Rumah Pilkada: Menanti Banjir (Tak) Tiba di Samarinda
Banjir dan permasalahan yang menyertainnya menjadi ironi bagi Samarinda yang memiliki jargon Kota Tepian (teduh, rapi, indah, dan nyaman). Warga mencari pemimpin yang menyelesaikannya, seperti menanti banjir tak tiba.
Banjir dan sederet permasalahan yang menyertainya menjadi sebuah ironi bagi Kota Samarinda yang memiliki jargon Kota Tepian (teduh, rapi, indah, dan nyaman). Warga mencari pemimpin yang bisa menyelesaikannya, seperti menanti banjir tak tiba.
Martiah (40) selalu waswas jika hujan turun. Warga perumahan Bengkuring, Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Utara, itu harus mengemas semua peralatan elektronik dan surat berharga di tempat yang lebih tinggi. Tak hanya itu, ia juga harus memastikan semua barang terikat kuat agar tak hanyut ketika genangan air memasuki rumahnya.
Jika hujan turun lebih dari tiga jam, Martiah, suami, dan seorang anaknya harus waspada karena air banjir akan perlahan masuk ke rumah. Suasana semakin mencekam saat hujan turun pada malam hari. Mereka tak bisa memejamkan mata sebelum hujan reda sambil memandangi air yang perlahan masuk ke rumah.
”Rumah kami sekitar 50 sentimeter lebih tinggi dari jalan, tapi tetap saja tidak bisa selamat dari banjir kalau hujan sudah lebih dari 3 jam,” kata Martiah, ketika dihubungi pada Minggu (11/10/2020).
Mengungsi adalah hal biasa yang harus dilakukan Martiah dan keluarga. Pertengahan 2019, keluarga ini ditemui Kompas di Masjid Al Muhajirin, terletak sekitar 500 meter dari rumah mereka. Keluar dari rumah adalah pilihan logis sebab air sudah menggenangi rumahnya sekitar 1 meter dan menjilat-jilat dipan sebagai tempat berlindung terakhir.
Bersama ratusan warga lain, mereka tidur beralaskan tikar di sisi selatan masjid dengan tas punggung berisi pakaian di samping mereka. Mengungsi terpaksa mereka lakukan karena air bersih tidak ada dan listrik padam. Gatal-gatal, diare, dan infeksi saluran pernapasan menjadi penyakit yang datang seiring banjir tiba.
Baca juga: Penanganan Banjir Samarinda Jangan Tersendat
Banjir tahun lalu itu merupakan banjir terparah dalam 10 tahun terakhir yang dialami Martiah dan ribuan warga Samarinda lainnya. Banjir baru sepenuhnya surut sekitar dua minggu kemudian. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Samarinda mencatat, luasan daerah yang terdampak banjir semakin luas, dari 1.322 hektar pada 2014 menjadi 2.117 hektar pada 2019.
Setidaknya ada 31 titik di delapan kelurahan di Samarinda yang menjadi langganan banjir. Saat hujan deras turun, air setinggi 10 cm-200 cm menggenangi Kelurahan Pampang, Kelurahan Lempake, Sempaja Timur, Tanah Merah, Sungai Siring, Sempaja Utara, Sempaja Selatan, dan Sempaja Barat.
Pada banjir 2019, setidaknya 56.000 jiwa terdampak banjir. Angka itu menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya, yakni 27.691 jiwa. Akibatnya, biaya penanggulangan banjir yang digunakan pemerintah daerah hingga pusat juga tinggi. Pada 2020, setidaknya Rp 300 miliar dialokasikan khusus untuk penanggulangan banjir.
Daya dukung lingkungan
Penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Mahakam Berau tahun 2013 menyimpulkan, curah hujan yang tinggi bukan satu-satunya penyebab banjir yang melanda Samarinda setiap tahun. Sedimentasi sungai, pasang-surutnya air laut, penimbunan rawa untuk permukiman penduduk, berkurangnya daerah resapan air, dan drainase yang tidak mencukupi menjadi penyebab lain yang turut melanggengkan banjir.
Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur mencatat, dari total luas wilayah 71.800 hektar, sebanyak 71 persen wilayah Samarinda sudah dikavling untuk izin pertambangan. Terdapat 68 konsesi tambang batubara dengan izin yang dikeluarkan pemerintah pusat hingga daerah.
Jatam Kaltim juga mendapati beberapa daerah yang dibuka untuk pertambangan berada di luar izin usaha pertambangan (IUP) yang telah dibuat. Sebanyak 800,70 hektar lahan dibuka di luar perusahaan yang terdapat di dalam IUP. Selain itu, aktivitas tambang menghilangkan lahan hijau yang membuat dan menyisakan sekitar 300 lubang tambang di ibu kota Provinsi Kalimantan Timur ini.
”Selama ini pendekatan penanganan banjir ada di hilir masalah, seperti pengerukan sedimentasi sungai. Masalah di hulu belum tersentuh. Pulihkan ekosistem yang tersisa, audit dan evaluasi izin tambang,” ujar Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.
Baca juga: Banjir di Samarinda Perlu Diselesaikan dari Hulu
Pengerukan sedimentasi Sungai Karang Mumus memang menjadi salah satu agenda rutin Pemkot Samarinda setiap tahun. Tujuannya, agar sungai yang membelah Samarinda itu mampu menampung air lebih banyak. Meski demikian, banjir selalu datang saat hujan turun.
Selama ini pendekatan penanganan banjir ada di hilir masalah, seperti pengerukan sedimentasi sungai
Terdapat pemukiman semipermanen dan permanen di bantaran Sungai Karang Mumus. Penggusuran warga yang bermukim di bantaran sungai juga mulai dilakukan tahun ini meski mendapat pertentangan dari warga. Namun, penanggulangan banjir dengan cara itu tak akan berdampak signifikan jika air laut pasang. Penguatan warga dalam menghadapi potensi bencana belum tergarap.
Pengajar di Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Riyan B Sukmara, mengatakan, banjir di Samarinda juga ada kalanya diperparah dengan pasangnya air laut. Dalam kondisi seperti itu, Sungai Mahakam yang melintasi Samarinda selebar 400-700 meter akan ikut pasang. Akibatnya, anak sungainya ikut naik, termasuk Sungai Karang Mumus.
Dalam kondisi itu, meski hujan tak terlalu deras, banjir melanda. Akibatnya, masyarakat kembali menanggung kerugian tenaga, materi, dan waktu. Anak-anak tak bisa sekolah, toko tak bisa buka, dan sederet permasalahan lain. Riyan mengatakan, pendekatan baru di hilir perlu diterapkan agar masyarakat semakin siap menghadapi banjir sehingga memperkecil kerugian yang diderita.
”Sistem peringatan dini dan mitigasi bencana belum dikerjakan. Pada banjir 2019, tinggi hujan sekitar 120 milimeter. Sebelum mencapai angka itu, masyarakat seharusnya sudah dapat informasi melalui SMS atau media sosial. Masyarakat bisa bersiap dan menyelamatkan barang berharga sehingga kerugian yang diderita tidak besar ketika banjir,” ujar Riyan.
Banjir menjadi masalah utama yang nyata dihadapi warga setiap tahun di Samarinda. Air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan itu menjadi masalah yang semakin kompleks. Permasalahan kian menumpuk dari hulu ke hilir dari tahun ke tahun.
Permasalahan itu menjadi tantangan bagi tiga pasang kandidat yang bersaing pada Pilkada 2020 Samarinda, yakni Andi Harun-Rusmadi, Muhammad Barkati-Muhammad Darlis, dan Zairin Zain-Sarwono. Tiga calon wali kota itu berpengalaman di dunia politik dan pemerintahan.
Andi Harun merupakan anggota DPRD Kalimantan Timur sebelum maju pada pilkada kali ini. Muhammad Barkati merupakan Wakil Wali Kota Samarinda periode 2016-2021. Adapun Zairin Zain yang maju dari jalur independen pernah menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kaltim.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Samarinda, Lutfi Wahyudi, menilai, adanya kontestasi calon dari jalur independen dan dari jalur partai mengindikasikan ada tren positif politik dan demokrasi di Samarinda. Meski demikian, beberapa gagasan yang dikampanyekan para calon dinilai belum sepenuhnya terukur.
Baca juga: Kendalikan Tata Ruang dan Tambang di Samarinda
Terkait banjir, misalnya, ia belum melihat detail program yang jelas untuk membedah masalah dan penanganannya. Ia belum melihat terobosan yang tak biasa dari para kandidat. Terobosan yang dimaksud Lutfi adalah target yang tidak bombastis, tetapi realistis dan bisa diukur. Misalnya, para calon memiliki gagasan mengurangi banjir dengan rincian tempat, waktu, dan program yang jelas.
”Jadi, masyarakat perlu juga bersikap kritis, rasional, dan realistis. Jangan mudah terbuai dengan harapan-harapan yang nantinya berpotensi menjadi harapan palsu,” ujar Lutfi.
Para kandidat itu akan bertarung untuk memimpin Samarinda yang memiliki jargon Kota Tepian (teduh, rapi, indah, dan nyaman). Tepian juga bisa dimaknai sebagai harmonisasi warga Samarinda yang hidup di tepi Sungai Mahakam, sungai terbesar dan terpanjang di Kaltim. Jargon itu dan janji para calon kepala daerah hanya akan menjadi ironi jika banjir terus meluas.
Sungai dan air yang semula menjadi magnet bagi manusia sebagai sumber kehidupan di sana kini menjadi masalah akibat ulah manusia itu sendiri. Persoalan banjir selalu tersisip dalam kampanye calon kepala daerah di Samarinda. Saat banjir tiba, beberapa warga mungkin lupa janji itu. Namun, ketika banjir tak kunjung tiba di Samarinda, warga akan mengenang kerja pemimpin itu.