Jerat Korupsi dan Keterisolasian Bengkulu
Belenggu kemiskinan dan jerat korupsi menjadi persoalan krusial di Bengkulu. ”Bumi Raflesia” seakan tengah menanti terobosan pemimpin untuk mengatasi problem menahun di tengah keterisolasian wilayah itu.
Belenggu kemiskinan dan jerat korupsi menjadi persoalan krusial di Bengkulu. ”Bumi Raflesia” seakan tengah menanti terobosan pemimpin untuk mengatasi problem menahun di tengah keterisolasian wilayah itu.
Bengkulu bagaikan usus buntu. Analogi itu disampaikan Ketua Kamar Dagang dan Industri Bengkulu Feri Rizal untuk menggambarkan kondisi Bengkulu yang terisolasi hingga sulit berkembang.
Berada di sisi barat Sumatera, Bengkulu seakan terpisah dari jalur lintas timur dan tengah Sumatera. Jarang sekali pengendara melewati jalur ini karena dianggap kalah efisien jika dibandingkan dengan dua jalur lintas lainnya. Padahal, ”Bumi Raflesia” menyimpan potensi sumber daya alam, baik pertambangan, pertanian, perkebunan, maupun pariwisata. Dengan kekayaan itu, tak heran jika Bengkulu dahulu kala menjadi incaran penjajah seperti Inggris dan Belanda.
”Jangan lupa, emas Monas (Monumen Nasional) berasal dari Bengkulu,” ucap Feri, Kamis (24/9/2020).
Walau bergelimang emas, ternyata kehidupan masyarakat Bengkulu jauh dari kemilau sejahtera. Badan Pusat Statistik mencatat, pada tahun 2019 angka kemiskinan di Bengkulu sekitar 302.300 orang, atau 15,23 persen dengan total penduduk 1,99 juta jiwa. Bahkan, per Maret 2020, Bengkulu menjadi provinsi termiskin di Sumatera dengan 15,03 persen penduduk miskin, menggantikan Aceh yang angka kemiskinannya turun menjadi 14,99 persen.
Jangan lupa, emas Monas (Monumen Nasional) berasal dari Bengkulu. (Feri Rizal)
Ahmad Supardi (27), warga Bengkulu. merasakan pembangunan Bengkulu yang tidak merata, terutama infrastruktur jalan di daerah pelosok yang sangat buruk. Kondisi ini jelas menyengsarakan rakyat.
”Perbaikan memang terus dilakukan, tetapi karena truk batubara dan kendaraan berat terus melintas, jalan kembali rusak,” ujar Supardi yang sehari-hari menjadi karyawan swasta.
Hal serupa juga dirasakan Hafnizarlian (39), warga lainnya. Baginya, pembangunan di Bengkulu belum merata dan pemberian bantuan kurang tepat sasaran. ”Pendataan penduduk saja kurang baik sehingga bantuan yang diberikan pun tidak menyentuh langsung ke sasaran,” ucapnya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Bengkulu, Kamaludin, menilai, masalah ekonomi di Bengkulu bukan semata-mata keterisolasian daerah. ”Bangka Belitung yang jauh lebih terisolasi dari Bengkulu karena terpisah laut bisa maju, mengapa Bengkulu tidak?” ucapnya.
Walau usia jauh lebih muda dibandingkan dengan Bengkulu, Babel dapat berkembang. Angka kemiskinan di sana hanya 4,53 persen . ”Pemerintah Babel bisa memoles pariwisata dan melibatkan pihak ketiga, yakni swasta, untuk mengembangkan daerahnya,” ucap Kamaludin.
Menurut dia, siapa pun yang memimpin Bengkulu perlu berinovasi, membuat terobosan untuk mengatasi jerat kemiskinan yang lama mengakar. Terobosan mendatangkan investor, misalnya, diperlukan karena APBD Bengkulu hanya sekitar Rp 3,3 triliun, lebih kecil dari APBD Kota Palembang di Sumatera Selatan yang sebesar Rp 4,4 triliun.
Dengan APBD sekecil itu sulit bagi pemerintah daerah mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Apalagi, akibat pandemi, saat ini penyerapan anggaran di Bengkulu tidak optimal, yakni sekitar 30 persen. ”Butuh campur tangan investor atau pihak ketiga,” ujarnya.
Investasi di sektor pariwisata bisa menjadi alternatif, selain merealisasikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pulau Baai yang saat ini masih mandek. Jika investor mau datang dan menanamkan modal, tenaga kerja akan terserap dan kemiskinan dapat ditekan.
Baca juga : Asa Baru KEK Pulau Baai
Mimpi untuk mendatangkan investasi, menurut Feri, mungkin terealisasi dengan dimulainya pembangunan Tol Trans-Sumatera yang menghubungkan Bengkulu dan Palembang sejauh 352 kilometer. Infrastruktur ini diharapkan bisa membuka keterisolasian dan mendorong geliat ekonomi.
Masalahnya, tidak mudah membangun tol di Bengkulu. Koordinator Legal dan Humas PT Hutama Karya Infrastruktur Jalan Tol Ruas Bengkulu Curup Lubuk Linggau, Tahap I Bengkulu-Taba Penanjung, Chandra Irawan mengatakan, pihaknya harus membelah sejumlah bukit agar tol tersambung. Wajar karena Bengkulu ada di kawasan Bukit Barisan.
Investasi di sektor pariwisata bisa menjadi alternatif, selain merealisasikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pulau Baai yang saat ini masih mandek. Jika investor mau datang dan menanamkan modal, tenaga kerja akan terserap dan kemiskinan dapat ditekan.
Secara bertahap, jalan tol rute Bengkulu-Taba Penanjung mulai terbangun. Dari target 18 kilometer, proses konstruksi sudah berjalan 32 persen.
Jerat korupsi
Di sisi lain, belenggu kemiskinan di Bengkulu juga erat korelasinya dengan kasus korupsi. Dalam delapan tahun terakhir, tiga gubernur Bengkulu terjerat kasus korupsi. Dimulai dari Gubernur Bengkulu periode 2005-2012 Agusrin Maryono Najamuddin yang tersandung kasus korupsi dana Pajak Bumi dan Bangunan serta bea perolehan hak atas tanah bangunan, tahun anggaran 2006 senilai Rp 27 miliar. Pada 2012, Agusrin divonis 4 tahun penjara.
Pada 17 Desember 2012, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melantik Wakil Gubernur Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu definitif. Belakangan, Junaidi turut terjerumus dalam kasus tindak pidana korupsi terkait dengan penerbitan surat keputusan pembayaran honor Tim Pembina RSUD M Yunus, Bengkulu, pada 2011, yang nilai proyeknya mencapai Rp 5,6 miliar. Pada 2017, mantan Gubernur Bengkulu itu divonis pidana 1 tahun 7 bulan.
Setali tiga uang, pengganti Junaidi, Ridwan Mukti, yang menjabat Gubernur Bengkulu pada Februari 2016 juga terjerat kasus korupsi. Ia tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap dari salah satu kontraktor pemenang lelang pemeliharaan jalan Dinas Pekerjaan Umum Bengkulu tahun anggaran 2017, dengan barang bukti uang senilai Rp 1 miliar.
Alhasil, Ridwan bersama istrinya, Lily Martiani Maddari, divonis penjara masing-masing 8 tahun. Keduanya terbukti melakukan korupsi bersama. Ridwan juga diganjar hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama dua tahun setelah masa penahanan pokok selesai.
Baca juga : Merawat Kenangan Fatmawati Soekarno di Bengkulu
Pada tahun 2015, Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan pun ikut terseret kasus korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bengkulu tahun 2013 dengan kerugian negara Rp 11,4 miliar. Kasus ini menyeret 15 tersangka, salah satunya Helmi.
Helmi mengajukan praperadilan dan dia dinyatakan menang hingga status tersangka itu pun gugur. Kini Helmi menjadi salah satu dari dua kandidat yang maju dalam pemilihan gubernur 2020.
Pakar hukum pidana Universitas Bengkulu, Herlambang, mengemukakan, kemiskinan yang mendera Bengkulu sangat erat korelasinya dengan kasus korupsi. ”Selama praktik korupsi di Bengkulu masih merebak, rakyat tentu tidak akan sejahtera,” katanya.
Dia berharap pemimpin ke depan benar-benar memiliki orientasi memajukan Bengkulu untuk lepas dari keterisolasian, bukan membuat Bengkulu semakin terpuruk.
Dalam Pilkada Bengkulu 2020, dua pasangan calon akan memperebutkan dukungan suara rakyat. Calon gubernur nomor urut satu, Helmi Hasan, Wali Kota Bengkulu dua periode, berpasangan dengan Muslihan Diding Soetrisno yang pernah menjabat Bupati Bengkulu Utara (2001-2006) dan Bupati Rejang Lebong (1994-1999). Adapun rivalnya, Gubernur Bengkulu petahana Rohidin Mersyah, berpasangan dengan Rosjonsyah, Bupati Lebong (2016-2021).
Kedua kandidat akan bertarung memperebutkan suara dari sekitar 1,37 juta pemilih. Siapa pun yang terpilih diharapkan dapat menjadi pendobrak dan membawa Bengkulu keluar dari belenggu kemiskinan dan ancaman korupsi.