dalam kurun waktu tersebut, hanya ada 2,8 kasus positif per hari di DIY.
Baca juga : Disebut Terbaik Tangani Covid-19, DIY Catatkan Rekor Kasus Baru
Namun, pada kurun waktu 1 Juli-25 Agustus 2020, muncul 935 kasus baru di DIY. Artinya, apabila dirata-rata, terdapat 16,6 kasus baru per hari di DIY dalam kurun waktu tersebut. Rata-rata kasus harian ini melonjak hampir enam kali lipat dibandingkan kondisi 15 Maret-30 Juni 2020.
Dari lima kabupaten/kota di DIY, Kabupaten Sleman menjadi wilayah dengan jumlah kasus positif Covid-19 paling banyak. Berdasarkan data Dinkes DIY, hingga 25 Agustus 2020, terdapat 474 pasien positif Covid-19 di kabupaten itu. Dari jumlah tersebut, 327 orang telah dinyatakan sembuh dan 11 orang lainnya meninggal.
Dilema tersebut bertambah besar karena perekonomian provinsi itu sangat mengandalkan aktivitas pariwisata yang berkait dengan mobilitas orang.
Sama seperti kondisi DIY secara umum, Sleman juga mengalami peningkatan kasus yang signifikan selama beberapa waktu terakhir. Sampai 31 Juli 2020, kasus positif Covid-19 di Sleman hanya 234 kasus. Namun, dalam kurun waktu 1-25 Agustus 2020, terjadi penambahan 240 kasus baru di Sleman. Ini artinya, lebih dari 50 persen dari total kasus Covid-19 di Sleman muncul pada Agustus 2020.
Kenaikan jumlah kasus di DIY itu kemudian diikuti dengan peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia. Berdasarkan data Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, dalam kurun waktu 15 Maret-8 Juli 2020, jumlah pasien positif Covid-19 di DIY yang meninggal sebanyak delapan orang. Jumlah pasien positif yang meninggal itu tak mengalami penambahan sejak 16 Mei 2020.
Namun, sesudah 8 Juli 2020, terjadi peningkatan signifikan kasus kematian. Data Pemda DIY menunjukkan, hingga 25 Agustus 2020, total pasien positif Covid-19 yang meninggal di DIY sebanyak 34 orang. Artinya, telah terjadi peningkatan jumlah kematian lebih dari empat kali lipat jika dibandingkan kondisi 8 Juli 2020.
Baca juga : Kematian Pasien Covid-19 Melonjak, Pemprov DIY Mesti Lakukan Audit
Di sisi lain, jumlah tes atau pemeriksaan dengan metode reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) di DIY belum bisa secara konsisten memenuhi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sesuai dengan rekomendasi WHO, jumlah orang yang dites dengan metode PCR seharusnya 1 per 1.000 penduduk per minggu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, jumlah penduduk DIY pada tahun 2018 sekitar 3,8 juta orang. Oleh karena itu, apabila mengikuti rekomendasi WHO, jumlah orang yang dites di DIY seharusnya sekitar 3.800 orang per minggu atau 543 orang per hari. Namun, jumlah tersebut belum bisa dipenuhi secara terus-menerus.
Dalam kurun 17-23 Agustus 2020, misalnya, total jumlah orang yang menjalani tes PCR di DIY hanya 2.677 orang dalam seminggu atau baru sekitar 70 persen dari rekomendasi WHO. Kondisi ini terjadi karena jumlah orang yang dites setiap hari di DIY sangat fluktuatif.
Pada 18 Agustus 2020, misalnya, jumlah orang yang dites di DIY hanya 215 orang atau tak sampai 50 persen dari rekomendasi WHO. Pada 20 Agustus, jumlah orang yang dites itu kemudian naik menjadi 597 orang atau melebihi rekomendasi WHO. Namun, pada 21 Agustus, jumlah tersebut kembali turun menjadi 266 orang sehingga lagi-lagi kurang dari 50 persen rekomendasi WHO.
Pariwisata dibuka
Di tengah lonjakan kasus positif Covid-19 itu, Pemerintah Daerah DIY tetap mengizinkan pembukaan kembali sejumlah destinasi wisata di provinsi tersebut. Pembukaan destinasi wisata itu dilakukan agar perekonomian DIY kembali menggeliat. Sebab, selama pandemi Covid-19 ini, pertumbuhan ekonomi DIY memang merosot drastis karena aktivitas wisata yang terhenti.
Pada triwulan pertama tahun 2020, misalnya, pertumbuhan ekonomi DIY minus 0,17 persen. Adapun pada triwulan kedua, pertumbuhan ekonomi DIY terkontraksi lebih dalam dengan minus 6,74 persen.
Sejak masa awal pandemi Covid-19, Pemda DIY sebenarnya tak pernah secara resmi menutup obyek wisata. Meski begitu, para pengelola obyek wisata di DIY memilih menutup sementara destinasi yang mereka kelola selama beberapa bulan awal pandemi Covid-19. Namun, sejak akhir Juni 2020, sejumlah destinasi wisata di DIY sudah mulai buka kembali.
Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo mengatakan, pada awalnya hanya ada 10 destinasi wisata di DIY yang menjadi percontohan untuk dibuka kembali. Namun, seiring waktu, jumlah destinasi wisata di DIY yang beroperasi kembali pun kian banyak. Berdasarkan data Dinas Pariwisata DIY, hingga Senin (24/8/2020), terdapat 51 destinasi wisata di DIY yang sudah beroperasi kembali dan bisa menerima wisatawan.
Baca juga : 10 Destinasi Wisata di DIY Jadi Percontohan Normal Baru
Singgih menuturkan, pembukaan kembali destinasi wisata di DIY itu diikuti dengan penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19. Semua petugas dan wisatawan di destinasi wisata wajib memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Jumlah pengunjung di destinasi wisata juga dibatasi agar tidak ada kerumunan dan aturan jaga jarak bisa diterapkan.
”Saya berharap, protokol kesehatan ditegakkan. Ini yang menjadi concern (perhatian) kita. Saya sudah berpesan kepada para kepala dinas pariwisata kabupaten/kota dan pengelola destinasi wisata agar memastikan protokol kesehatan betul-betul bisa diimplementasikan secara ketat,” ujar Singgih.
Selain penerapan protokol kesehatan, Dinas Pariwisata DIY juga menerapkan pendataan wisatawan yang masuk ke setiap destinasi wisata melalui aplikasi Visiting Jogja. Pendataan dilakukan untuk memudahkan penelusuran (tracing) kontak apabila ada kasus positif Covid-19 di destinasi wisata.
Singgih memaparkan, berdasarkan pendataan di aplikasi Visiting Jogja, jumlah kunjungan wisatawan di DIY cenderung terus meningkat selama beberapa waktu terakhir. Pada Minggu, 12 Juli 2020, misalnya, jumlah wisatawan di DIY hanya sekitar 13.000 orang dalam sehari. Jumlah itu meningkat menjadi 22.000 orang pada 19 Juli, lalu meningkat lagi menjadi 27.000 orang pada 26 Juli.
Pada 2 Agustus 2020, jumlah wisatawan kembali naik menjadi 29.000 orang dalam sehari. Setelah itu, jumlah wisatawan melonjak drastis menjadi sekitar 39.000 orang pada 16 Agustus atau sekitar tiga kali lipat dibandingkan 12 Juli 2020. Lonjakan signifikan itu terjadi karena ada libur panjang akhir pekan.
Sementara itu, pada 23 Agustus 2020, jumlah wisatawan juga cukup tinggi, yakni sekitar 36.000 orang. ”Jumlah ini adalah jumlah yang tercatat, tetapi kenyataannya pasti lebih banyak. Jadi, nanti kami akan evaluasi kembali kesiapan destinasi agar setiap wisatawan betul-betul terdata dengan baik,” katanya.
Baca juga : Pandemi Belum Teratasi, Jumlah Wisatawan ke DIY Meningkat Tiga Kali Lipat
Singgih menambahkan, saat ini, wisatawan yang datang itu tak lagi hanya berasal dari wilayah DIY. Bahkan, dia menyebut, persentase wisatawan dari daerah lain sudah mencapai 54 persen dari total kunjungan wisatawan di DIY. ”Wisatawan yang terbanyak memang masih dari DIY, lalu disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat,” ujarnya.
Banyaknya wisatawan luar daerah itu turut berdampak pada peningkatan okupansi hotel di DIY. Singgih menyebut, saat libur panjang akhir pekan pada 20-23 Agustus 2020, okupansi beberapa hotel bintang empat dan lima di DIY bisa mencapai 100 persen. ”Untuk hotel bintang tiga ke bawah, okupansinya 30-60 persen,” ujarnya.
Jumlah kunjungan wisatawan di DIY cenderung terus meningkat selama beberapa waktu terakhir.
Pelanggaran
Meski Pemda DIY telah mewajibkan penerapan protokol kesehatan di destinasi wisata, pelanggaran masih terus terjadi. Berdasarkan data Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIY, pada periode 4-23 Agustus 2020, sebanyak 1.903 orang melanggar protokol kesehatan karena tak menggunakan masker saat berada di tempat wisata.
Pada periode yang sama, Satpol PP DIY juga mencatat adanya 3.713 orang yang tidak memakai masker di tempat-tempat umum di kawasan perkotaan Yogyakarta. Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad menyatakan, para pelanggar protokol kesehatan itu diberi teguran lisan dan diminta menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya.
”Kami tidak memberi sanksi sesuai dengan arahan Bapak Gubernur. Kita lebih menekankan edukasi dan pembinaan,” ujar Noviar.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji menyatakan, untuk memastikan penerapan protokol kesehatan, pengelola destinasi wisata mesti bersikap tegas. Oleh karena itu, apabila ada wisatawan yang tidak tertib menjalankan protokol kesehatan, pengelola wisata harus berani mengingatkannya.
Jika wisatawan tetap tidak mau mematuhi protokol kesehatan, mereka harus diminta meninggalkan lokasi wisata. ”Kalau tidak pakai masker, tolak saja. Jangan khawatir,” ujar Kadarmanta.
Baca juga : 400 Petugas Disiagakan Awasi Protokol Kesehatan di Malioboro
Kadarmanta menambahkan, Pemda DIY akan melakukan evaluasi terkait aktivitas wisata yang sudah berjalan saat ini. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah aktivitas wisata itu berpengaruh pada peningkatan kasus Covid-19 di DIY. ”Kita ingin tahu apakah wisata bisa menjadi penyebab penyebaran Covid-19 atau tidak,” katanya.
Meski begitu, ia menyebut, sampai sekarang tidak ada laporan pasien positif Covid-19 di DIY yang diduga tertular saat berkunjung di destinasi wisata. ”Kalau kita lihat dari laporan sementara ini, kok, enggak ada, ya, (yang tertular) dari tempat wisata,” ucapnya.
Namun, epidemiolog Lapor Covid-19, Henry Surendra, mengatakan, semua aktivitas yang memicu mobilitas orang, termasuk pariwisata, berpotensi meningkatkan penularan Covid-19. Sebab, saat mobilitas orang terjadi, mereka yang sudah terinfeksi Covid-19 bisa menularkan penyakit tersebut kepada orang lain yang ditemui.
”Covid-19 ini, kan, penularannya dari orang ke orang. Jadi, aktivitas yang membuka mobilitas, baik itu pariwisata, perkantoran, mau[un lainnya, pasti akan meningkatkan risiko penularan Covid-19 di suatu wilayah,” ujar Henry.
Henry menyebutkan, kehadiran wisatawan dari luar daerah ke DIY juga makin meningkatkan risiko penularan Covid-19. Apalagi, kebanyakan wisatawan luar daerah itu berasal dari wilayah dengan jumlah kasus Covid-19 yang lebih tinggi dibandingkan DIY, misalnya Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Risiko penularan itu menjadi kian besar apabila penerapan protokol kesehatan di destinasi wisata tak berjalan baik. ”Kalau semua orang 100 persen patuh untuk pakai masker, jaga jarak, dan selalu mencuci tangan, penularan itu bisa terputus. Cuma, masalahnya adalah seberapa efektif protokol kesehatan itu di lapangan,” ujarnya.